Pilihan Tempat Tinggal Aman dan Nyaman

Ilustrasi Kota Meikarta
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Aman tidaknya suatu kota bisa dilihat dari besarnya angka kriminalitas. Semakin besar angka kriminalitas di satu wilayah, maka makin tidak aman kota tersebut.

Wow! Crazy Rich Vietnam Divonis Mati Gegara Korupsi 200 Triliun

Jakarta kini berada dalam daftar 10 kota paling tidak aman di dunia. Dengan jumlah populasi lebih dari 10 juta jiwa, Jakarta memiliki perbedaan tingkat keamanan yang sangat jauh bila dibandingkan dengan kota berjumlah penduduk banyak lainnya, misalnya Tokyo.

Tokyo berada dalam peringkat satu kota teraman di dunia, sedangkan Jakarta ada di urutan paling akhir kota teraman di dunia. Jaminan kesehatan, keamanan infrastruktur, dan keamanan digital masih sangat buruk di Jakarta. Di sini juga sering terjadi tindakan kriminal dalam kasus kekerasan, perampokan, dan lalu lintas serta sistem transportasi yang buruk sampai-sampai masyarakatnya malas jalan kaki.

Apartemen Antasari 45 Mangkrak, Begini Penjelasan Lengkap PDS

Tak ada tempat aman di Jakarta meski di dalam rumah. Telah banyak orang tewas atau terluka karena sering terjadi kebakaran besar di tengah malam atau diserang oleh para perampok yang makin merajalela. Inilah mengapa penderita gangguan jiwa di Jakarta meningkat pesat.

Menurut data statistik Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, tahun lalu terjadi 1.139 kasus kebakaran. Penyebab utamanya adalah korsleting listrik. Korban tewas 20 rang, 3.618 keluarga (11.719 orang) menjadi korban, harta benda yang hangus bernilai Rp 212 miliar, dan ratusan rumah hangus terbakar.  

23 Ribu Pohon Ditebang, Petani Coklat Gugat Sentul City Rp3,8 Miliar

Maka tak mengherankan bila jumlah penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di jalan terus bertambah. Tahun lalu Dinas Sosial Pemda DKI menjaring 2.283 penderita sakit jiwa di jalanan, meningkat 668 orang dari tahun sebelumnya. Angka ini ibarat puncak gunung es. Jumlah penderita gangguan jiwa di Jakarta sesungguhnya jauh lebih tinggi karena sebagian besar dirawat oleh keluarga dan tak tercatat di Dinas Sosial.

Selain itu, penelitian terbaru oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan, persentase penderita stres di Jakarta juga sangat tinggi. Sekitar 49 persen wanita, dan 39 pria di Jakarta menderita stres. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa Jakarta sesungguhnya bukan tempat  layak untuk ditinggali. Apalagi kota ini juga sedang menghadapi masalah serius yang terus menggunung.

Di masa mendatang, wajah Jakarta tampaknya bakal makin kusam.  Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2000 menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada. Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam-jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City dan Bucharest.

Kemacetan yang demikian hebat ini tentu saja membuat mobilitas orang Jakarta sangat lamban sehingga produktivitas mereka rendah. Sementara itu, akibat tingkat stres yang terus meningkat, warga Jakarta makin gampang kehilangan akal. Gampang marah bahkan mengamuk.

Kini jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang-pergi dari dan ke tempat kerja. Itu pun masih harus harus menghadapi siksaan oleh sarana angkutan umum yang tidak nyaman dan tidak aman. Mereka juga harus selalu waspada pada para pencopet dan peleceh seksual yang selalu bergentayangan pada jam-jam padat.

Sampai sekarang tak ada orang berani memberi kepastian kapan situasi menakutkan itu akan reda. Catatan polisi pun menunjukkan angka yang menyeramkan. Lihat saja, di wilayah hukum Polda Metro Jaya, tahun lalu aksi kejahatan terjadi setiap 12 menit 18 detik. Secara keseluruhan, terjadi 43.149 kasus kejahatan di sepanjang 2016. Dari fakta ini, perampokan melesat 12 persen menjadi 719 kasus, sementara perkosaan naik 6 persen menjadi 71 kasus.

Namun kenyataannya bisa jauh lebih buruk. Hal ini tergambar dari hasil  survei Lentera Sintas Indonesia yang dirilis Juli lalu. Jumlah kasus perkosaan sesungguhnya, menurut survei ini,  jauh lebih tinggi. Buktinya, 93 persen responden survei tidak mau melaporkan ke polisi kasus perkosaan yang dialami.  Alasan utamanya, takut dicemooh bahkan  dikucilkan oleh keluarga, teman, bahkan masyarakat.

Maka jika tak ingin menjadi bagian Jakarta yang sedang berkembang menjadi medan perang penuh darah, kenapa tidak mencari kota lain yang lebih bersih, aman, dan nyaman. Jadi mulailah lakukan segera. (webtorial) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya