Siti Manggopoh, Wanita Minang Pemimpin Perang Belasting

Kompleks makam para pejuang Perang Belasting atau perang menentang kebijakan penerapan pajak tanah oleh Belanda pada 16 Juni 1908 di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Namanya tak begitu dikenal di kancah nasional. Namun dia adalah salah satu dari sekian banyak pejuang wanita di Indonesia yang mengangkat senjata untuk melawan penindasan penjajah Belanda. Dia tak diam ketika masyarakat ditindas.

Peringatan Hari Pahlawan, Bendera Merah Putih Berkibar di Perbatasan RI-Timor Leste

Dia adalah Siti Manggopoh, diperkirakan lahir pada tahun 1885 di Nagari Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dia merupakan wanita pejuang dalam perang Manggopoh yang meletus pada 16 Juni 1908.

Peristiwa itu bersamaan Perang Kamang yang dikenal juga dengan Perang Belasting, yakni perang melawan penindasan dan kesewenangan penerapan belasting atau pajak oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu.

Peringati Hari Pahlawan, Wakasal dan Mensos Risma Upacara dan Tabur Bunga di Perairan Teluk Jakarta

Siti Manggopoh ialah istri dari Asik Bagindo Magek, yang juga ikut dalam peperangan itu. Pusat perlawanan Siti Manggopoh berada di Nagari Manggopoh. Kawasan itu dianggap strategis pada masanya karena berada di antara Bukittinggi dengan Padang, dua kota utama di Sumatera Barat.

Saat pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi melalui pajak uang, Siti Manggopoh menentang keras. Dia bersama pejuang memberontak dengan mengangkat senjata.

Cak Imin Ziarah Makam Pahlawan Nasional Kiai As'ad di Situbondo, Ingatkan Resolusi Jihad

Siti menolak keras kebijakan itu karena dianggap bertentangan dengan adat istiadat Minangkabau. Salah satu alasannya, karena tanah di Minangkabau adalah milik komunal atau kaum, bukan milik pribadi.

Belanda kewalahan atas perlawanan sengit Siti Manggopoh dan pasukannya. Pemerintah kolonial harus meminta bala bantuan kepada tentara Belanda di kawasan Manggopoh. Dalam pertempuran yang disebut dengan Perang Belasting itu, puluhan serdadu Belanda tewas.

Selama memimpin pertempuran, Siti Manggopoh juga pernah mengalami pergolakan batin. Ia dihadapkan dengan dua pilihan berat: memimpin pasukan dan berperang melawan penindasan atau diam di rumah mengasuh anaknya yang kala itu masih kecil dan menyusui.

Setelah merenung dan berpikir panjang, Siti Manggopoh mengambil keputusan untuk tetap ikut berperang dan meninggalkan sang anak bernama Delima. Setelah melakukan penyerangan, Siti Manggopoh pulang ke rumah dan membawa kabur Delima ke hutan.

Selama tujuh belas hari di dalam hutan, Siti Manggopoh dengan penuh kasih sayang merawat baik anaknya. Namun malang, tentara Belanda kemudian menangkapnya dan membawanya ke Lubuk Basung, Agam.

Di Lubuk Basung, Siti Manggopoh dipenjara selama 14 bulan, lalu dibawa ke penjara di Pariaman. Di sini, Siti mendekam selama 16 bulan. Dia juga sempat ditahan di penjara Kota Padang selama 12 bulan, dan akhirnya dibebaskan oleh Belanda dengan alasan anaknya masih kecil. Sang suami yang juga tertangkap kemudian dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya