Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Dianggap Biang Politik Uang

Gunawan Suswantoro, Sekretaris Jenderal Badan Pengawas Pemilu, usai sidang terbuka pengujian disertasinya Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, pada Senin, 25 Februari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Adi Suparman

VIVA – Sistem pemilu di Indonesia yang menerapkan pola proporsional terbuka dianggap sebagai biang banyak masalah dalam ketatanegaraan, di antaranya kredibilitas partai politik, relasi presiden dengan parlemen, dan praktik politik uang alias money politic.

Ganjar Tak Masalah Ketum PPP Hadir Silaturahmi dengan Kubu 02

Pendapat itu ialah hasil riset Gunawan Suswantoro, Sekretaris Jenderal Badan Pengawas Pemilu, yang dia rumuskan dalam disertasi doktoralnya yang berjudul Implikasi Sistem Pemilu terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan Sistem Presidensial pada Era Susilo Bambang Yudhoyono.

Disertasi Gunawan diuji dalam sidang terbuka di Gedung Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, pada Senin, 25 Februari 2019. Dia meneliti hasil-hasil pemilu dengan sistem proporsional dalam dua periode pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009 dan 2009-2014.

Megawati Kirim Surat Amicus Curiae kepada MK, Ganjar Sebut Terilhami Sosok Kartini

"Seperti kita ketahui," Gunawan berargumentasi usai sidang terbuka pengujian disertasinya, "bahwa sistem proporsional terbuka telah membawa dampak, terutama partai politik jadi tidak konsen terhadap organisasinya."

Dampak kedua, katanya, "terbukti bahwa inilah ladang money politic. Kalau ini diteruskan, Indonesia akan mengarah kepada keterpurukan mental dari bangsa Indonesia."

Gibran Ingin Bertemu Semua Lawan Politiknya, Ganjar Bilang Selalu "Open House"

Gunawan menilai, sistem proporsional terbuka juga menjadi penyebab kompleksitas atau begitu banyak masalah yang berkaitan dengan relasi antara presiden dengan DPR dalam hal kebijakan. Situasi itu terjadi pada rezim SBY.

Dia mengusulkan sistem pemilu proporsional terbuka diubah dengan sistem paralel atau mixed member majoritharian (MMM). Sistem itu ialah pencampuran dari majoritharian (distrik) dan proporsional daftar baku, yakni majoritharian dengan proporsi 18 persen proporsional daftar baku dengan proporsi 82 persen dari 575 kursi di DPR.

"Mekanisme pencalonan proprosional dengan daftar baku memberikan ruang otoritas bagi partai politik untuk menentukan bakal calon legislatif yang akan duduk di DPR," katanya.

"Konsep yang sebangun dengan seperti itu, saya sangat berharap, mudah-mudahan secara akademis ini akan mampu meningkatkan kualitas pemilu sehingga akan sangat berkurang money politic," ujarnya.

Dia mengklaim, sistem MMM akan menghemat lebih banyak anggaran pemilu, bahkan bisa mencapai 60 persen dari anggaran pemilu sekarang. Selain sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasi, sistem MMM juga dapat mencegah atau mengurangi praktik politik uang. Sebab, dengan sistem itu, partailah yang akan berkampanye, bukan para caleg seperti yang terjadi sekarang.

Tetapi, Gunawan mengingatkan, konsep itu baru sebatas usulan awal, dan jika disetujui, tetap perlu pembahasan lebih detail di DPR. "Mudah-mudahan nanti bisa ditangkap oleh pemerintah dan DPR dalam rangka untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia dan bisa diterapkan di pemilu 2024," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya