Rizal Ramli Klaim Pemilih Civil Society Masih Galau di Pilpres 2019

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli
Sumber :
  • VIVA/Cahyo Edi

VIVA – Ekonom senior, Rizal Ramli, mengklaim pemilih berlatar belakang Civil Society atau masyarakat madani belum menentukan pilihannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Baik Jokowi maupun Prabowo, dinilai belum mampu meyakinkan akan memberi perubahan terutama pada sektor ekonomi.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Hal ini ditegaskan Rizal seusai Dialog Kebangsaan ‘Peran Civil Society’ dalam Pemilihan Presiden 2019 di Terminal Coffee Kota Bandung, Selasa, 12 Maret 2019.

Civil Society kebanyakan belum menentukan pilihan, dia enggak suka kebijakan ekonomi (Joko) Widodo, tapi mereka ‘takut-takut’ sama Prabowo jangan-jangan otoriter, jangan-jangan tidak demokratis. Nah saya uji dua-duanya,” ujar Rizal Ramli.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Jokowi sebagai petahana, menurut Rizal, tidak maksimal. Bahkan, kebijakan yang dikeluarkan tidak menumbuhkan nilai ekonomi di masyarakat kelas bawah. 

“Banyak kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi banyak yang tidak suka, Pemerintahan sekarang lagi front loading, pinjaman untuk jangka panjang ditarik ke depan. Gagal meningkatkan daya beli rakyat atas kenaikan harga pokok,” katanya.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Lanjut Rizal, laju ekonomi di kepemimpinan Jokowi kurang maksimal. Meski Jokowi menawarkan program, menurutnya, masih belum meyakinkan. 

“Ekonomi stagnan di lima persen, daya beli anjlok. Pertanyaannya, Jokowi bisa mengubah untuk lima tahun ke depan? Kalau mampu beri kesempatan, tapi sayangnya tidak ada tanda-tanda dia mampu mengembalikan,” terangnya.

“Hari ini Civil Society kebingungan, masih banyak yang bingung. Di satu sisi dia enggak suka sama kebijakan ekonomi Jokowi, karena ekonomi mandek di lima persen. Risiko makro ekonomi Indonesia makin tinggi, defisit neraca perdagangan paling besar selama 10 tahun, defisit transaksi berjalan paling tinggi selama 4,5 tahun,” tuturnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya