Logo DW

Kasus Ninoy Karundeng, Indikasi Ganasnya Sistem Politik Indonesia?

picture-alliance/PIXSELL/Puklavec
picture-alliance/PIXSELL/Puklavec
Sumber :
  • dw

Peristiwa penganiayaan yang dialami pegiat media sosial Ninoy Karundeng, yang juga merupakan relawan Joko Widodo (Jokowi) saat Pilpres 2019, di Pejompongan, Jakarta Pusat, Rabu (30/9) lalu, berujung pada penetapan 11 orang tersangka.

Para pelaku ini memiliki peran yang berbeda-beda, mulai dari penyebar rekaman penganiayaan, pembuat konten ujaran kebencian, hingga pencuri data dari laptop milik Ninoy.

Ninoy menceritakan detik-detik ketika ia diseret oleh sekelompok orang tak dikenal dan dibawa masuk ke dalam Masjid Al-Falah di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. Di sana, ia diberondong beragam pertanyaan menyudutkan, hingga diancam dibunuh.

Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini menetapkan, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212, Bernard Abdul Jabbar, sebagai tersangka.

Peristiwa penganiayaan ini lantas menimbulkan pertanyaan, benarkah sistem perpolitikan Indonesia begitu "ganas" terhadap orang yang berseberangan pandangan politiknya? Simak wawancara Deutsche Welle Indonesia dengan peneliti Papang Hidayat dari Amnesty International Indonesia.

Deutsche Welle: Kenapa sistem perpolitikan Indonesia begitu ganas terhadap orang yang berbeda pandangannya?

Papang Hidayat:
Kalau Ninoy Karundeng ini kan kriminal pelakunya, memang tugas polisi juga, yang namanya kekerasan kan tidak boleh ditolerir, main hakim sendiri segala macam. Sama kayak (peristiwa) wartawan kan, padahal itu bagian dari hak publik untuk mendapat akses informas, ini yang masalah. Saat peristiwa 21-23 Mei, juga beberapa diserang para pengunjuk rasa, mayoritas kelompok pendukung Prabowo dan anti Jokowi, karena jelas demonya menolak hasil pemilu Presiden. Beberapa media yang diidentifikasi jurnalisnya dianggap pendukung Jokowi mengalami intimidasi. Nah itu juga mungkin karena polarisasi politik di Indonesia. Harusnya kan polarisasi berhenti di level kampanye. Tapi ternyata polarisasi politiknya merasuki perilaku orang. Untuk melakukan kekerasan atau untuk melakukan praktek diskriminasi kelompok sosial lainnya. Nah ini yang berbahaya, ini harusnya jadi tanggung jawab elit politik untuk mendidik para pendukungnya dengan politik yang tidak pakai kekerasan. Esensi politik itu kan bertarung secara ide jangan dengan kekerasan