Indra J Piliang yang Kalah Tapi Menang

Indra J Piliang
Sumber :
  • Antara/ Ismar Patrizki

VIVAnews - Desember 1929. Di sebuah sel penjara Banceuy, Bandung, seorang anak muda pribumi terduduk di atas ranjang keras. Polisi kolonial Belanda menangkapnya atas tuduhan subversif atas pemerintah Hindia Belanda. Di dalam pengap penjara itu, berbekal sejumlah buku, anak muda itu, Soekarno, menyusun sebuah pembelaan. Pledoi itu kemudian hari dikenal sebagai "Indonesia Menggugat." Pledoi itu menggemparkan, tapi Soekarno tetap kalah di pengadilan, vonis penjara empat tahun untuknya.

Itulah salah satu episode kekalahan yang kemudian menjadi catatan awal kemenangan Soekarno. "Pengadilan itu menjadi pembaptisan Soekarno sebagai 'presiden' dari sebuah republik yang belum jadi, Indonesia," kata Wilson, seorang pengamat sejarah, mengenang kembali cerita itu pada sebuah stasiun televisi swasta. Sejarah kemudian membuktikan, kekalahan Soekarno itu adalah kemenangan yang tertunda.



Namun bukan kisah kekalahan Soekarno itu yang menjadi inspirasi politisi Golkar, Indra Jaya Piliang, menuliskan panjang lebar tentang kekalahannya dalam sebuah buku setebal 568 halaman. Indra menulis buku "Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan" untuk alasan yang lain.

"Buku ini hanya ingin memberikan sumbangan kepada kesadaran sejarah kontemporer yang bergerak dan berserak," kata alumnus Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu di pengantar buku yang diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta, tahun 2010 itu. Karena itu, buku Indra tak melulu berisi "kekalahan," namun justru cerita kegemilangan.

"Buku ini memang berisi tiga kekalahan," kata Indra Jaya Piliang ketika ditemui VIVAnews di sebuah ruangan di kantor The Indonesian Institute, akhir Maret lalu. "Tapi kalau dilihat seksama, sebenarnya berisi kemenangan," katanya.

Kekalahan pertama Indra adalah saat mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Sumatera Barat II. Kekalahan kedua adalah ketika calon presiden dan wakil presiden yang dibelanya, Jusuf Kalla dan Wiranto harus kandas di putaran pertama Pemilihan Presiden dengan perolehan suara 12 persen. Dan kekalahan ketiga ketika Indra mendukung Yuddy Chrisnandi sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dan akhirnya tak memperoleh satu suarapun di Musyawarah Nasional Golkar.

Indra Jaya Piliang terlahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara di Kampung Perak, Kota Pariaman, pada 19 April 1972. Konon nama Indra Jaya disingkat ayahnya dari "Indonesia Raya Jaya." Sementara "Piliang" adalah nama suku atau secara antropologis disebut marga, yang diwariskan berdasarkan sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau. Ayah Indra, Boestami Datuk Nan Sati, bermarga "Koto." Koto dan Piliang atau disingkat Koto-Piliang adalah satu dari dua kelarasan (atau sistem) pemerintahan di Minangkabau, yakni bersistem aristokratis. Kelarasan yang lain adalah "Bodi-Chaniago", yang demokratis.

Tiga bab pertama buku ini berkisah mengenai masa kecil Indra sampai kemudian berkuliah di Universitas Indonesia. Bab-bab ini seperti membaca kisah "Laskar Pelangi" versi Sumatera Barat. Membuka tabir masa kecil Indra, saat harus bermodal lentera untuk belajar karena tak ada aliran listrik. Menceritakan Indra yang harus menyeberang sungai setiap berangkat ke sekolah.

Bab keempat barulah dibuka dengan cerita Indra terjun ke politik praktis. Dia harus mengambil keputusan sulit, meninggalkan lembaga penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang telah membesarkan namanya, untuk mencoba peruntungan di dunia politik. Indra menjadi calon anggota DPR dari Partai Golkar.

Indra menceritakan ihwal masuk dalam bursa pencalonan. Indra menceritakan cara untuk bisa memperoleh kursi nomor urut dua dari daerah pemilihan Sumatera Barat II. Dan akhirnya, Indra pun maju menjadi calon nomor urut dua dari daerah pemilihan yang meliputi daerah asalnya, Kabupaten Padang Pariaman. Indra menceritakan strategi dan taktiknya untuk bisa meraih kursi DPR ini dalam beberapa bab termasuk kepercayaannya pada pendekatan ilmiah seperti survei.

Sejarah mencatat, Indra Piliang akhirnya kalah dalam pencalonan ini. Namun Indra berkata lain. "Saya sebenarnya menang," ujarnya. "Target saya di sana adalah menjadi nomor dua dan saya berhasil menjadi nomor dua terbanyak (suaranya). Suara saya bahkan lebih besar daripada calon kedua terbesar dari Sumatera Barat I yang lolos," kata Indra. Sebuah tabel perolehan suara pun dipampang Indra untuk menunjukkan kekuatan suaranya.

Sejak awal Indra menyadari tak mungkin menyaingi calon nomor urut 1, Nudirman Munir. Nudirman telah beberapa kali mencalonkan diri dan survei juga membuktikan politisi senior Golkar itu paling populer. Karena itu, Indra yang baru pertama kali mencalonkan diri hanya memburu nomor dua. Target ini juga sesuai perolehan suara Golkar pada Pemilu 2004 yang berhasil mendudukkan dua politisi Golkar dari daerah pemilihan Sumatera Barat II.

Pakai Uang Palsu Beli Narkoba dan Punya Senpi Rakitan, Pecatan TNI AL di Lampung Ditangkap

Namun kenyataan membuktikan, Pemilu 2009, suara Golkar melorot sehingga hanya satu kursi yang diperoleh dari Sumatera Barat II. Indra akhirnya kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Indra yang sejak awal disiapkan Golkar sebagai tim debat akhirnya memiliki tugas baru, mendukung calon presiden dari Golkar, Jusuf Kalla. "Bersama Poempida Hidayatulloh, saya mulai mengumpulkan sejumlah anak-anak muda Partai Golkar untuk mendukung majunya JK," kata Indra di halaman 276 bukunya. "Pilihan harus ditegaskan sebelum pertarungan dimulai," Indra beralasan.

24 April 2009, Indra ikut salat Jumat bersama JK di kantor Wakil Presiden. Setelah salat, JK menjamu yang hadir seperti Adhyaksa Dault, Priyo Budi Santoso, Aksa Mahmud, Azyumardi Azra dan Ilham Arief Sirajudin dengan sop iga. Di sanalah Indra melaporkan kegagalannya masuk Senayan. "Tidak apa-apa, masih banyak medan pengabdian yang lain," kata JK kepada Indra.

Jadilah Indra sejak itu dikenal sebagai salah satu orang dekat JK. Orang Bugis-Makassar bahkan menganggap Indra sebagai salah satu saudara istri JK, Mufidah Kalla, yang juga orang Minang. Indra tak ambil pusing, kekalahan Golkar membuatnya bersemangat untuk mengusung JK sebagai calon presiden. Indra mengalami dilema sebentar saat Wiranto dipastikan menjadi calon Wakil Presiden mendampingi JK. Dilema selama ini sebagai pengamat politik, Indra dikenal dengan sikap antimiliterismenya.

Awal Mei 2009 itu, Lembaga Survei Indonesia menghitung elektabilitas JK yang dipasangkan dengan Endriartono hanya 3 persen. 30 Mei, setelah sedikit kampanye, elektabilitas JK setelah dipasangkan dengan Wiranto berhasil mencapai 7 persen. 20 Juni, JK-Wiranto mencapai 9 persen. Lalu hasil Pemilu kemudian membuktikan JK-Wiranto mendapat 12,41 persen.

Perbandingan hasil survei dengan hasil resmi Pemilu itu, bagi Indra, menunjukkan JK-Wiranto tidak kalah. Justru yang "kalah" adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. "Karena mereka turun 10 persen," kata Indra. "Padahal mereka sudah memakai konsultan politik yang mahal," ujarnya. Sementara JK-Wiranto justru menang karena elektabilitasnya naik hampir 10 persen.

Kekalahan JK ini membuat partai Golkar bergolak lebih awal dari yang seharusnya. Muncul desakan diadakan Munas Luar Biasa untuk meminta JK turun dari kursi Ketua Umum. Sejumlah tokoh yang menyatakan hendak menjadi pengganti JK pun bermunculan. Dalam keadaan "panas" ini, Indra menentukan pilihan penerus JK adalah Yuddy Chrisnandi.

Pengalaman bersama menjadi juru bicara JK-Wiranto membuat Indra merasa Yuddy adalah figur yang pas menjadi Ketua Umum Golkar. "Politik bukan hanya soal rasionalitas. Politik juga menyangkut dedikasi, loyalitas dan oportunitas. Politik juga menyangkut pertemanan, kesetiakawanan, dan rasa kemanusiaan," kata Indra menjelaskan soal pilihan mendukung Yuddy di halaman 468 bukunya. Indra mengenyampingkan sejumlah tawaran dari calon-calon ketua umum Golkar lainnya.

Dan sekali lagi, Indra Piliang harus merasakan kekalahan. Munas Golkar membuktikan, Yuddy bukan pilihan.

Sejak itu, Indra memilih menikmati ruang kerja 2 kali 3 meter di lantai III The Indonesian Institute di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Posisinya sebagai salah satu penasihat membuatnya bisa mendapatkan sebuah ruang kerja di kantor yang tak jauh dari Pasar Tanah Abang itu.

"Di sinilah tempat saya menyepi sekarang," ujarnya. "Kadang saya juga tidur di sini." Tampak sebuah sajadah tergeletak di sudut ruangan. Beberapa buah buku di atas mejanya, mendampingi sebuah laptop yang sedang menyala. Melalui laptop inilah, Indra menuliskan kisah 27 babnya.



Namun tampaknya kekalahan-kekalahan itu, seperti dikatakan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana di bagian testimoni buku Indra, hanyalah "kemenangan yang tertunda." Lebih kurang sebulan setelah Aburizal Bakrie memimpin Golkar menggantikan JK, sebuah tawaran masuk, menjadi salah satu Ketua Departemen di dewan Pimpinan Pusat Golkar.

Blak-blakan Soal Rizky Irmansyah, Nikita Mirzani: Perhatian Banget

Indra pun mengambilnya. "Pak Fahmi Idris menjadi ketua departemen baru di umur 55 tahun, sementara saya masih 38 tahun," katanya beralasan. "Jadi hitung-hitung, saya menghemat 17 tahun," katanya.

Kemenag Gelar Peringatan Nuzulul Qur'an Nasional Tahun 2024

Peringatan Nuzulul Qur'an Tingkat Nasional, Kemenag: Spirit Bawa Indonesia Menjaga Keragaman

Peringatan Nuzulul Qur'an tingkat nasional, digelar oleh Kementerian Agama atau Kemenag. Pada tahun 2024 ini, digelar di Auditorium HM Rasjidi Kemenag, pada Rabu kemarin.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024