UU ITE Hasil Revisi Dicap Masih Bernuansa Represif

Yasonna Laoly dan Rudiantara menghadiri pengesahan UU Merek dan revisi UU ITE
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Namun hasil revisi dinilai tidak mengubah nuansa represif yang ada dalam revisi UU ITE tersebut. Dari tujuh poin revisi, salah satunya adalah Pasal 27 yang mengurangi pidana dari enam menjadi empat tahun.

Revisi UU ITE, Pelaku Video Mesum Tidak Lagi Dijerat

"Sebenarnya tidak ada perubahan subtansi dalam UU ITE ini, cuma menurunkan pidana," kata Asep Komarudin dari LBH Pers dalam program "Apa Kabar Indonesia Pagi" di tvOne, Senin 28 November 2016.

LBH Pers menilai revisi UU ini justru terkesan menakut-nakuti publik dibandingkan melindungi publik. Menurut dia, data selama tahun 2016 yang ada di LBH Pers hampir 10 laporan setiap bulan tentang ITE ini. Namun yang menjadi pelapor sebagian besar adalah pejabat.

Koalisi Masyarakat Kecewa Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas Prioritas

"Kuantitas pelapor itu 80 persen pejabat publik, bupati, DPRD, pejabat pemda. Artinya antara yang berkuasa terhadap yang lemah, kekuatan bisa modal, materi maupun relasi," katanya.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan, proses revisi ini sudah dilakukan selama setahun. Oleh karena itu tak berkaitan langsung dengan hal-hal mengenai kasus-kasus penyebaran kebencian melalui medis sosial saat ini.

Soal Revisi UU ITE, Ini Respons Nikita Mirzani hingga IRT

"Di sebelah mana ya menakut-nakuti. Dalam Pasal 27 itu ancaman hukuman malah diturunkan," kata TB Hasanuddin dari Fraksi PDIP.

Dia mengatakan, setahun ini DPR sudah menerima banyak masukan dan memastikan UU ITE hasil revisi tetap menjaga demokrasi.

"Namun dalam kebebasan menyampaikan informasi, orang lain juga harus di-protect. Ada hak asasi orang lain yang harus di-protect," katanya.

Dia mengatakan UU ITE itu juga melindungi publik dari penyebaran pornografi hingga ajakan dan ancaman seperti penggunaan media sosial mengajak untuk melakukan kekerasan hingga mengajarkan pembuatan bom dan bahan peledak.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya