BIN Dinilai Tak Mudah Digunakan Kelompok Tertentu

Ilustrasi kartu intelijen.
Sumber :
  • VIVAnews/Siti Ruqoyah

VIVA.co.id - Isu penyadapan pembicaraan telepon antara Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemuka di publik. Situasi tersebut menimbulkan kegaduhan politik tersendiri.

SBY Yakin Duet Renan Buiatti-Reza Beik Jadi Pertahanan Tangguh Jakarta LavAni

Sejumlah pihak mengecam Basuki Tjahaja Purnama dan tim pengacaranya yang memicu munculnya isu tersebut, termasuk dari politikus Partai Gerindra. Namun, sikap berbeda ditunjukkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

Dasco menyarankan sejumlah pihak tidak terburu-buru menyimpulkan adanya penyadapan tersebut. Menurutnya, mereka seharusnya melakukan klarifikasi yang komprehensif terlebih dahulu ke sumber masalah.

Pengamat Ungkap Ganjalan Utama Megawati Gabung dalam Koalisi Prabowo-Gibran

"Kalau memang kita curiga ada penyadapan yang musti didalami dulu adalah tim pengacara Ahok, dimana statement itu berasal," kata Dasco saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 3 Februari 2017.

Dasco cukup menyayangkan bergulirnya isu penyadapan yang cenderung liar tersebut. Apalagi dengan memunculkan tuduhan-tuduhan baru. "Jangan kita gaduh kemudian sembarangan menuduh institusi negara," ujarnya.

Juru Bicara Ungkap Keinginan Prabowo Duduk Bareng Megawati, SBY dan Jokowi

Dasco yang juga anggota Komisi III DPR dan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan itu masih yakin dan percaya Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai mata dan telinga negara tidak gampang dipergunakan oleh satu atau segolongan kelompok atau orang tertentu. Meski demikian, dia berharap institusi negara lainnya yakni Polri tidak diam saja.

"Polri perlu bergerak cepat untuk meredam kegaduhan yang tidak perlu," ujarnya menambahkan.

Awal mula isu penyadapan itu mengemuka adalah ketika pengacara Ahok, Humphrey Djemat, mencecar Ma'ruf soal pertemuannya dengan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, di kantor PBNU pada Jumat, 7 Oktober 2016. Setelah itu, Humphrey menanyakan apakah sebelum pertemuan itu ada pembicaraan dengan SBY melalui telepon pada pukul 10.16 WIB, sebelum salat Jumat.

Humphrey yang juga Ketua Tim Kuasa Hukum Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz itu menyatakan, bahwa isi pembicaraan adalah soal, pertama, mengenai permintaan agar pertemuan dengan Agus-Sylvi agar diatur. Kedua, SBY meminta supaya segera dikeluarkan fatwa untuk masalah penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Mendengar pertanyaan itu, Ma'ruf menjawab tidak ada. Humphrey pun menanyakan pertanyaan tersebut hingga dua kali dan kembali dijawab tidak ada oleh Ma'ruf.

"Majelis hakim, sudah ditanya berulang kali katanya tidak ada. Untuk itu kami akan memberikan dukungannya. Ya Mejelis Hakim, andai kata kami sudah memberikan buktinya dan ternyata keterangannya ini masih tetap sama maka kami ingin menyatakan saudara saksi ini telah memberikan keterangan palsu dan minta diproses sebagaimana mestinya," kata Humphrey.

Saat giliran berbicara, Ahok menyatakan Ma'ruf menutupi riwayat hidupnya yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres SBY. Dia pun berterima kasih pada Ma'ruf yang konsisten menyatakan tidak berbohong.

"Saudara saksi, saya berterima kasih. Ngotot di depan hakim bahwa saudara saksi tidak berbohong, akhirnya meralat ini. Banyak pernyataan tidak berbohong, kami akan proses secara hukum saudara saksi," kata Ahok.

Setelah itu, Ahok menyatakan bahwa pihaknya memiliki data yang sangat lengkap. Dia pun akan membuktikan satu per satu sehingga bisa membuat Ma'ruf dipermalukan.

Adanya ancaman terhadap Ma'ruf, dan juga penegasan adanya bukti, data, yang kuat atas pembicaraan Ma'ruf dengan SBY melalui telepon segera memancing respons publik secara luas. Mereka mengecam sikap Ahok dan tim pengacaranya. Isu adanya penyadapan pun menggelinding begitu cepat.

Situasi tersebut yang juga akhirnya membuat SBY menggelar konferesi pers. Ia menyatakan bahwa penyadapan atas dirinya adalah ilegal atau tidak sah, dan melanggar hukum. SBY juga memohon pada Presiden Jokowi agar memberikan penjelasan mengenai penyadapan tersebut. Dari mana transkrip atau sadapan itu, siapa yang menyadap.

Alasannya, penyadapan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Berdasarkan yang dia tahu, hanya institusi negara seperti Polri, BIN, atau KPK dalam konteks pemberantasan korupsi, yang berhak melakukannya. Oleh karena itu, SBY meminta Polri bertindak. Sebab, penyadapan ilegal bukan merupakan delik aduan. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya