BMKG: Hujan Saat Kemarau Bukan Dampak La Nina dan El Nino

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG Andi Eka Sakya.
Sumber :
  • VIVAnews / Amal Nur Ngazis

VIVA.co.id – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Andi Eka Sakya, mengatakan, fenomena datangnya hujan saat seharusnya musim kemarau sekarang ini, bukanlah karena dampak La Nina atau El Nino.

Cuaca Ekstrem Diprediksi Terjadi Selama Mudik Lebaran 2024, BMKG Minta Warga Waspada

“La Nina masih belum berdampak, karena masih netral,” ujar Andi melalui pesan pendek kepada VIVA.co.id, Senin 25 Juli 2016.

El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar ekuator, khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru).

Sembilan Daerah Siaga dan Waspada Cuaca Ekstrem, Menurut BMKG

Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim. Dampaknya adalah pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Sementara itu, La Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan mendinginnya suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Akibat dari La Nina adalah hujan turun lebih banyak di Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia.

Gerhana Bulan Penumbra Siap Menyapa Malam Ini, Catat Jam dan Lokasinya

Andi menjelaskan, adapun faktor yang menjadi penyebab masih turunnya hujan, padahal musim kemarau sudah datang, menurut pantauan BMKG, ada beberapa faktor. Salah satunya, kata Andi, karena suhu muka laut di Indonesia yang masih hangat.

"Kondisi ini sangat kondusif terhadap tumbuhnya awan di Indonesia,” kata Andi.

Kemudian, mendinginnya suhu muka laut di Pantai Afrika sebelah timur, atau disebut fenomena Dipole Mode Negatif. Fenomena tersebut menyebabkan tambahan pasokan uap air ke Indonesia.

“Saat ini, indeks DM Negatif berada pada puncaknya,” ujar dia.

Andi menjelaskan, secara insidensial terdapat angin belokan, terutama di wilayah Indonesia bagian barat, di sekitar wilayah Sumatera Selatan, yang kondusif terhadap pertumbuhan awan konvektif.

Selain itu, hujan yang turun pada periode kemarau dipengaruhi adanya insidental yakni Madden Julian Oscillation (MJO). Sama seperti yang terjadi pada 17 Juni lalu. Andi menjelaskan, MJO merupakan gerak berkumpulnya awan berskala besar yang menjalar dari barat ke timur.

“Jadi, saat memasuki Benua Maritim Indonesia memicu hujan yang berlebihan,” tutur Andi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya