Terus Berpikir Radikal, Ini yang Terjadi pada Otak

Ilustrasi otak.
Sumber :
  • www.pixabay.com/Geralt

VIVA.co.id – Peneliti Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Jordan Grafman mengungkapkan studinya tentang otak orang ekstremis. 

Ribuan Konten Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Disikat Habis

Menurut studinya yang diterbitkan pada Jurnal Neuropsychologia edisi Mei 2017, menunjukkan ekstremisme berbasis agama bisa terjadi karena ada kerusakan pada bagian ventromedial prefrontal cortex.

Dia juga mencatat ada faktor lain, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang memengaruhi kepercayaan terhadap lingkungan sosial. Diketahui, ventromedial prefrontal cortex berada pada bagian depan otak dan telah diketahui terkait dengan sistem kepercayaan seseorang.

Mantan Napiter Dukung Upaya BNPT Lindungi Perempuan dari Radikalisme

Grafman mengungkapkan, semakin banyak kerusakan pada bagian itu, semakin ekstrem pula kepercayaan seseorang.

Menanggapi hasil temuan itu, spesialis senior Divisi Neurobiologi Universitas California, Irvine, Amerika Serikat, Taruna Ikrar, mengakui, relasi yang dipaparkan Grafman tersebut. 

Uskup Agung Kritik Definisi Ekstremisme Baru di Inggris Menyasar Komunitas Muslim

Taruna menuturkan, selain faktor psikologis, tingkat ekstrem dan moderat seseorang ditentukan oleh struktur mikrosirkuit otak. Dia menjelaskan, mikrosirkuit otak minimal dipengaruhi oleh tiga mekanisme utama yakni neuroplastisi, neurokompensasi, dan neurogenesis atau sistem saraf. 

"Tiga mekanisme utama itu berada pada sistem sinaptik sel-sel saraf," kata dia.

Peneliti Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar itu mengatakan, ada reaksi pada otak orang yang terus berpikir radikal, yakni pada bagian mikrosirkuit otak. 

"Akan terbentuk struktur mikrosirkuit otak yang permanen, sehingga menjadi individu berkarakter radikal," tuturnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya