Kecerdasan Buatan 'Membentuk' Agama di Abad 21

Robot Pepper disiapkan untuk upacara pemakaman
Sumber :
  • Reuters/Kim Kyung-Hoon

VIVA – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan teknologi sedang dalam masa pengembangan untuk membentuk cara manusia dan robot saling berinteraksi. Dalam perkembangannya, kecerdasan buatan dan teknologi masuk dalam wilayah praktik ritual berbau agama. 

Berharap Implementasi AI Bisa Lebih Luas

Dikutip dari CNBC, Sabtu 12 Mei 2018, kecerdasan buatan dan teknologi melahirkan kitab suci elektronik sampai robot yang bisa bertugas sebagai pendeta. Kecerdasan buatan dan teknologi digital di satu sisi bisa meningkatkan praktik keagamaan umat.

Bisa dilihat bagaimana muslim di seluruh dunia mengunduh aplikasi Pro Muslim. Aplikasi ini menjadi andalan bagi sebagian muslim, sebab aplikasi ini menyediakan fitur jadwal salat, doa-doa, kompas alat kiblat sampai menandakan waktu matahari terbit dan tenggelam. Pada bulan suci ramadan, aplikasi ini juga akan menyesuaikan waktu imsak dan berbuka puasa sesuai lokasi pengguna.

AI Bisa Tahu Hidup dan Mati Manusia

Di Timur Tengah dan Asia, umat muslim yang berusia 16-30 tahun mempunyai jiwa komunitas agama yang aktif dan kuat. Hasil survei Pew Research Center 2017 menunjukkan, Palestina yang negara muslim yang kurang dalam segi finansial, ternyata pengguna smartphone-nya Palestina mencapai 57 persen. Berbeda dengan Jerman yang angkanya berada di bawah 60 persen.

Ex President Barack Obama Makes Surprise Visits to PM Rishi Sunak

Apalagi bicara Jepang. Negeri Matahari Terbit ini sudah selangkah lebih maju dalam penggunaan AI. Di Jepang telah dibuat robot pendeta, Perpper, bisa menjalankan ritual Budha. Tidak seperti pendeta pada umumnya yang menghabiskan US$ 2.232 untuk ritual pemakaman, robot Pepper hanya menghabiskan US$ 462, lebih murah bukan?

Peneliti di The Faraday Institute for Science and Religion, Beth Singler mengatakan, agama berhadapan dengan teknologi bukanlah hal yang mudah. Dalam konteks ini agama akan melewati tiga tahap yaitu penolakan, adopsi, dan adaptasi.

"Hal ini menjadi sensitif, tapi teknologi sudah booming di mana-mana dan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia," kata Singler.

Di sisi lain, kemajuan teknologi dalam beberapa hal membuat pemuka agama prihatin. Salah satunya yang disoroti pemuka agama adalah moral dan etika dalam pembuatan mesin seperti manusia atau robot. Kecanduan pada media sosial dan robot seks yang mulai menjadi tren juga menjadi kekhawatiran pemuka agama.

Apalagi robot yang disajikan dalam film maupun sinema melahirkan cara pandang stereotip. Robot dihadirkan untuk menjadi pembunuh. Maka hal ini berpengaruh pada tanggapan pemuka agama atas fungsi robot.

Singler mengatakan, chatbot dan algoritma menurutnya merupakan wajah nyata AI dalam agama. Sebabnya algoritma dan chatbot tidak hanya memegang apa yang dilihat, melainkan juga mendapatkan informasi dan memilih dengan siapa saja mereka berbicara.

Penganut agama katolik dapat menggunakan aplikasi Chatbot Confession untuk berinterakasi dua arah atau berbicara dengan chatbot. Berbicara dengan chatbot tentu berbeda dengan manusia, mereka tidak akan merasa malu saat mengungkapkan rahasia serta rasa bersalah.

robot seks

Lima abad setelah reformasi protestan, muncul robot pendeta BlessU-2 yang diciptakan untuk memperingati revolusi Martin Luther di Eropa. Pendeta setempat, Stephen Krebs mengatakan kepada surat kabar The Guardian, meskipun robot BlessU-2 mampu dalam membaca al-kitab serta doa-doanya, robot tersebut tidak akan pernah bisa menggantikan pelayanan pastur. Singler juga mempunyai pemahaman yang sama, robot tidak akan pernah bisa menjadi imam di masa depan.

Almarhum Stephen Hawking dan Kepala Eksekutif Tesla, Elon Musk mengatakan keprihatinannya dengan ancaman AI yang berpotensi dapat melakukan semua pekerjaan manusia, mereka pun bertanya-tanya apakah ke depan AI bisa mempunyai hati nurani. Singler mengatakan, robot mempunyai kemungkinan untuk memilih agama yang mereka mau.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya