Daya Hancur Pelecehan Perempuan di Dunia Maya

Via Vallen hebohkan penonton
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA – Pelecehan perempuan di dunia maya ibarat ranjau darat, tak tampak di permukaan, namun bila terinjak ledakannya bisa mematikan.

Kemenkominfo Mengadakan Kegiatan Webinar "Hak dan Tanggung Jawab di Ruang Digital"

Cyber harrasment atau pelecehan di dunia maya merupakan salah satu jenis kasus yang terbanyak dilaporkan kepada Komisi Nasional Perempuan. Berdasarkan catatan tahunan yang dikeluarkan komisi nasional yang bergerak di bidang perlindungan perempuan tersebut, yaitu tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) 2018, angka pengaduan cyber harrasment mencapai 20 kasus, dari total 98 kekerasan berbasis siber.

Pengertian bentuk-bentuk pelecehan di dunia maya, bisa berupa pengiriman teks dengan isi yang menyakiti, menakuti, mengancam, dan mengganggu. Contoh yang masih hangat di ingatan, yaitu pelecehan yang dialami biduan Via Vallen pada Juni 2018 lalu.

4 Pelaku Terorisme Moskow Ternyata di Bawah Pengaruh Obat-Obatan Terlarang

Semuanya berawal ketika Via menerima pesan dari seseorang melalui fitur DM (direct message) di Instagram.
 
"Saya ingin kau bersamaku di kamar tidur, mengenakan pakaian seksi," demikian isi pesan itu dalam bahasa Inggris, seperti yang ditunjukkan tangkapan layar yang diunggah Via pada 4 Juni 2018.
 
Kala itu, Via tak mengabaikan begitu saja pesan tersebut. Ia menyadari, seseorang telah melecehkannya. Via pun mengumumkannya agar diketahui publik.
 
"Sebagai penyanyi, saya dipermalukan oleh pemain bola terkenal di negara saya sekarang," tulis Via di Instagram story.
 
"Saya bukan perempuan macam itu!!" kata penyanyi bernama asli Maulidia Octavia itu.
 
Di kalangan orang terkenal, pelecehan di dunia maya serupa dengan Via juga pernah dialami selebgram dan YouTuber, Gita Savitri atau dikenal dengan nama Gitasav.
 
Gita juga mendapat DM dari akun palsu bernama Tristan yang mengajaknya berhubungan intim. Sama seperti Via, Gita menolak diam ketika mengalami perlakuan cyber harrashment. Ia meng-capture isi pesan pelaku kemudian mengunggahnya ke Instagram story.
 
Unggahan Via dan Gita menuai banyak dan beragam reaksi dari warganet. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Di kubu yang setuju, warganet menyatakan dukungan dan menilai bahwa tindakan Via dan Gita adalah hal yang tepat.
 
Namun, komentar pedas dari warganet juga datang bertubi-tubi. Gita dan Via dianggap alay dan lebay, mengumbar sensasi demi meraup perhatian. Gita dan Via dinilai bereaksi berlebihan hanya gara-gara pesan di media sosial yang pelakunya pun tak wujud.

Berakar pada Ketimpangan Gender...

Usai Cekcok Hebat dan Bergumul di Kamar, Suami Sadis Ini Tega Bunuh Istri Pakai Obeng

Berakar pada Ketimpangan Gender
Tudingan alay dan lebay terhadap Via Vallen dan Gita Savitri mencerminkan bahwa masih belum adanya satu sudut pandang yang tepat tentang pelecehan seksual terhadap perempuan di dunia maya.
 
Mengutip Wikipedia, pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan melakukan hubungan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal atau fisik merujuk pada aktivitas seks.
 
Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, menyatakan, kasus yang dialami Via Vallen masuk dalam kategori pelecehan berbasis siber non fisik, dan seharusnya apa yang dilakukan Via Vallen perlu didukung.
 
"Ini masuk dalam pelecehan seksual non fisik," kata Masruchah.
 
"Apa yang dilakukan oleh Via perlu didukung karena ia telah berani speak up dan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia, jangan karena (pelaku pelecehan) tokoh terkenal bisa sembarangan melakukan hal itu," ujarnya.
 
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, mengungkapkan pandangannya bahwa kasus-kasus cyber harrasment salah satunya berakar dari ketimpangan gender yang didominasi budaya patriarki. Perempuan Indonesia masih hidup di bawah bayang-bayang konstruksi gender yang menempatkannya sebagai objek.
 
"Ketidaksetaraan gender, ketimpangan ini melahirkan banyak ketidakadilan. Jadi perempuan itu akan selalu dipandang sebelah mata, akan selalu salah," kata Budi melalui sambungan telepon.
 
"Kalau pembagian peran sama, tidak ada diskriminasi. Karena cara pandang laki-laki dan perempuan sama," ujar Budi menambahkan.

Gita Savitri juga pernah mengalami pelecehan seksual di media sosial
 

Banyaknya pelecehan terhadap perempuan, merupakan bukti bahwa laki-laki masih cenderung menunjukkan kuasa gender terhadap perempuan. Di ranah digital, seperti media sosial, pelecehan semakin mudah, karena tidak ada ruang dan waktu yang membatasi, serta antara pelaku dan sasaran tidak bertatap muka langsung.
 
"Jangankan di media sosial, di kehidupan nyata saja itu masih sering terjadi. Misalnya di KRL, di tempat-tempat umum, perempuan jalan baik-baik saja dicolek payudaranya, apalagi di medsos yang orang bisa sembunyi di balik akunnya, tanpa tatap muka," kata Budi.
 
Aktivis perempuan dan Co Director Hollaback, Anindya Restuviani, juga menyatakan, pelecehan di dunia maya merupakan 'kepanjangan tangan' dari cara pandang gender yang tidak setara di dunia nyata.
 
"Masalah power play atau relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan sudah terjadi di dunia nyata, dengan adanya ruang baru di dunia digital, akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Jadi ujaran seksisme di dunia nyata yang ditransfer ke dunia maya," kata Vivi dalam sambungan telepon, Kamis, 13 September 2018.
 
Secara tidak sadar perempuan sendiri juga merupakan agen patriarki, dimana mereka memiliki cara berpikir bahwa derajat perempuan di bawah laki-laki. Berangkat dari persepsi ini, maka tidak heran jika sebagian kaum perempuan nyinyir ketika Via Vallen maupun Gita, berusaha terbuka dengan pelecehan yang menimpanya.
 
"Mereka menganggap biasa kalau laki-laki berbuat begitu (pelecehan), padahal itu bukan sesuatu yang harus dibiasakan. Memang sangat sulit untuk mengubah mindset perempuan itu sendiri, yang sudah percaya bahwa kita pantas diperlakukan begitu, padahal kita tidak pantas diperlakukan seperti itu," kata Vivi.

Perempuan Berani Melawan Pelecehan...

Perempuan Berani Melawan Pelecehan
 
Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual, baik fisik maupun non-fisik. Namun, ibarat fenomena gunung es, kondisi riil dipastikan jauh lebih banyak karena sangat minim yang dilaporkan.
 
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018, kekerasan terhadap perempuan berbasis siber muncul ke permukaan dengan masif, tapi kurang dilaporkan dan ditangani. Via Vallen dan Gita Savitri, merupakan contoh perempuan yang berani bicara terbuka untuk menyuarakan pelecehan yang menimpa mereka. Tapi tidak semua perempuan siap secara mental melakukan hal serupa.
 
"Kadang ada orang yang lingkungan keluarganya tidak mendukung, sehingga mereka tidak bisa speak up secara terbuka," tegas Vivi.
 
Dari komunitas Hollaback sendiri, memberikan layanan konseling terhadap perempuan berdasarkan kesiapan mentalnya untuk bicara. Korban tidak bisa dipaksa atau didorong-dorong untuk menceritakan pelecehan yang menimpa mereka, sampai dirinya sendiri berani terbuka.
 
Sementara itu, menurut Budi Wahyuni, ada baiknya ikut mendorong perempuan untuk berani melapor jika memang mengalami tindak pelecehan di dunia maya.

Media Sosial.
 
"Komnas Perempuan akan selalu mengapresiasi mereka yang bersedia melapor, agar pelaku juga mikir, kalau kita memang aware. Dan jangan menganggap bahwa ini nggak ada hasilnya, karena ini semua proses, minimal pelakunya dapat sanksi sosial," kata Budi.
 
Jika perempuan mengalami pelecehan seksual, dapat mencari bantuan konseling ke komunitas aktivis perempuan maupun Komnas Perempuan. Untuk pelaporan sendiri, pihak Kepolisian telah menyediakan bagian Cyber Crime yang menangani kasus-kasus kejahatan di dunia maya.

Ruang Aman di Internet untuk Perempuan...


 
Ruang Aman di Internet untuk Perempuan
 
Dunia maya bak rimba raya. Alam semesta virtual yang dihuni pemilik akun dengan beragam konten yang diciptakannya. Setiap orang bebas berekspresi, menunjukkan kreativitas, bereksplorasi, mencari informasi, hingga menjalin interaksi dengan sesama pengguna.
 
Salah satu elemen dunia maya adalah media sosial (medsos). Sejatinya, medsos diciptakan agar pengguna dari berbagai belahan dunia bisa saling terhubung satu sama lain.
 
Karena medsos merupakan ruang publik yang nyaris tanpa batasan, maka medsos juga bisa digunakan sebagai lapak membangun citra diri hingga melakukan transaksi bisnis. Bagi figur publik, medsos juga dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi dengan penggemar, serta memelihara eksistensi.
 
Masing-masing pengguna memiliki cara tersendiri dalam meraih tujuan eksistensinya, tergantung dari karakteristik platform media sosial yang ia gunakan. Ada yang menonjolkan konten foto, video, maupun tulisan.

Ilustrasi media sosial.
 
Jika memandang dari kacamata kesetaraan gender, dan berkaca dari pengalaman tidak menyenangkan yang dialami oleh Via Vallen dan Gita Savitri, mengemuka pertanyaan: bagaimanakah menciptakan ruang publik di internet yang aman dari pelecehan seksual terhadap perempuan?
 
Menurut Budi, pola pikir dan cara pandang terhadap gender merupakan kunci utama. Masyarakat perlu berhenti menganggap perempuan sekadar sebagai objek, tapi beralih menempatkan perempuan sebagai subjek.
 
"Jadi, kalau ada kritik, ya, kritik yang membangun. Kan kita beda membicarakan perempuan sebagai objek dan subjek. Kalau perempuan ditempatkan sebagai subjek, ada penempatan harkat dan martabat sebagai perempuan," kata Budi.
 
Keadilan dan kesetaraan gender, menurut Budi, kuncinya ada pada berbagi kuasa (sharing power) sehingga seimbang. "Masalahnya kita mau nggak untuk jadi seimbang? Kekerasan terhadap perempuan itu akarnya relasi kekuasaan yang tidak imbang," ujarnya.
 
Satu hal lagi yang digarisbawahi Budi, yaitu perempuan bisa seutuhnya memiliki otonomi terhadap tubuhnya sendiri, termasuk dalam berekspresi di media sosial. Andaikan mereka mau memamerkan tubuhnya sekalipun, itu merupakan bagian dari hak dalam otonomi tubuh. Meski punya hak penuh terhadap tubuhnya, menurut Budi, perempuan hendaknya bisa membangun eksistensi di media sosial dengan ide, pemikiran, serta prestasinya.
 
Adanya tindak pelecehan, penyebabnya bukanlah dari eksternal pelaku, melainkan dorongan dari dalam dirinya sendiri. "Masalahnya bukan pada pakaian yang terbuka. Kalau memang otaknya sudah ngeres, tubuh perempuan ditutupi karung goni juga bisa terjadi perkosaan," katanya.
 
"Cukup berikan komentar yang mengapresasi (perempuan) tak perlu dihujat. Orang upload foto tak ada yang karena alasan ingin dihujat 'kan?" ujarnya menambahkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya