Pilihan Politik Bisa Dipetakan sampai Tujuh Turunan

Warga melakukan pengecekan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 dan Pilpres 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Panasnya situasi politik Pilpres 2019 telah membelah publik di Tanah Air menjadi dua kubu. Dalam perbincangan lazim soal politik belakangan ini, kubu pendukung capres 01 dilabeli sebagai cebong, sedangkan pendukung capres 02 sebagai kampret.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Dua kubu ini saling serang dan saling mengkritisi kubu lawan. Ternyata dari sisi studi neuroleadership, kecenderungan pemilihan politik memungkinkan untuk dipetakan.

Ahli otak dan neurosains Indonesia, Taruna Ikrar, mengungkapkan di Amerika Serikat ilmu neuroleadership sudah mampu memetakan kecenderungan politik seseorang dengan studi berbasis otak. Bahkan, studi neuroleadership sudah mampu memolakan kecenderungan politik untuk tujuh turunan alias tujuh generasi.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Guru Besar di Pacific Health Sciences University, California, Amerika Serikat, ini menuturkan studi pengukuran otak dan kaitannya dengan pilihan politik sudah mulai muncul sejak Barack Obama terpilih menjadi pemimpin Negeri Paman Sam pada 2008.

"Sejak terpilihnya Obama pada 2008, John Hopkins University melakukan riset khusus tentang kecenderungan politik. Hasilnya mencengangkan, di mana parameternya melihat genetik dan kecenderungan pemilihan," kata Taruna, dalam senimar Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership di Jakarta Selatan, Rabu 26 Februari 2019.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Ia menuturkan, sejak itu studi otak untuk kecenderungan pemilihan politik di Amerika Serikat makin menarik. Buktinya, pada 2016, muncul hasil riset baru yang terkenal dengan studi red and blue brain. Studi mampu melihat kecenderungan pemilihan politik warga Amerika Serikat sampai tujuh generasi.

"Dari riset itu ditemukan orang yang pilih Partai Demokrat itu daerah korteksnya punya densitas tinggi, lebih banyak syarafnya. Kalau di Partai Republik itu terbalik, di bagian sublimbik itu lebih tebal dibanding korteks," jelas Taruna, yang merupakan pakar otak RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat ini.

Taruna menjelaskan, pola tersebut menunjukkan, Partai Republik lebih banyak dipilih warga dengan ekonomi kelas atas. Makanya, kata pria asal Makassar, Sulawesi Selatan itu, saat Donald Trump terpilih jadi presiden, orang kaya Amerika mendesak pemerintahan Negeri Paman Sam jangan banyak memungut pajak.

Sebaliknya, Partai Demokrat merupakan pilihan warga menengah ke bawah. Maka tak heran persoalan kecenderungan isu imigran luar biasa dalam kelompok ini.

"Jadi berdasarkan studi itu, pemilihan politik bukan hanya membentuk pattern tertentu tapi sirkuit pemilihan tertentu," tutur dia.

Taruna menuturkan, hasil studi otak untuk pemilihan politik di Amerika Serikat itu memungkinkan terjadi di Indonesia. Pemilihan politik atau kecenderungan pada calon tertentu sudah bisa dipetakan.

"Jadi pertarungan politik di negeri ini, boleh saja itu terjadi (nanti) beberapa generasi terbentuk pattern dan skema tertentu," tutur Taruna. (ali)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya