Rokok Dituding Penyebar Wabah COVID-19, Benar atau Tidak

Rokok.
Sumber :
  • bworldonline.com

VIVA – Para peneliti di Baylor College of Medicine dan University of South Carolina, keduanya dari Amerika Serikat (AS), mengidentifikasi bahwa rokok memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi Virus Corona COVID-19.

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Mereka lalu menganalisis set data RNA yang diekspresikan oleh berbagai jenis jaringan paru-paru, serta membandingkan perokok saat ini, mantan perokok, dan bukan perokok.

Para peneliti melihat ekspresi ACE2, molekul dalam saluran pernapasan yang digunakan pandemi COVID-19, untuk menempel dan menginfeksi sel manusia. Mereka juga melihat ekspresi FURIN dan TMPRSS2, enzim manusia yang diketahui memfasilitasi infeksi Virus Corona.

Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel

Direktur Institute of Clinical and Translational Research di Baylor College of Medicine, Christopher I Amos, melaporkan ada peningkatan 25 persen dalam ekspresi ACE2 dalam jaringan paru-paru milik orang yang merokok sedikitnya 100 batang selama hidup mereka, jika dibandingkan dengan bukan perokok.

Menurutnya, merokok juga meningkatkan kehadiran FURIN, tetapi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan ACE2. Namun, ekspresi TMRPSS2 di paru-paru tidak dikaitkan dengan merokok.

Atasi Masalah Kepadatan di Penjara, Israel Usulkan Hukum Mati Tahanan Palestina

Amos bersama peneliti lainnya juga menemukan bahwa merokok mengubah ekspresi gen sel di paru-paru sehingga gen ACE2 lebih tinggi diekspresikan dalam sel piala, yaitu sel yang mengeluarkan lendir untuk melindungi selaput pembungkus organ paru-paru.

"Efek merokok yang signifikan pada ekspresi paru ACE2 yang diidentifikasi dalam penelitian ini menunjukkan tidak hanya peningkatan titik masuk untuk virus seperti COVID-19, tetapi juga dapat menunjukkan peningkatan risiko masuknya virus ke paru-paru perokok," kata dia, seperti dikutip dari situs Science Daily, Rabu, 20 Mei 2020.

Siapa pun bisa kena

Lebih lanjut dirinya menuturkan jika temuan ini memberikan informasi berharga untuk mengidentifikasi populasi yang rentan terinfeksi COVID-19. Amos menambahkan penelitian ini akan membantu menyelesaikan kecanduan merokok pengaruh merokok terhadap risiko terkena pandemi COVID-19.

Meski begitu, pernyataan berbeda diungkapkan Ketua Gabungan Pabrik Rokok Surabaya, Sulami Bahar. Ia menolak anggapan jika merokok rentan terhadap penyebaran COVID-19.

Sebab, menurut dia, Virus Corona tidak mengenal calon korban, apakah seorang perokok atau tidak. Jika tidak menjaga kebersihan dan menjaga jarak atau physical distancing maka akan mudah tertular wabah mematikan itu.

Sampel tes Virus Corona atau COVID-19

“Virus ini tidak memandang apakah dia merokok atau tidak. Artinya, siapa pun bisa kena. Jadi bukan hanya karena merokok terus terinfeksi," tegas Sulami. Justru, ia mengklaim, industri hasil tembakau sudah membantu pemerintah dalam upaya pencegahan dan penghentian penularan COVID-19.

Ini dibuktikan dengan adanya keputusan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 19/2020 yang mengizinkan pemerintah daerah menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau untuk membiayai kegiatan pencegahan dan penularan COVID-19.

Namun demikian, Sulami juga mengakui kalau industri rokok sangat terdampak oleh Virus Corona, khususnya yang terkait pada aktifitas produksi hingga penjualan produk rokok ke pasar.

"Hampir semua anggota kami terkena imbasnya. Tapi kami masih melakukan kegiatan usaha dengan tetap mematuhi aturan pemerintah terkait protokol pencegahan COVID-19. Jadi masih tetap menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian masyarakat," tuturnya.

Vaksin COVID-19

Perusahaan obat asal Amerika Serikat, Moderna, melaporkan petunjuk pertama bahwa vaksin dapat melatih sistem kekebalan tubuh manusia untuk melawan Virus Corona. Mereka mengatakan antibodi penawar ditemukan pada delapan orang pertama yang ambil bagian dalam uji coba keamanan vaksin mereka.

Mereka juga mengatakan, seperti dikutip dari situs BBC, respons kekebalan pada peserta uji coba mirip dengan orang yang terinfeksi virus sebenarnya. Uji coba yang lebih besar untuk melihat apakah vaksin benar-benar bisa melindungi dari infeksi diperkirakan akan dimulai pada Juli mendatang.

Penelitian vaksin virus corona berlangsung dengan sangat cepat, dengan sekitar 80 kelompok penelitian di seluruh dunia mengerjakannya. Moderna adalah perusahaan pertama yang menguji vaksin eksperimental, yang disebut mRNA-1273, pada manusia.

Vaksin ini adalah potongan kecil kode genetik virus corona, yang disuntikkan ke tubuh pasien. Materi genetik itu tidak mampu menyebabkan infeksi atau gejala COVID-19, namun cukup untuk memicu respons sistem kekebalan tubuh.

Selanjutnya Vaksin Oxford. Vaksin ini dipelopori oleh Universitas Oxford di Inggris yang juga sedang melakukan uji coba pada manusia, tapi belum ada hasilnya. Namun, muncul kekhawatiran tentang hasil percobaannya pada monyet.

Tes menunjukkan hewan yang divaksinasi menunjukkan gejala yang tidak begitu parah dan tidak terkena pneumonia. Namun mereka tidak sepenuhnya terlindungi dari virus, dan jumlah virus yang terdeteksi di hidung monyet sama seperti pada hewan yang tidak divaksinasi.

Profesor Eleanor Riley, dari University of Edinburgh, mengatakan jika hasil serupa diperoleh pada manusia, maka vaksin ini kemungkinan akan memberikan perlindungan parsial terhadap penyakit pada si penerima vaksin.

"Tapi, tidak mungkin mengurangi penularan di masyarakat luas. Bagaimana pun, hingga uji coba manusia selesai dilakukan, mustahil untuk mengetahui keampuhan vaksin pada manusia," ungkap Riley.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya