Startup Kurangi Karyawan Akibat Pandemi, Pengamat: Tak Terhindarkan

Ilustrasi layanan Airbnb
Sumber :
  • www.pixabay.com/TeroVesalainen

VIVA – Perusahaan berbasis teknologi turut terkena dampak dari wabah COVID-19 yang melanda dunia. Mengurangi jumlah karyawan, menjadi salah satu pilihan yang dianggap paling masuk akal demi mempertahankan bisnis.

Startup Lokal Ini Ingin Menyuburkan Benih Revolusi

Hal ini dialami tidak hanya oleh mereka yang sudah banyak makan asam garam, namun juga para pengusaha yang baru merintis bisnisnya, atau biasa disebut dengan istilah startup. Seperti yang dialami Traveloka, yang harus mengurangi 10 persen pegawai imbas banyaknya konsumen yang membatalkan liburan.

Baca juga: 60 Bulan Kerja di Startup Nadiem Makarim, Bos IT Gojek Resmi Resign

Otorita IKN Dukung Pengembangan Ekosistem Startup di IKN

Bisnis perjalanan serta paket wisata lainnya juga bernasib sama. Airy harus mengakhiri bisnis mereka, sementara Airbnb merumahkan 25 persen staf mereka.

Pengamat Teknologi sekaligus Executive Director Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, pengurangan karyawan merupakan opsi terakhir.

2024 jadi Tahun Krusial bagi Industri Kripto Indonesia

”Kondisi layoff (pengurangan karyawan) ini tidak terhindarkan. Sulit mempertahankan karyawan,” ujarnya melalui keterangan resmi, dikutip Selasa 16 Juni 2020.

Airy Rooms

Heru menjelaskan, ada dua jenis pengurangan karyawan yang biasa dihadapi para pengusaha, yakni untuk restrukturisasi dan rasionalisasi. Restrukturisasi jadi pilihan, apabila perusahaan ingin mengurangi pengeluaran dengan cara menggunakan sumber daya yang lebih murah.

“Bagian usaha yang tidak penting dikurangi. Intinya, optimalisasi perusahaan. Misalnya di perusahaan telekomunikasi. Tadinya memiliki orang untuk berikan layanan call center. Dalam perjalanannya, biaya call center mahal, jadi pakai pihak ketiga,” tuturnya.

Sementara, rasionalisasi biasanya dijalankan apabila kondisi keuangan perusahaan semakin memburuk. Misalnya, pendapatan sudah turun jauh dari pengeluaran. Alhasil, meski karyawan tersebut menduduki posisi penting, namun perusahaan terpaksa mengakhiri hubungan kerja.

“Mayoritas perusahaan saat ini tidak berpikir pada pertumbuhan kinerja. Lebih kepada situasi bertahan, agar tidak tumbang. Istilahnya sekarang survive. Kita masuk tahap survival, bertahan hidup lebih penting,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya