Logo DW

Siberia Alami Kebakaran Hutan, Padahal Dekat Kutub Utara

Kebakaran hutan di wilayah Siberia, Rusia.
Kebakaran hutan di wilayah Siberia, Rusia.
Sumber :
  • dw

Wilayah Siberia di Rusia dilanda gelombang panas sampai 38 derajat celsius pada musim panas tahun ini, yang memicu kebakaran hutan cukup luas. Kawasan Arktik, Kutub Utara itu terkenal dengan rekor suhu dingin hingga minus 70 derajat celcius, dan selama 9 bulan ditutupi lapisan es.

“Fenomena ini nyaris mustahil terjadi, jika tidak ada pengaruh aktivitas manusia“, kata Andrew Ciavarella, ilmuwan dari Met Office Inggris yang memimpin penulisan laporan ilmiah itu.

Riset terbaru yang digelar sebuah tim internasional dari Rusia, Inggris, Jerman, Prancis, Belanda dan Swiss menemukan, efek rumah kaca meningkatkan kemungkinan gelombang panas di Siberia hingga 600 kali lipatnya.

Riset memonitor temperatur dari bulan Januari hingga Juni, termasuk hari-hari dimana suhu mencapai 38 derajat celcius di kota Verkhoyansk.

Temperatur ekstrem global makin sering

Para ilmuwan menemukan, tanpa pemanasan global, gelombang panas berkepanjangan yang dialami Siberia saat ini hanya akan terjadi sekali dalam periode 80 ribu tahun.

"Ini merupakan bukti lebih lanjut dari temperatur ekstrem yang kami perkirakan akan lebih sering melanda dunia, dalam iklim yang lebih panas“, tambah Ciavarella.

Tim ilmuwan menggunakan 70 model iklim, untuk melakukan ribuan simulasi yang rumit membandingkan kondisi aktual, dengan kondisi dunia tanpa pemanasan global akibat aktivitas manusia, dari pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi.

Para ilmuwan menekankan, fenomena gelombang panas di Siberia sebetulnya merupakan masalah bagi seluruh dunia.

Anomali gelombang panas berkepanjangan

Sekitar 1,5 juta hektare hutan di Siberia terbakar dan melepas jutaan ton emisi CO2 ke atmosfer. Dalam waktu yang bersamaan, kebakaran hutan dan gelombang panas berkepanjangan, memicu lumernya lapisan permafrost.

Semua itu memberi kontribusi besar pada cuaca ekstrem di kawasan itu. Peneliti Iklim Anders Levermann dalam wawancara dengan DW mengatakan, sejauh ini belum dipahami, mengapa anomali panas ini berlangsung lebih lama.

“Ini fenomena iklim baru yang harus diteliti lebih lanjut,” ungkap dia. Levermann juga menyebutkan, lumernya lapisan permafrost melepas emisi Methana ke atmosfir, dan gas rumah kaca ini beberapa kali lipat lebh kuat efeknya dibanding CO2.

“Ini merupakan ancaman global jangka panjang, karena meningkatnya emsi gas methana dari Siberia, akan mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim global,” tutur dia. as/hp (dw, AP, AFP)