Dilema Kepulan Asap Rokok

Ilustrasi rokok.
Sumber :
  • Pixabay/Ralf Kunze

VIVA – Direktur Divisi Epidemiologi di Departemen Kesehatan Kota New York, Amerika Serikat (AS), Kelly Henning, menegaskan bahwa merokok membunuh lebih dari 8 juta orang per tahun, terutama di negara-negara berpenghasilan menengah hingga rendah.

Khawatir Timbul Badai PHK, Ribuan Buruh Rokok Tolak Kenaikan Cukai SKT 2025

Menurutnya, kematian ini dapat dicegah dan sebagian besar berasal dari kanker, penyakit jantung, stroke, penyakit paru-paru kronis, dan diabetes — kondisi yang juga berkontribusi pada tingginya angka kematian pasien positif Virus Corona COVID-19.

Belum lagi biaya kesehatan yang semakin tinggi, di mana Henning menyebut angka US$1,4 triliun (hampir Rp20 ribu triliun) harus dikeluarkan setiap tahunnya di seluruh dunia.

Kenaikan Cukai Picu Turunnya Produksi Rokok dan Penerimaan Negara

"Bantu perokok untuk berhenti akan mengurangi jumlah orang dengan kondisi mendasar yang dapat membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit berbahaya seperti COVID-19," kata dia, seperti dikutip dari situs CNN, Jumat, 24 Juli 2020.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR Lulu Nur Hamidah, menjelaskan masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ia menyebut ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor maupun pabrik.

Aturan Tembakau RPP Kesehatan Dikritik, Aprindo: Rawan Pungli

Hal ini menjawab penolakan atas penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 77/02/2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok tahun depan. "Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional," tegas dia.

Menurut Lulu, IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Oleh karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat PMK 77/2020.

Saat ini ada sekitar 487 pabrikan rokok, di mana 98 persen dari total jumlah tersebut adalah pabrikan kecil menengah. Namun begitu, ia mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Lalu, tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.

"Dengan demikian masyarakat yang tidak merokok tidak terpapar asap dari para perokok," papar Lulu. Sebagai informasi, melansir Daily Mail, ilmuwan David Simmons dari University College London, Inggris membandingkan 28 studi dengan 23 ribu perokok yang terkena COVID-19 di China, AS, Korea Selatan, Prancis, dan Inggris.

Hasilnya, dari populasi perokok di negara-negara tersebut, yang terpapar Corona cuma 10-25 persen, kecuali Korea Selatan yang hampir seluruh perokoknya positif terkena COVID-19. Namun, lagi-lagi data menunjukan bahwa 43 persen perokok yang akhirnya terkena COVID-19 sakitnya lebih parah daripada yang tidak merokok.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya