Logo DW

Otak Harus 'Diakali' Supaya Tidak Cemas dan Khawatir yang Berlebihan

Ilustrasi cemas dan khawatir (Imago Images/M. Eichhammer).
Ilustrasi cemas dan khawatir (Imago Images/M. Eichhammer).
Sumber :
  • dw

Pada situasi serba tidak menentu seperti saat ini, banyak orang terkubur dan terobsesi dalam pikiran mereka sendiri. Bayangkan Anda berada di sebuah lorong labirin besar, setiap belokan mengarah ke jalinan bencana yang lebih dalam dan rumit, ada berbagai peristiwa menyedihkan di sana.

Seperti itu kira-kira rasanya ketika cemas memikirkan masalah yang menghadang. Memang, setiap orang sesekali memikirkan hidup atau pilihan mereka secara berlebihan. Namun, beberapa orang tidak dapat menghentikan spiral arus pikiran ini. Ada dua komponen dalam monolog batin ini: khawatir dan merenung berkepanjangan.

Merenung berkepanjangan

Menurut Susan Nolen-Hoeksema, profesor psikologi di Universitas Yale, aktivitas merenung berkepanjangan melibatkan pengulangan masalah dalam pikiran seseorang. Manusia merenung dengan terobsesi pada pikiran kita dan berpikir berulang kali tentang berbagai aspek situasi pada masa lalu.

Aktifitas otak ini biasanya melibatkan rasa menyesal, membenci dan menyalahkan diri sendiri. Merenung dikaitkan dengan perkembangan depresi, kecemasan, dan gangguan makan.

Orang yang rentan mengalami pola pemikiran seperti ini biasanya terlalu banyak menganalisis setiap detail dari suatu hubungan yang kini tidak lagi berlangsung. Mereka sering menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi dan diliputi penyesalan.

Pemikiran yang hinggap seringnya berupa:
- Saya seharusnya lebih sabar dan lebih mendukung.
- Saya telah kehilangan pasangan paling sempurna yang pernah ada.
- Tidak ada lagi yang akan mencintai saya.