Soal Buzzer Hoax, MUI Sebut Haram dan Batil

Aksi Kampanye Anti Hoax di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id – Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Asrorun Niam Sholeh mengatakan, Fatwa Media Sosial yang diterbitkan MUI pada Senin lalu. berbeda dengan fatwa-fatwa yang pernah dibuat sebelumnya.

Beredar Hoax Go-Food Diberi Racun, Gojek Lapor Polisi

Kebanyakan fatwa yang ditetapkan MUI, umumnya lebih menyinggung halal dan haramnya sesuatu, maka Fatwa Media Sosial MUI cenderung menekankan kepada pedoman penggunaan media sosial.

"Fatwa ini, selain berbicara tentang halal dan haram, juga berbincang tentang pedoman yang bersifat sangat praktis yang sering kali dilakukan oleh pegiat media sosial," ujar Niam di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Jumat 9 Juni 2017.

Stop Sebar Teror di Medsos, Yuk Kampanye #BersatuIndonesiaku

Bahkan, Niam menyebutkan, pengguna dan media sosial pernah melakukan kesalahan tanpa disadari. Hal ini, karena banyak informasi yang beredar di media sosial tidak terklarifikasi, sehingga isi berita, atau informasi acap kali salah, atau bohong.

Untuk itu, Niam menyebutkan, sedikitnya ada tiga hal yang harus dilakukan dalam proses tabbayun, atau klarifikasi saat seseorang memperoleh informasi, yaitu pemastian sumber informasi, melihat kompetensi, dan otoritas.

Polisi dan Kemenkominfo Usut Penyebar Hoax soal Teror Bom

Misalnya saja, untuk kepentingan mekanisme klarifikasi. Secara umum, seseorang yang menerima informasi harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu, agar ia mendapat kebenaran tentang isi informasi tersebut.

"Karena dalam informasi itu tersimpan kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Yang benar saja belum tentu cukup (baik) untuk di-share. Tetapi, sekali pun tahu, mereka tak melakukan langkah-langkahnya. Nah, fatwa ini memberikan latar untuk bagaimana melakukan tabbayun," ujarnya.

Dia menjelaskan, fatwa ini berguna untuk menilai dan mengukur kredibilitas seseorang yang mengunggah informasi. Begitu tingkat kredibilitas pengunggah rendah, maka menurutnya sudah tak layak dipercaya informasinya.

"Misalnya seseorang yang sudah dikenal akan kredibilitasnya 'Ah, ini pembohong nih!' atau 'Pasti dia punya tujuan buruk nih, karena dia terafiliasi oleh orang yang punya kepentingan berita itu'. Ini kalau dalam hadis, posisi seperti ini sudah merontokkan kredibilitas sehingga tidak layak untuk dipercaya. Sama, ketika kita melihat media yang kredibel. Bisa jadi ini menjadi salah satu pintu masuk. Seperti media abal-abal yang memang mereka dimanfaatkan untuk provokasi," tegasnya.

Berikutnya, verifikasi konten>>>

Verifikasi konten

Langkah berikutnya, yaitu verifikasi konten. Masyarakat harus mencari tahu maksud yang terkandung dari isi informasi tersebut. Niam menilai, korban dan pelaku tidak mengenal usia dan tidak mengenal keawaman. Sehingga, kasus hoax yang memanas akhir-akhir ini juga melanda sejumlah pihak yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi.

Poin selanjutnya yakni berkaitan dengan konteks ruang dan waktu. Dalam kasus penyebaran foto dan video di media sosial, Niam menegaskan, masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap apa yang dilihat dalam gambar.

"Sekadar contoh dalam suatu daerah ada insiden banjir. Kemudian, kita dapat share foto banjir dan korban-korban yang meninggal, tetapi ternyata waktu dan tempatnya salah. Kejadiannya memang sama, tapi bukan itu. Bukan di situ, dan itu bukan korban banjir melainkan korban meninggal karena suatu hal lain. Atau bisa jadi itu foto lama," jelasnya.

Meski demikian, Niam mengatakan, permasalahan umumnya terletak pada buzzer bayaran. MUI mengharamkan segala macam aktivitas buzzer yang membuat hoax, menyebarluaskan ujaran kebencian, menciptakan fitnah, menjadikan bahasa kasar untuk kepentingan yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis, serta mengambil keuntungan dan mengkapitalisasi.

"Uang yang diperolehnya juga uang haram. Ini namanya memakan secara batil. Karena dia menjual, mengkapitalisasi, mengambil keuntungan dari hoax, ujaran kebencian, fitnah, ghibah, termasuk juga pengguna jasa. (Haram) orang yang memfasilitasi dan orang yang terafiliasi dengannya," ucapnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya