Jangan Tergiur Harga Murah, Batik Print Itu Bukan Batik

Ilustrasi kain batik.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

VIVA – Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa motif batik print merupakan bagian dari batik. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf.

Tingkatkan Kompetensi, PNM Berikan Pelatihan Batik Ecoprint Kepada Nasabah

Terlebih kini Indonesia juga mengalami gempuran impor kain motif dari luar negeri yang kemudian diklaim sebagai batik. Terkait hal tersebut, Triawan kembali menegaskan bahwa motif batik print bukanlah bagian dari batik.

"Batik itu metode, bukan kain batik bermotif yang di-print. Tapi konsumen tidak mudah mengerti karena kemampuan daya beli mereka," ungkap Triawan dalam konferensi pers ‘Membatik Untuk Negeri oleh Yayasan Batik Indonesia’ di Mall Grand Indonesia, Selasa, 17 September 2019.

Pilot dan Kopilot Tidur saat Terbang Dinonaktifkan, Batik Air: Keselamatan Tidak Dapat Ditawar

Triawan menjelaskan, kain yang bisa disebut batik ialah kain yang diproduksi dengan metode membatik, baik itu batik tulis atau cap, atau dengan metode campuran. Oleh karenanya, Triawan mengatakan bahwa pemerintah sendiri memiliki tanggung jawab untuk melakukan proteksi kepada para pembatik.

Kepala Bekraf, Triawan Munaf.

Batik Air Buka Suara soal Pilot dan Copilot Tidur 28 Menit saat Terbang

"Kemudahan impor kain motif ini juga memukul industri batik dan tekstil nasional kita. Tentu kita memfokuskan nilai tambah karena di situ ada kemuliaan batik. Tapi kita juga harus memperhatikan mass market dan mass product kita," ucap Triawan.

Ditemui di kesempatan yang sama, Direktur IKM (Kimia, Sandang, Kerajinan dan Industri Aneka) Kementerian Perindustrian RI, E. Ratna Utarianingrum juga menegaskan hal yang sama. Ia juga terus berupaya mengedukasi masyarakat untuk memahami bahwa motif batik print tidak bisa disebut kain batik.

Selain itu, Triawan juga mengungkapkan bahwa pihaknya kini tengah menyusun upaya agar harga dari batik lebih mudah terjangkau oleh semua kalangan. Namun, di sisi lain juga tetap bisa memberdayakan para pengrajinnya.

"Batik itu sebuah metode. Kita enggak mau memposisikan batik sebagai barang murahan. Harus ada apresiasi untuk orang pakai batik tapi tentunya affordable," kata Triawan.

"Itu selalu jadi masalah. Makanya itu yang harus kita pikirkan, gimana middle man ini tidak terlalu banyak mengambil dari harga yang dijual. Jadi harus ada ekosistem dan tata kelola, dari pembatik sampai konsumen harus diefisiensikan,” tutupnya. (rna)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya