Ngeri, Ada Ritual Menari dengan Orang Mati

Ritual Famadihana di Madagaskar
Sumber :
  • instagram.com/rufo

VIVA – Masyarakat Madagaskar punya ritual unik untuk merayakan ikatan kekeluargaan. Namanya Famadihana atau dikenal juga dengan sebutan turning of the bones.

AI Bisa Menghidupkan Orang Mati

Ritual ini dirayakan oleh suku Malagasi setiap tujuh tahun sekali, dengan membongkar makam keluarga dan nenek moyang untuk diambil tulang-tulangnya yang akan dibungkus dengan kain baru.

Setelah itu, mereka menari bersama tulang-tulang tersebut dengan sukacita. Ada musik yang mengiringnya dan hewan yang dikorbankan, di mana dagingnya dibagikan kepada anggota keluarga dan tamu.

Kitab Orang Mati Ditemukan, Berisi Tuntunan Jalan Kemakmuran di Alam Baka

Dalam ritual itu, para tetua menjelaskan kepada anak cucu mereka tentang pentingnya orang mati yang terbaring di depan mereka. Famadihana dipandang sebagai hari untuk menunjukkan kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Keluarga besar berkumpul dan merayakan hubungan kekerabatan.

Menurut kepercayaan suku Malagasi, orang tidak terbuat dari tanah, tetapi dari tubuh leluhur. Karena itu, suku Malagasi menghormati nenek moyangnya. Mereka percaya, walau tubuh orang mati membusuk, tapi masih mampu berkomunikasi dengan orang hidup. Sehingga nenek moyang atau keluarga yang telah meninggal dunia masih tetap dicintai melalui Festival Famadihana.

Ceramah Viral UAS: Apakah Orang Mati Bisa Mendengar Kita?

Dikutip dari Oddity Central, festival tersebut bukan praktik kuno di Madagaskar. Festival ini baru dimulai sekitar abad ke-17. Menggelar festival ini perlu biaya besar lantaran persiapannya rumit termasuk menyediakan makanan mewah untuk tamu dan pakaian baru untuk keluarga yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia.

Keluarga miskin harus menabung selama beberapa tahun untuk bisa mengadakan festival tersebut. Sementara bagi keluarga mampu yang tidak menggelar Festival Famadihana dianggap telah melakukan pelanggaran berat.

Kendati demikian, beberapa orang suku Malagasi berbeda pendapat mengenai hal ini. Beberapa dari mereka percaya bahwa biaya besar untuk menggelar festival itu adalah pemborosan. Sedangkan lainnya percaya bahwa mustahil untuk berbicara dengan orang mati jika tak menggelar festival tersebut. Soal itu, Gereja Katolik memandang Famadihana sebagai sebuah budaya dan bukan agama. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya