Kisah Tri Joko Tanamkan Budi Pekerti Anak-anak Lewat Budaya Jawa

Memetri Wiji
Sumber :
  • VIVA.co.id/Isra Berlian

VIVA – Di sebuah pendopo bergaya Jawa yang tak begitu luas, sekumpulan anak-anak yang mengenakan pakaian lurik duduk dengan antusias sambil menyimak dua wanita yang ada di depan mereka. Lantas, dengan suara lantang mereka melantunkan tembang mijil. 

Pertama Kalinya Anggun Nyinden, Netizen Merinding

Ketika pelajaran beralih ke aksara Jawa, raut antusias mereka tidak berubah. Begitulah suasana di Memetri Wiji, sebuah tempat pendidikan nonformal yang didirikan Tri Joko Saptono. Tempat ini mengajarkan berbagai hal terkait bahasa Jawa, mulai dari tembang hingga aksara Jawa.

Ia mengawali pendirian Memetri Wiji dari keprihatinan menurunnya nilai moral generasi muda dan tata krama. Tri Joko lalu menggandeng keluarganya membangun Memetri Wiji di Tamanan, Sleman Yogyakarta. 

Sultan HB X Berharap Aksara Jawa Bisa Bangkit di Era Digital

“Kita bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat, untuk memperbaiki moral masyarakat, untuk memperbaiki karakter masyarakat dengan basis budaya Jawa,” kata dia saat ditemui di Sleman Yogyakarta.

Menariknya, Tri Joko sebenarnya tidak memiliki latar pendidikan kebudayaan Jawa. Tapi, ia dan keluarga tetap teguh mendirikan sekolah ini demi pembinaan budi pekerti anak-anak.

Aksara Jawa Semakin Dekat ke Dunia Digital

Memetri Wiji yang didirikan oleh Tri Joko Saptono

“Kami tidak punya modal tentang kebudayaan Jawa, yang menjadi modal adalah kami sekeluarga dialog setiap harinya menggunakan bahasa Jawa halus. Saya dengan orang tua, anak saya dengan saya, sesama anak saya, bermodal itu untuk mencoba memberikan ini,” lanjut dia. 

Dia menjelaskan, Memetri Wiji adalah sanggar pembinaan budi pekerti. Ia dan keluarga ingin membangun karakter dimulai dari pemahaman budaya Jawa. Karenanya, ia menggunakan media bahasa dan kebudayaan Jawa. Dari di situ anak-anak diajarkan etika dan sopan santun. 

“Mereka diajarkan untuk membaca dan menulis huruf Jawa yang kebanyakan mudah dilupakan,” kata dia. 

Dengan menitikkan air mata, Tri bercerita ia tidak mengharap pamrih apapun dari anak-anak yang belajar di sana. Karena itu pula, Tri  tidak membebani biaya sepeserpun dari kegiatan ini. Dengan penuh keharuan, ia mengucap syukur kepada semua orang, termasuk orangtua dan keluarga.

“Kami puas, kami senang apabila masyarakat senang. Saya puas karena masyarakat itu menanggapi baik, kami dapat kepuasan batin itu yang saya peroleh,” ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya