Cerita WNA di Jakarta Jalani Ramadan dan Ikut Mudik Lebaran

Nihad, WNA Asal Maroko
Sumber :

VIVA.co.id – Mudik bagaikan budaya yang melekat dengan masyarakat muslim Indonesia. Namun, hal tersebut juga menjadi tradisi bagi sebagian Warga Negara Asing (WNA) yang bekerja di Indonesia saat jelang Hari Raya Idul Fitri.

Satgas COVID-19: Efek Mudik Lebaran Baru Terlihat 2-3 Minggu Lagi

Seperti yang dilakoni Nihad, warga asing yang bekerja di Kedutaan Besar Belgia di Jakarta. Bagi perempuan keturunan Maroko itu, Ramadan kali ini merupakan pengalaman barunya dalam menjalankan ibadah puasa.

Dia mengaku terkesima dengan kemeriahan Ramadan yang ada di ibukota Indonesia. Sebelum di bekerja di Indonesia, Nihad hanya menjalani ibadah puasa di Belgia dan di negara nenek moyangnya, Maroko.

Lonjakan Kasus COVID-19 Usai Lebaran, Menkes Siapkan Kondisi Terburuk

Nihad senang menghabiskan sebulan penuh puasa di Jakarta. Pasalnya, baik di Eropa dan Afrika, tak satu pun ruang publik yang menyertakan ornamen-ornamen islami khas Ramadan. Meskipun Maroko tergolong negara Islam, Nihad mengaku tidak melihat spesialnya suasana Ramadan di sana, seperti yang ada di Indonesia.

Selain terpukau pada ornamen-ornamen khas Ramadan yang cantik dengan dominasi warna hijau, ia juga mengagumi toleransi setiap kafe, restoran, dan warung yang ada di sini, yang banyak ditutupi tirai. Tidak hanya mengagumi hal itu, ia juga cukup terkejut.  

Jelang Lebaran, Ini Pesan Gubernur Jabar untuk Pemudik

Pengalaman lainnya yang ia miliki adalah saat mengunjungi masjid-masjid di Jakarta. Nihad menemukan beberapa masjid yang dipenuhi oleh bazar makanan dan pakaian muslim. Ia memanfaatkan momentum tersebut tidak hanya untuk salat wajib dan sunah tarawih, namun juga berburu pakaian yang tak ia jumpai di negara-negara lain.

Biasanya Nihad pergi ke Masjid Sunda Kelapa, Masjid Jami Matraman yang tak jauh dari tempat tinggalnya, serta Masjid Istiqlal yang unik bagi dirinya. Bagi Nihad, melihat qori atau pembaca Al-Quran perempuan bukanlah hal biasa. Di Masjid Istiqlal ia pertama kalinya menyaksikan seorang qori melantunkan ayat-ayat Al-Quran dan disaksikan seluruh jamaah yang akan melaksanakan tarawih.

Selain itu, menjalankan ibadah sebagai seorang muslim di Eropa tidaklah mudah. Nihad dan keluarga biasanya memilih tarawih berjamaah di rumah, karena masjid di Belgia sangatlah terbatas. Bahkan mereka tidak dapat mendengar kumandang azan sebagaimana yang selalu kita dengar di Indonesia. Kebanyakan masjid-masjid disana pun tidak memiliki kubah, jadi bagi penduduk luar, tidak akan tahu di mana masjid itu berada.

Selama di Jakarta, Nihad hanya berpuasa selama kurang lebih 13 jam. Namun saat di Belgia, Nihad harus berpuasa lebih panjang, yakni sekitar 18 jam. Ia mengaku tidak kesulitan sama sekali menjalani puasa di Indonesia, meskipun tidak bersama-sama dengan keluarganya.

Nihad

Setelah puas menghabiskan Ramadan di Jakarta, H-4 menjelang lebaran, Nihad pun rindu dan memutuskan ingin berkumpul bersama keluarga dan mengunjungi kerabatnya. Dikarenakan tak ada sanak saudara di Jakarta, Nihad memutuskan untuk mengunjungi keluarga dan sahabatnya yang berada di negeri jiran, Malaysia. Berhubung biaya pesawat ke Eropa tidaklah murah dan ia masih ingin menikmati suasana yang berbeda dari negara asalnya, maka Nihad memutuskan mudik sebagai ajang silaturahmi saja, tidak untuk pulang ke kampung halamannya di Belgia maupun Maroko.

Meskipun begitu, ia berniat akan kembali lagi ke Indonesia untuk menghabiskan masa-masa Ramadan, di kota-kota lainnya. Mantan jurnalis di Belgia ini sangat hobi melancong, dirinya telah menjelajahi berbagai benua yang ada di dunia.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya