Kisah Kakek 91 Tahun Pewaris Pedang Penjagal Tentara Jepang

Mbah Huri Prasetyo
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA – Momentum Pertempuran Lima Hari Semarang yang jatuh tiap bulan Oktober menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Mbah Huri Prasetyo. Kakek berusia 91 tahun itu merupakan saksi sejarah dan pelaku pertempuran dahsyat pemuda Semarang melawan Jepang tahun 1945.

4 Sosok Misterius di Indonesia, Ada Pahlawan Tak Bertuan

Di usia senjanya, Mbah Huri terlihat masih memiliki semangat yang sama seperti 72 tahun silam. Ia tinggal di Tegalsari Barat G III Nomor I Semarang. Mbah Huri dikenal sebagai pewaris pedang yang dahulu digunakan untuk memenggal ratusan tentara Jepang di Semarang.

Sebagai pelaku serta pewaris pedang, Mbah Huri masih fasih bercerita tentang sejarah masa lalu. Suaranya lantang dan gerak tubuhnya begitu cekatan memperlihatkan betapa sebilah pedang itu diklaim berhasil membantai ratusan tentara Jepang.

Foto-foto Langka saat Tentara Jepang Jadi Kuli di Indonesia

"Saat pertempuran lima hari itu saya masih 19 tahun dan masuk Angkatan Muda. Asli saya dari Rembang, " kata Mbah Huri memulai cerita kepada VIVA co.id, Kamis, 19 Oktober 2017.

Kisah pedang penjagal Mbah Huri berawal saat pertemuannya dengan Sayuto, seorang pejuang tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sayuto diketahui mampu berbahasa Jepang dengan fasih dan kerap melakukan penyerangan kamp-kamp Jepang di Semarang. Alat perang yang selalu dibawa Sayuto adalah pedang dan sepucuk pistol. Sayuto dikenal sebagai penjagal tentara Jepang yang tangguh kala itu.

Bobby Nasution Minta Maaf ke Ijeck dan Golkar Sumut Usai Bertemu Airlangga di Jakarta

"Kalau dengan Sayuto, saya itu bisa dikatakan teman maupun ajudan. Karena saya yang selalu membawakan wadah pedang Sayuto tiap ia menjagal orang Jepang," ujar Mbah Huri.

Dalam ingatannya, sosok Sayuto dikenal sebagai penjagal tentara Jepang yang berani mati. Ia pun masih hapal betul sejumlah lokasi pemuda Semarang memberangus tentara Jepang tanpa ampun.

Berawal dari 10 Oktober 1945, para pemuda Semarang melakukan perundingan untuk mengusir tentara Jepang yang masih bercokol di Semarang, padahal Proklamasi Kemerdekaan telah didengungkan. Lokasi perundingan itu di gedung RRI Semarang.

Mbah Huri menyebut, lokasi yang akan diserang pemuda adalah markas Jepang di kawasan Tanah Putih. Namun Jepang yang mengetahui hal itu justru murka dan menunjukkan keganasannya dengan melakukan pembantaian terhadap warga dan para pejuang.

Singkat cerita, pembantaian Jepang terhadap pemuda menyulut kemarahan pejuang Semarang kala itu. Pun peristiwa pembunuhan dr Kariadi pada 14 Oktober 1945. Saat itu, dr Kariadi bersama sopirnya dibunuh saat hendak mengecek tandon air Reservoir Siranda yang katanya diracun Jepang.

"Kejadian-kejadian itu lalu memicu kemarahan pemuda. Yang paling saya ingat betul saat Jepang menangkap dua pemuda, lalu di pasar Jatingaleh dipenggal di depan warga, " ujar dia.

Kejadian itu, lanjut Huri, membuat Sayuto dan sejumlah tokoh pemuda dalam satu regunya panas. Mereka antara lain Soetrisno Soedomo, Joewahir, Djoko Soepardi, Sayoeto, Huri Prasetyo dan anggota lain. Regu tersebut lalu berinisiatif membunuh tentara Jepang di sejumlah lokasi.

Mbah Huri Prasetyo dan pedang warisannya

Sayuto yang memang fasih berbahasa Jepang kerap menjadi ujung tombak regu. Dengan gagah berani, ia menebas leher tentara Jepang dengan pedang yang ditemukannya di markas Jepang.

Dalam ingatan Mbah Huri, pedang Sayuto memenggal tentara Jepang mulai dari kawasan Bulu (sekarang LP Bulu), kawasan depan SMA 3 Semarang, kawasan Graha Santika dan sejumlah lokasi lain.

"Di depan SMA 3 itu, kita ketemu tiga orang Jepang siang-siang. Oleh Sayuto langsung dipenggal kepalanya tanpa ampun. Kalau semuanya total tentara Jepang yang dipenggal sayuto tak terhitung, " ujar kakek 13 cucu itu.

Diwariskan

Seiring berkobarnya perang pemuda Semarang mengusir Jepang, Mbah Huri dan Sayuto sempat terpisah. Sayuto bahkan sempat mewariskan pedang penjagal asli buatan Jepang kepada Mbah Huri untuk dirawat.

Hingga saat ini, pedang tersebut masih ada. Meski telah berusia lebih dari 72 tahun, pedang penjagal tersebut masih terawat dengan baik. Mbah Huri mengaku beberapa kali pedang itu diminta oleh sejumlah orang yang datang ke rumahnya, namun dia menolaknya.

"Istilahnya ini pedang warisan, jadi harus saya jaga. Sejak saya bawa, sekali saya bermimpi ketemu orang Jepang. Mungkin pemiliknya, tapi cuma sekali itu, " ujar dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya