Kontroversi Terkait Aborsi Aman Bagi Korban Pemerkosaan

Ilustrasi wanita.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kasus kriminalisasi yang dialami oleh Flora (bukan nama sebenarnya), seorang remaja berusia 15 tahun asal Jambi pada tahun 2018 lalu menjadi catatan penting bahwa korban pemerkosaan masih sulit mendapatkan layanan aborsi yang aman.

Flora yang menggugurkan kandungan akibat diperkosa berkali-kali oleh kakak kandungnya sendiri, justru dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian. Meski Pengadilan Tinggi Jambi, akhirnya memutus bebas Flora, celah kriminalisasi kasus serupa masih mungkin terjadi.

Hal ini lantaran Pemerintah Republik Indonesia, yang dalam hal ini ialah Kementerian Kesehatan, masih belum menunjuk fasilitas kesehatan resmi bagi korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi.

Pemerintah RI memang melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun terdapat pengecualian terkait indikasi kedaruratan medis, dan juga kehamilan akibat perkosaan. Semua itu diatur dalam Undang - Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 75. Dalam pasal selanjutnya juga disebutkan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berusia enam minggu yang dihitung dari hari pertama haid dan mendapatkan pendampingan secara psikologis.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 pasal 35 juga menyebutkan bahwa praktik aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawab harus dilakukan oleh dokter dengan standar dan dilakukan di fasilitas kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

Ilustrasi positif hamil

Tidak hanya itu, tata laksana aborsi sendiri juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2016 Tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Pemerkosaan. Namun, meski seluruh peraturan telah dibuat, implementasi di lapangan masih jalan di tempat. Hal ini juga diakui oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, saat dihubungi oleh VIVA.

“Memang untuk implementasi, kalau dikatakan belum jalan, ya memang belum jalan. Karena pada saat waktu kita buat itu juga banyak sekali penolakan-penolakan bahkan sampai demo,”ungkap Eni kepada VIVA.

Praktik Aborsi Ilegal Digerebek Polisi di Apartemen Kelapa Gading

Eni menjelaskan, di Indonesia sendiri aborsi masih dianggap sebagai hal yang tabu lantaran bertentangan dengan norma agama. Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama percaya bahwa melakukan aborsi adalah suatu hal yang berdosa. Sementara itu, lanjut Eni, secara medis, banyak dokter yang menghargai kehidupan. Sebab itu, implementasi untuk peraturan tentang aborsi masih jalan di tempat.

“Kadang juga dari dokternya ada yang tidak mau mengerjakan. Walaupun tata laksananya sudah ada. Tapi ketika dokter tidak mau di aturan etika kedokteran ketika tidak mau dengan dasar apa pun, saya harus merujuk ke teman sejawat yang lebih mampu. Itu ada aturan main secara etika,” ungkap Eni.

Gerebek Rumah Aborsi di Ciracas, Polisi Temukan 7 Kerangka Janin dalam Septic Tank

“Dan sekali lagi juga banyak obgyn yang tidak mau. Jadi balik lagi ke secara teknis dan persepsi pribadi.”

Hal itu juga diakui oleh Ketua Pengurus Nasional PKBI Dr. Sarsanto W. Sarwono, SpOG, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Meski selama bertahun-tahun dirinya terus mengadvokasi korban pemerkosaan untuk mendapatkan aborsi yang layak, di organisasi profesi sendiri menurutnya memang terjadi perbedaan pandangan mengenai aborsi. Padahal di UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2019 Tentang Kesehatan sendiri dikatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus dilakukan secara aman, bertanggung jawab, merata, dan non diskriminatif.

Polisi Beberkan Peran 6 Tersangka Rumah Aborsi Ciracas, Cari Pasien hingga Buang Janin

“Jadi profesi memang masih terbelah, tapi kita sudah ngumpulin siapa yang mau kita didik. kalau perlu dan dokter umum juga mau silakan, tinggal tempatnya. Tinggal kembali ke Kemenkes, kalau memang sulit mereka kasih tempat, berikanlah izin ke kami ke perkumpulan ini yang mengerjakan itu,” ungkap Sarsanto.

Hal inilah yang menurut Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, Herna Lestari, membuat banyak korban pemerkosaan memilih untuk melakukan aborsi secara tidak aman. Hal tersebut tentunya akan menyumbang angka kematian ibu yang menurut SUSENAS tahun 2015 masih sebesar 305 per 100.000 kelahiran. Sebuah angka yang masih jauh dari target 126 per 100.000 kelahiran.

Menyuburkan Aborsi Tidak Aman

Dalam kasus yang mendapatkan pendampingan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, banyak korban pemerkosaan yang akhirnya disarankan untuk mendapat pertolongan medis oleh tenaga dokter yang berada dalam jaringan organisasi tersebut. Seperti salah satunya untuk mendapatkan pertolongan dari PKBI.

Hal ini lagi-lagi karena Kementerian Kesehatan masih belum menetapkan fasilitas dan mensertifikasi dokter yang layak untuk menangani kasus ini. Sehingga meski dilakukan oleh tenaga dokter profesional, hal ini masih terbilang ilegal.

Tidak hanya itu, masih sulitnya akses bagi korban pemerkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi yang aman juga membuat mereka memilih jalan pintas yang cenderung tidak aman. Seperti dengan ramuan tradisional dan juga melakukan pemijatan pada bagian perut. Selain itu, lanjut Herna, hal tersebut juga membuka peluang maraknya praktik calo aborsi yang pada akhirnya justru menjerat para korban karena harganya yang cukup mahal.

Erna mencontohkan bahwa praktik ini banyak ditemukan di sekitar kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Menurutnya banyak tukang ojek di lokasi tersebut yang merangkap sebagai perantara untuk melakukan aborsi. Hal ini telah menjadi rahasia umum yang banyak diketahui masyarakat.

“Jadi di wilayah tertentu mungkin memang dengan dokter. Tapi karena ini masih sangat tidak legal, jadinya biayanya sangat mahal sekali. Ini yang terjadi, aborsi yang bisa dilakukan dengan biaya murah tapi karena kondisi dan situasi yang belum suportif jadi masih sangat mahal,” kata dia.

Senada dengan Herna, Sarsanto juga menjelaskan, bahwa masih sedikitnya tenaga medis profesional yang mampu menangani aborsi untuk korban pemerkosaan dan masih belum ditunjuknya fasilitas kesehatan resmi oleh pemerintah, membuka celah bagi para calo aborsi untuk mengambil persentase atas jasa yang ditawarkannya. Hal ini tentu saja membuat harga dari layanan aborsi itu cukup tinggi, dan banyak korban akhirnya kesulitan untuk mengaksesnya.

Lalu kemana pasien itu dibawa oleh para calo?

“Macam - macam mereka punya jaringan sendiri. Sulitnya itu kalau dibawa ke tempat-tempat yg tidak ada izin dan tidak jelas dokternya siapa dan itu yang bikin repot. Kadang klinik - klinik itu juga tidak ada papan nama yang jelas,” kata dia.

Masih Kuatnya Stigma Negatif

Selain itu, masih kuatnya stigma negatif pada korban pemerkosaan juga membuat mereka seringkali menunda untuk mencari layanan aborsi yang aman. Padahal dalam aturan sendiri, aborsi untuk korban pemerkosaan hanya enam minggu yang dihitung dari hari pertama haid. Belum lagi mereka juga harus melakukan visum ke kepolisian yang tentu saja membutuhkan waktu lebih.

“Untuk korban perkosaan mereka itu mendapatkan double stigma, pertama karena menjadi korban pemerkosaan itu, dan yang kedua mendapat stigma lagi ketika ingin melakukan aborsi. Padahal bayangkan kalau ia tetap dipaksa melanjutkan kehamilannya, dan ketika lahir lihat anaknya dia jadi ingat dengan wajah pelakunya terus-terusan, ini bikin triple traumanya,” kata Sarsanto.

Sebab itu, Sarsanto terus - menerus melakukan sosialisasi kepada aparat kepolisian untuk memberikan perspektif pada korban pemerkosaan. Ia juga sangat terbuka untuk terus mengadvokasi dan melayani korban perkosaan yang ingin mencari layanan aborsi yang aman.

“Makanya tetap yang harus didorong kemenkes untuk menunjuk faskes. Kami tidak apa mengambil risiko. Buat kami kemanusiaan yang harus diutamakan,” ungkap Sarsanto.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya