Misophonia, Saat Suara Membuat Seseorang 'Gila'

Telinga.
Sumber :
  • pixabay/Adinavoicu

VIVA – Bayangkan mendengarkan seseorang mengunyah permen karet dengan keras, lalu merasa marah, jijik, dan panik. Suara-suara seperti mengunyah yang keras atau menyeruput bisa mengganggu bagi sebagian besar orang. Tapi bagi orang yang menderita kondisi langka yang disebut misophonia, hal itu sangat tidak bisa ditoleransi.

Benarkah Agen Khusus Rusia Potong Telinga Tersangka Teroris Moskow & Dipaksa Memakannya?

Misophonia, dikenal juga dengan Sensitivitas Suara Selektif, biasanya digambarkan sebagai respons emosional atau psikologis yang kuat terhadap kehadiran atau antisipasi suara tertentu yang umumnya dihasilkan oleh manusia. Contohnya, suara seseorang menggigit makanan renyah, suara meng-klik, membunyikan buku jari, bahkan bernapas. Meski kemarahan adalah reaksi paling umum yang tercatat pada penderita misophonia, kecemasan dan rasa jijik juga merupakan respons yang mungkin terjadi.

Namun, emosi intens ini juga diiringi dengan pelepasan adrenalin yang menyebabkan gejala seperti peningkatan denyut nadi, oleng, berkeringat, dan peningkatan denyut jantung. Hal ini membuat berhadapan dengan pengalaman yang bagi sebagian besar bagi kita adalah manusiawi, menjadi sangat mustahil bagi orang yang menderita misophonia.

Mengorek Telinga Bisa Membatalkan Puasa Ramadhan? Begini Kata Buya Yahya

Margot Noel, penderita misophonia dari Inggris, baru-baru ini tampil dalam ulasan BBC yang mendokumentasikan seperti apa hidup dengan kondisi tak biasa itu. Pemicu kondisinya meliputi suara makanan renyah, berbisik, lidah mengecap, pulpen, dan buku jari. Bukan karena dia tidak menyukai suara itu, tapi hanya saja dia tidak bisa tahan secara fisik dengan beberapa suara itu.

"Suara itu membuat saya melompat dari kursi dan saya harus melakukan sesuatu agar suaranya berhenti," ujar Margot mengenai reaksinya terhadap suara gemeretak buku jari.

Pemuda di Tangerang Dibegal, Motor Dirampas-Telinga Nyaris Putus Dibacok Pelaku

Dikutip dari laman Oddity Central, Margot menjelaskan, itu tidak seperti suara yang tidak disukai orang, tapi lebih dari itu dan benar-benar berbeda. Hal itu sesuatu yang dirasakannya di dalam perut, seperti kecemasan yang ekstrem. Terkadang, Margot merasa kewalahan, tidak bisa berpikir apa pun, reaksinya itu seperti menguasai dirinya. Ia bahkan menggambarkan kondisinya itu seperti seseorang tengah menodongkan senjata ke arahnya.

Margot sudah mengalami misophonia selama yang ia bisa ingat. Salah satu ingatan paling awal adalah ketika adiknya mengusiknya dengan suara lidah mengklik. Kapan pun ia mengganggu adiknya atau tidak melakukan sesuatu yang adiknya inginkan, adiknya akan langsung membunyikan lidahnya karena tahu Margot tidak akan tahan. Mereka sudah dewasa sekarang dan adiknya sudah lebih mengerti, tapi kondisinya tidak menjadi lebih baik. 

Menjelaskan kondisinya kepada orang lain, bahkan kepada sahabat dan keluarga, dan membuat mereka memahami kalau itu bukan salah mereka dan mereka tidak perlu merasa bersalah karena membuat suara normal, adalah hal yang berat bagi Margot. Terkadang, ia harus makan malam dengan seseorang dan dipaksa mendengarkan suara mengunyah mereka. Tapi dia enggan menghentikannya karena takut mereka akan menganggapnya sebagai permintaan untuk berhenti menjadi diri mereka sendiri.

"Mereka merasa itu seperti serangan atau kritikan, padahal bukan. Akulah masalahnya, tapi sangat sulit meminta orang mengurangi suara karena selalu membuat mereka tidak bisa menjadi diri mereka di sekitar Anda," ujar wanita berusia 28 tahun itu.

Margot baru mengetahui dia menderita misophonia sekitar tiga tahun lalu, setelah mengalami serangan saat menghadiri sebuah drama teater. Dia menikmati penampilannya, tapi seketika napas seseorang yang dekat dengannya menarik perhatiannya. Mereka terdengar seperti akan mati, dan itu terus membuat Margot teralihkan dari sandiwara.

Ia pun pulang dan mencari di internet segala gejala yang mirip dengan yang dialaminya. Saat ia membaca mengenai misophonia, Margot merasa lega karena ia setidaknya mengerti apa yang terjadi.

Setelah mengetahui kalau penelitian misophonia sedang dilakukan di Newcastle, Margot menghubungi salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian itu dan akhirnya diundang untuk ambil bagian. Dia harus menjalani enam tahap tes untuk mengukur responsnya terhadap beberapa pemicu tertentu, tapi ia hanya melalui dua di antaranya sebelum semuanya sulit dihadapinya.

"Bukannya saya menyerah, karena saya mengatakan pada mereka ingin melakukannya. Tapi, mereka mengatakan saya harus berhenti karena saya terlalu tertekan dan itu membingungkan hasilnya," kata Margot kepada BBC.

Dalam kesehariannya, Margot memakai penyumbat telinga atau headphones untuk menghalangi suara yang membuatnya gila. Ia juga memilih musik sebagai 'pelindung'. Saat menonton film, dia akan menutup telinganya kapan pun dia mendengar suara yang memicu respons emosional yang tak terkendali, seperti ciuman yang bergairah.

Margot mengatakan, di luar pengembangan pengobatan untuk misophonia, dia berharap lebih banyak orang menyadari kondisi tak biasa itu sehingga ia tak perlu merasa tidak nyaman meminta mereka tidak membuat suara tertentu.

"Jika aku bisa meminta seseorang di sebelah saya di teater, 'Maaf, bisakah Anda tidak mengeluarkan suara itu, saya punya misophonia,' dan mereka akan, 'Oh, maaf,' Itulah yang saya harapkan lebih dari pengobatan, bisa membicarakan hal itu dengan seseorang tanpa mereka membuat saya seperti orang gila," imbuh Margot.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya