Polusi Udara Disebut Sumbang Angka Kematian COVID-19

Virus corona dan ajakan tetap di rumah
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Berbagai penelitian lembaga asing baru-baru ini mengungkap adanya keterkaitan yang erat antara polusi udara dengan jumlah orang-orang yang rentan terpapar virus corona COVID-19 hingga menyebabkan angka kematian yang tinggi.

Studi terbaru dari Universitas Harvard memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19. Penelitian tersebut mendapati adanya kaitan antara peningkatan 1 ug/m3 PM2.5 dengan kualitas udara saat ini, dapat berdampak pada 15 persen tingkat kematian akibat COVID-19.

Guru Besar Universitas Indonesia dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Prof. Dr. Budi Haryanto, menjelaskan bahwa gangguan kesehatan atau penyakit akibat pencemaran udara dapat menyebabkan kondisi akut seperti ISPA, Asma, dan juga kronis.

“Untuk polusi udara yang menyebabkan kondisi kronis, umumnya berasal dari emisi BBM kendaraan bermotor, industri dan juga kebakaran hutan. Jika sudah masuk ke dalam tahap kronis, biasanya seseorang akan mengalami iritasi saluran napas, gangguan fungsi paru, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), penyakit jantung, hipertensi, diabetes, gangguan ginjal, dan lain-lain,” ujar Prof Budi, saat media briefing Pandemi Korona dan Polusi Udara; Bagaimana Keterkaitannya?, Kamis 30 April 2020.

Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Prof Budi menemukan bahwa 57,8 persen dari populasi Jakarta telah menderita berbagai penyakit terkait polusi udara pada tahun 2010.

Merujuk pada situasi saat ini dan juga hasil-hasil penelitian kesehatan terbaru, Prof Budi meyakini, penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan penderita COVID-19.

“Tingkat fatalitas kasus (CFR) di Indonesia 8 persen, sedangkan untuk global adalah 3 persen,” ujarnya.

Buka sumber data emisi

Pemprov DKI Lanjutkan Razia Uji Emisi hingga Akhir Tahun Meski Tilang Disetop

Dengan latar belakang berbagai riset tersebut, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) yang merupakan gabungan individu maupun organisasi yang memperjuangkan hak atas udara bersih, meminta kepada pemerintah Indonesia untuk berani segera membuka data sumber emisi.

Hal itu ditujukan untuk dapat mengetahui sumber emisi apa saja yang hingga kini masih menyebabkan angka pemantauan Indeks Kualitas Udara tetap terbilang buruk.

Capres-Cawapres Masih Minim Perhatian terhadap Isu Polusi Udara, Menurut CSIS

Polusi udara yang setiap tahun bisa menyebabkan kematian hingga jutaan jiwa di seluruh dunia, seharusnya sudah sejak lama membuat pemerintah menyusun strategi untuk segera menyelesaikan masalah pencemaran udara.

Pemerintah memang telah mengeluarkan imbauan bekerja dari rumah hingga memberlakukan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak pekan pertama April 2020.

Razia Uji Emisi di Jakarta Timur Digelar 4 Kali Sepanjang November

Imbauan dan aturan yang ditujukan untuk mencegah penularan virus COVID-19 itu dianggap sebagian masyarakat turut berhasil mengurangi polusi udara. 
Namun kebijakan itu sendiri dibuat hanya sebatas untuk mencegah penularan virus COVID-19.

Bukan untuk secara beriringan memperbaiki kualitas udara yang sesungguhnya memiliki pengaruh untuk mengurangi angka pasien ataupun kematian akibat COVID-19.

PSBB tidak kurangi polusi udara

Tidak dibarenginya perbaikan kualitas udara yang signifikan di masa pandemi ini dapat dilihat dari catatan indeks kualitas udara. Berbagai lembaga riset kualitas udara mendapati bahwa tingginya pencemaran udara nyatanya berbanding terbalik dengan pemandangan langit cerah di Jakarta dan kota-kota penyangga.

“Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan juga PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar yaitu PLTU bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan. Ada potensi polutan tersebut juga berkontribusi pada polusi udara di Jakarta dan kota tetangganya,” ujar Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.

Ia menambahkan kondisi tersebut membuat urgensi buka data emisi kepada publik sebagai hal yang mendesak, terlebih dalam situasi sekarang.

“Masyarakat berhak tahu polusi udara yang mereka hirup ini porsinya bersumber dari mana saja, karena berpotensi membahayakan kesehatan, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini,” tutur dia.

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, menegaskan pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan. Lambannya pengendalian pencemaran udara yang seharusnya dilakukan pemerintah, akhirnya kini memperparah risiko gejala penyakit yang berhubungan dengan COVID-19.

“Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini. Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap (ambien, emisi, meteorologis dan geografis),” kata dia.

Fajri mengatakan publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga untuk memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya