OTG Corona Justru Miliki Kekebalan yang Jauh Lebih Rendah

Ilustrasi virus corona.
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Orang yang terinfeksi virus corona atau COVID-19, tetapi tidak menunjukkan gejala (OTG). Mungkin memiliki tingkat kekebalan yang jauh lebih rendah terhadap virus dibanding orang yang kena COVID-19 parah, demikian menurut hasil penelitian terbaru. 

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Sebagian besar pasien virus menunjukkan tanda-tanda infeksi yang relatif kecil, dan sebagian kecil tidak menunjukkan gejala sama sekali. Sangat sedikit yang bisa diketahui dari kelompok ini, mengingat mereka jauh lebih kecil kemungkinannya untuk dites, dibanding mereka yang terus mengembangkan gejala parah, termasuk masalah pernapasan. 

Dalam penelitian ini, para peneliti yang berbasis di China membandingkan dua kelompok yang terinfeksi COVID-19 di distrik Wanzhou, dengan perbandingan 37 orang yang menunjukkan gejala, dan 37 yang tidak ada gejala. 

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Para peneliti menganalisis sampel darah dari kedua kelompok yang diambil beberapa minggu setelah sembuh. Dari hasil penelitian tersebut, mereka menemukan bahwa hanya 62,2 persen kelompok asimptomatik (tanpa gejala) yang memiliki antibodi jangka pendek, dibanding dengan 78,4 persen pasien simptomatik (dengan gejala). 

Setelah 8 minggu sembuh, antibodi menurun pada 81,1 persen pasien tanpa gejala, dibanding dengan 62,2 persen pasien dengan gejala. Terlebih, pasien asimptomatik ditemukan memiliki kadar protein pensinyalan sel pro-antiinflamasi yang lebih rendah dibanding kelompok simptomatik, yang menunjukkan kekebalan yang lebih lemah terhadap virus corona. 

PM Singapura Lee Hsien Loong Mundur dari Jabatan, Ini Sosok Penggantinya

Menurut penulis penelitian yang hasil studinya diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine, mengatakan bahwa temuan mereka mempertanyakan gagasan bahwa setiap orang yang terinfeksi virus corona akan kebal terhadap infeksi ini di masa depan. 

"Data ini mungkin menunjukkan risiko menggunakan 'paspor kekebalan' COVID-19 dan mendukung perpanjangan intervensi kesehatan masyarakat, termasuk menjaga jarak sosial, kebersihan, isolasi kelompok berisiko tinggi dan melakukan pengujian luas," kata mereka, dikutip Times of India, Senin 22 Juni 2020.

Danny Altmann, juru bicara British Society for Immunology serta profesor Imunologi di Imperial College London, mengatakan penelitian ini menimbulkan pertanyaan penting untuk memerangi COVID-19.

"Banyak data imunologi sejauh ini berasal dari analisis pasien yang paling parah dan dirawat di rumah sakit. Tetapi, kebanyakan orang yang telah terkena dampak ringan (OTG) ingin tahu apakah ini kemungkinan memberikan kekebalan yang tahan lama dan protektif," katanya.

Altmann mengatakan, itu adalah titik penting dan berpotensi mengkhawatirkan bahwa banyak pasien dalam penelitian ini menunjukkan kadar penurunan antibodi yang signifikan hanya dalam dua bulan. 

"Meskipun ini menggunakan sampel pasien dalam ukuran yang sangat kecil, ini sejalan dengan beberapa kekhawatiran bahwa kekebalan alami terhadap virus corona dapat berumur pendek," kata Altmann yang tidak terlibat dalam penelitian. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya