Kaya Tanaman Obat, RI Hanya Punya 8 Produk Fitofarmaka

Media gathering Dexa Medica
Sumber :
  • Official Dexa Medica

VIVA.co.id – Kekayaan alam Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal, terutama sebagai bahan baku pembuatan obat. Padahal, European Journal of Medicinal Plants mencatat bahwa Indonesia memiliki 283 jenis tanaman obat yang telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan serta bisa digunakan untuk bahan baku obat-obatan.

Bukan Lagi Obat Tradisional, Mengapa Fitofarmaka Belum Masuk Formularium JKN?

Pada kenyataannya, dari kekayaan potensi alam Indonesia tersebut hanya terdapat sekitar 12.690 produk jamu, 45 produk obat herbal yang terstandar, dan hanya 8 produk fitofarmaka.

Seperti diketahui, fitofarmaka merupakan status tertinggi dari bahan alami sebagai 'obat'. Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinik pada manusia.

Manfaat Allspice: Rempah Jamaika Serbaguna untuk Kesehatan

Jika sebelumnya uji coba dilakukan secara praklinik (uji coba pada hewan), pada obat fitofarmaka, dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada hewan coba, namun belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia.

Berdasarkan peraturan kepala Badan POM RI, fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.

Obat China Dipercaya Lebih Manjur dari Herbal Indonesia, Ahli Ungkap Fakta 'Curang' di Baliknya

Direktur Inovasi dan Pengembangan Saintifik PT Dexa Medica, Raymond Tjandrawinata, mengungkapkan bahwa ketika proses pengembangan fitofarmaka dilakukan, hasilnya tidak maksimum bahkan mengurangi efikasi dibandingkan dengan placebo. Hal itu yang menyebabkan pelaku industri yang mengembangkan fitofarmaka begitu sedikit.

“Makanya tidak banyak yang berani melakukan penelitian klinis. Karena itu perusahaan-perusahaan jamu yang masuk ke dalam perusahaan fitofarmaka ini hanya satu atau dua,” ujarnya dalam rilis pada jumpa pers “Strategy Update & Courtesy PT Dexa Medica” di Jakarta, Rabu, 8 Maret 2017.

Penyebab lain tingginya risiko kegagalan pengembangan fitofarmaka tersebut, adalah proses pencapaian satu obat fitofarmaka tersebut bisa memakan waktu hingga delapan tahun. Hal itu juga membuat beberapa pihak tidak berani melakukan penelitian fitofarmaka.

Meskipun memiliki risiko pengembangan yang tinggi, PT Dexa Medica berkomitmen menggunakan farmakologi modern yang mendukung pengembangan fitofarmaka dengan membuat banyak produk fitofarmaka.

Saat ini, dari delapan produk fitofarmaka yang ada di Indonesia, empat produk di antaranya adalah produksi PT Dexa Medica yakni Inlacin, Stimuno, Livitens, dan Resindex.

“Ini tugas kami sebagai saintis, Indonesia harus punya lebih banyak lagi fitofarmaka dan semoga cita-cita para saintis bahwa Indonesia harus punya 20 fitofarmaka dalam waktu 2-3 tahun ke depan. Negara-negara di Eropa, seperti Jerman sudah sangat serius mengembangkan produk fitofarmaka,” tutur Raymond.

Lalu, bagaimana caranya agar itu tercapai? Raymond menjelaskan bahwa pelaku industri harus bisa memanfaatkan kerja sama dengan lembaga penelitan.

Dari pihak pemerintah juga bisa mendorong percepatan izin fitofarmaka, agar industri bisa mempercepat pemasaran. Selain itu, pemerintah bisa memastikan bahwa obat herbal terstandar dan fitofarmaka masuk dalam formularium obat JKN.

“Masuknya obat herbal terstandar dan fitofarmaka ke dalam formularium obat nasional JKN dapat mengatasi persoalan obat-obatan terkait faktor kesehatan dalam negeri; seperti masih tingginya importasi bahan baku obat yang mencapai 90 persen, kurangnya ketersediaan obat-obatan yang ditanggung oleh BPJS ,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya