Gulai Bustaman dan Kisah Kampung Jagal Semarang

Gulai Bustaman.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id – Menjelajah ragam kuliner khas Semarang memang tak pernah ada habisnya. Kota yang merupakan akulturasi budaya Jawa, Eropa, China dan Arab itu masih banyak meninggalkan makanan tradisional legendaris yang masih digemari hingga saat ini. 

Sate Koyor Karangsaru Legendaris Khas Semarang, Jelang Buka Banyak yang Ngantre

Salah satu kuliner legendaris Semarang adalah Gulai Bustaman. Olahan daging kambing dengan bumbu rempah-rempah ini bahkan telah populer di banyak daerah. Gulai Bustaman menjadi masakan yang tak lekang oleh waktu. 

VIVA co.id pun mencoba menelusuri asal-usul Gulai Bustaman di pusat kota Semarang, tepatnya di Jalan Mataram. Di kawasan ini, banyak ditemukan para penjual masakan yang asalnya memang dari kampung bernama Bustaman tersebut.

Nikmatnya Buka Puasa dengan Nasi Ruwet Khas Semarang

Sebuah warung Gulai Bustaman yang tak pernah sepi pembeli adalah milik Qomariyah (57 tahun). Warga asli RT 03 RW 03 Kampung Bustaman Gedong nomor 41 itu telah berjualan selama 17 tahun di lapak sederhana di Jalan Mataram. Qomariah tak sendiri. Saban hari ia berjualan bersama suaminya, Hartono (65 tahun).

"Sejak Oktober tahun 2000 saya jualan di sini. Alhamdulillah selalu laris karena ini resep yang sudah turun temurun," ujar Qomariyah di Semarang, Selasa, 12 September 2017.

Sensasi Berbuka Puasa dengan Sate Tulang Ayam, Seperti Apa Rasanya?

Warung Qomariyah memang tak semewah restoran. Ia hanya mendirikan gerobak sederhana hasil modifikasi gerobak gendong yang diberi dua buah roda. Bagian atap hanyalah terpal warna biru serta empat meja kecil dengan kursi kayu yang cukup tua. Meski begitu, sejumlah mobil mewah selalu mampir untuk menikmati sepiring Gulai Bustaman.

Saat pelanggan memesan, Qomariyah akan menawarkan racikan daging kambing yang diinginkan. Ada daging kepala, lidah, telinga, mata, pipi serta jeroan ataupun kaki kambing atau tengkleng. 

"Ciri khas gulai Bustaman biasanya spesial kepala kambing, karena di bagian-bagian ini kolesterolnya lebih sedikit. Tapi kalau orang China lebih pilih bagian kaki, " ujar ibu empat anak itu. 

Satu persatu daging dipotong kecil-kecil di atas piring. Untuk kuah gulai dipanaskan di sebuah tungku kecil di atas gerobak. Gulai lalu disajikan bersama potongan bawang serta jeruk nipis dan sepiring nasi.

Ia bilang gulai-gulai yang khusus dijual oleh warga Bustaman punya cita rasa unik. Jangan salah, Gulai Bustaman tak memakai santan. Kuahnya yang kecoklatan berasal dari parutan kelapa yang digoreng hingga kering menjadi kelapa urap atau serundeng.

Kemudian serundeng yang sudah diolah sedemikian rupa ditumbuk hingga mengeluarkan tetesan minyak kelapa. Minyak kelapanya lalu dimasukkan ke dalam air mendidih sampai menjadi kuah.

"Ini yang jadi ciri khasnya Bustaman. Tanpa santan. Hanya memakai minyak serundeng," ucapnya.

Pemilihan rempah juga tak sembarangan. Qomariyah harus menggunakan rempah jenis Kapulaga Arab, merica, kunir dan jahe. Menurutnya, Kapulaga Arab membuat aroma gulainya lebih sedap dan tidak membuat daging apek. Dan benar, rasa gulai lebih sedap dan gurih.

"Saya dapat Kapulaganya langsung dari Arab Saudi. Agar lebih enak, gulai bisa dikasih sedikit jeruk nipis sebagai penambah rasa," katanya.

Saban hari Qomariyan dan suaminya berjualan mulai pukul 10.00 WIB sampai 16.30 WIB sore. Untuk satu porsi gulai dijual seharga Rp30 ribu. Pelanggannya sudah merambah ke luar kota seperti Rembang dan daerah-daerah lainnya. Untuk dalam kota, paling tidak ada 30 pembeli yang mampir ke warungnya setiap hari.

Kampung Jagal 

Bicara Gulai Bustaman, kata Qomariyah, tak lepas dari adanya kisah kampung jagal di Semarang. Sebelum membuat masakan gulai dan satai, Kampung Bustaman menjadi kampung yang dihuni oleh warga yang saban harinya bekerja sebagai penjagal kambing, sapi dan kuda. 

Nama Kampung Bustaman berasal dari nama Kiai Kertoboso Bustam, yang merupakan kakek buyut dari pelukis legendaris Indonesia, Raden Saleh. Lalu muncul lah nama Kampung Bustaman di era penjajahan Belanda. Sejak saat itu, mayoritas warganya kemudian beralih menjadi tukang jagal kambing hingga saat ini. 

"Nenek saya yakni Nyi Fatimah jadi orang pertama di Bustaman yang mencoba berjualan gulai kambing di pinggir jalan dan ditiru warga lainnya sampai sekarang," tuturnya.

Dulunya ada 13 juragan yang meramaikan transaksi jual beli dan pengolahan kambing yang didatangkan ke Kampung Bustaman, dari seluruh daerah di Jawa Tengah. Termasuk kakek buyut Qomariyah bernama Datuk Adhan yang merupakan keturunan Koja, Pakistan. 

"Sejak saat itu usaha jagal terus diwariskan hingga kini. Sekarang ada puluhan yang tiap hari jadi penjagal. Untuk satu penjagal bisa motong 50 kambing sehari," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya