Picu Bunuh Diri, Waspadai Gangguan Mental Anak dan Remaja

Ilustrasi anak menangis
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Tak sedikit orangtua yang mengabaikan kesehatan mental anak-anaknya. Padahal, kesehatan mental penting untuk dijaga agar nantinya tidak menimbulkan gangguan mental

Viral Sosok Wanita Tersubur di Dunia, Lahirkan 44 Orang Anak Tanpa Suami yang Menafkahi

Gangguan mental tidak dapat dianggap remeh, karena dampaknya tidak sederhana. Anak-anak yang mengalami stres bahkan sampai depresi, dapat menggangu perkembangan mereka saat dewasa. Parahnya lagi, gangguan mental dapat memicu kecenderungan untuk bunuh diri. 

Di Indonesia, hasil Riskesdas 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun, meningkat menjadi 9,8 persen dari yang sebelumnya 6 persen di tahun 2013. 

Meli Joker Tewas Bunuh Diri Sambil Live di Instagram, Psikolog Soroti Hal Ini

Baca juga: Anak Shandy Aulia Dihina, 5 Sumber Kaya Jedar dan Penghasilan YouTuber

Organisasi kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat, 15 persen anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Di mana bunuh diri menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di dunia, bagi kelompok anak usia 15-19 tahun.

Kalau Mau Damai, Atalarik Syach Kasih Syarat Ini ke Tsania Marwa

Menyoroti hal ini, Psikolog Anak, Annelia Sari Sani, S.Psi, yang juga merangkap sebagai Ketua Satgas Penanganan COVID-19 IPK Indonesia mengatakan, peranan kesehatan mental pada anak dapat menunjang kehidupan mereka saat dewasa. 

“Gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka. Termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orangtua," ujarnya saat diskusi online HaloTalks bersama Halodoc, Kamis 23 Juli 2020. 

Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, menurut Annelia, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit untuk dilihat. 

"Sehingga, penting bagi orangtua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini. Gunanya untuk meminimalisasi risiko jangka panjang saat anak tumbuh dewasa," kata dia. 

Sayangnya, menurut Co-founder Ubah Stigma, Asaelia Aleeza, banyak stigma negatif yang kerap diterima oleh penderita gangguan mental di Indonesia. 

"Saat kami berinteraksi dengan anak muda yang mengalami gangguan mental, stigma yang paling sering ditemui adalah rasa malu dan bingung. Mereka malu mengakui bahwa memiliki gejala-gejala gangguan mental, serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki," ujarnya dalam diskusi yang sama. 

Asaelia percaya dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orangtua. Maka, penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya