- pixabay/Kadie
VIVA.co.id – Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2014, lebih dari 4,7 juta anak Indonesia usia antara 7-18 tahun tidak bersekolah. Salah satu penyebab utamanya adalah alasan ekonomi.
Menurut pemaparan Education Specialist UNICEF Indonesia, Suhaeni Kudus, tantangan dalam mendorong anak-anak untuk bersekolah adalah dengan meyakinkan para orangtua.
Dari sebuah studi yang pernah dilakukan, alasan kenapa orangtua tidak mendorong anaknya kembali bersekolah adalah mereka tidak melihat adanya perbedaan antara lulusan Sekolah Dasar (SD) dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Masalah ekonomi ditambah dengan persepsi mengenai pendidikan yang dianggap tidak bisa menjadi nilai tambah anak, akhirnya memicu keputusan mereka tidak melanjutkan pendidikan anak," ujar Suhaeni, saat acara bertajuk ‘Philips Lighting Peduli Pencapaian Program Pendidikan Dasar’ di JS Luwansa, Jakarta, Selasa 8 Maret 2017.
Salah satu cara untuk meyakinkan orangtua adalah dengan memperlihatkan kepada mereka bahwa pendidikan yang akan ditempuh adalah pendidikan yang berkualitas, dan dapat memberikan nilai tambah pada kehidupan anak di masa depan.
Selain itu, UNICEF juga memberikan bantuan yang dapat memperkuat sistem sekolah, misalnya membantu menguatkan progrm sekolah satu atap. Karena, sekolah satu atap memiliki konsep yan baik untuk transisi anak dari tingkat SD menuju SMP. Sebagian besar anak yang tidak sekolah, memang bukan karena mereka berhenti, tetapi karena tidak melanjutkan ke tingkat selanjutnya.
"Pemerintah sudah mengembangkan sekolah satu atap untuk membantu anak transisi, ketika tamat SD mereka tidak perlu jauh-jauh ke tempat lain. Tetapi, bisa tetap sekolah di tempat yang sama," ucap Suhaeni.
Selain faktor perspektif orangtua, penyebab lain tingginya anak tidak sekolah adalah banyaknya anak perempuan yang menikah dini. Dari data terbaru menunjukkan bahwa 10 persen anak usia 13-18 tahun tidak sekolah atau berhenti sekolah karena menikah atau disebut juga dengan pernikahan anak.
Pendidikan, kata Suhaeni, seharusnya dijadikan investasi bagi anak. Dengan pendidikan yang baik, anak-anak tidak akan berakhir menjadi buruh, di mana kesejahteraannya tidak akan banyak berubah dari orangtua.
"Ini akan menjadi kondisi yang berkelanjutan. Jika tidak investasi pendidikan, artinya kita melanjutkan kemiskinan secara turun temurun. Pendidikan akan membuka peluang yang lebih baik bagi anak-anak di masa depan," kata Suhaeni. (asp)