Minum Susu Pakai Dot Picu Gangguan Perilaku pada Anak

Ilustrasi bayi minum dari botol susu.
Sumber :
  • Pixabay/Ben_krckx

VIVA.co.id – Pemberian air susu ibu atau ASI secara eksklusif dianjurkan selama enam bulan dan diteruskan hingga anak berusia 2 tahun. Namun, pemberian ASI eksklusif ini menjadi kendala tertentu bagi para ibu pekerja.

Viral Bocah Terbang Terbawa Balon, Orang Sekitar Histeris

Menurut ahli nutrisi dr. Tan Shot Yen, masalah ibu pekerja yang menyusui datang ketika masa cuti hamil selama tiga bulan habis. Yang awalnya ibu rajin memerah susu dan memberikan ASI pada buah hatinya, ketika sudah mulai bekerja kembali, mulailah ada intervensi penggunaan dot.

Nah, perlu diketahui bahwa penggunaan dot ternyata memengaruhi perilaku anak.

Anak Sering Tantrum Tanpa Sebab? Ini 8 Tips Mengatasinya

"Ternyata anak yang diberikan dot ada pengaruhnya. Berdasarkan bukti ilmiah, ketika berusia prasekolah, anak akan memiliki perilaku yang berbeda," kata dr. Tan kepada VIVA.co.id, baru-baru ini.

Tan melanjutkan, anak yang biasa memakai dot, perintah untuk menghabiskan susu datang dari pengasuhnya. Ibu meminta pengasuh menyuruh anak menghabiskan, sehingga anak menghabiskan makanan karena keharusan. Mereka pun tidak punya rasa puas dan bahagia.

Viral Bocah Terjebak dalam Teralis Besi Jadi Sorotan Netizen

"Kalau mereka menyusu langsung, anak tahu kapan mau berhenti dan punya rasa puas," imbuh Tan.

Kasus terbesar di Indonesia, menurut Tan, adalah edukasi. Ketika anak memasuki usia pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), banyak ibu dan ayah yang mengatakan jika MPASI pabrikan tidak apa-apa diberikan pada anak, karena komposisinya sudah bisa memenuhi kebutuhan gizi anak.

Perasa bayam atau buah dalam MPASI pabrikan dianggap bisa membuat anak suka makan buah dan sayur ketika berusia enam tahun. Padahal anggapan ini sama sekali tidak benar.

"Dari kecil anak sudah hidup dengan yang artificial, palsu, bisa-bisa sudah besar dia kecerdasannya artificial, memori juga artificial. Itu mengerikan," kata Tan.

Masalah pangan ini, kata Tan, juga terkait dengan 'penyakit budaya', akibat budaya pangan yang bergeser.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya