Misteri Gua Liangkabori, Sejarah Awal Mula Masyarakat Muna

Gua Liangkabori
Sumber :
  • VIVA.co.id/Kamarudin Egi

VIVA.co.id – Kabupaten Muna adalah salah satu daerah dari 17 kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah dengan luas berjumlah 1.941,08 kilometer persegi ini, mempunyai banyak bukti prasejarah awal mula kehidupan masyarakatnya. Seperti  gua purna bernama Liangkabori atau goa berlukis.

Isi Libur Lebaran, Yuk Jelajahi Sejarah Islam dengan Cara Seru dan Edukatif

Kondisinya yang masih alami dan belum tersentuh tangan wisatawan. Gua ini menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Muna. Liangkabori pun menjadi situs purbakala yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah.

Indahnya gua ini, tidak saja terlihat dari bentuknya yang mirip mulut manusia, melainkan lukisan purba dalam dinding gua yang tak kalah indahnya.

Rekomendasi Wisata Anti-Mainstream di 5 Tempat Kelahiran Pahlawan Nasional

Liangkabori terletak di Desa Liangkabori, Dusun 2, Kecamatan Lohia, Muna. Letaknya kurang lebih 10 kilometer dari pusat kota Raha (Ibu Kota Kabupaten Muna). Untuk menuju Liangkabori, masyarakat melewati jalan poros Raha-Mabolu, Kecamatan Lohia. Kemudian memasuki lorong di perbatasan Desa Mabolu dan Desa Liangkabori.

Awalnya, untuk mencapai mulut gua, VIVA.co.id nampak kesulitan. Tak ada tanda atau petunjuk arah untuk menuju Liangkabori. Hanya ada satu papan nama wisata, itu pun tertutup rumah warga. Untuk mencapai bibir gua dari jalan poros perlu memasuki lorong lagi sejauh dua atau tiga kilometer. Jalurnya sedikit rusak karena jalan aspal belum memadai.

7 Tujuan Wisata untuk Mengenang Sejarah Indonesia, Wajib Dikunjungi

Namun betapa pun sulitnya mencapai mulut gua Liangkabori, semua terbayarkan dengan nuansa hijau pepohonan yang tumbuh di atas bebatuan kapur. Tak hanya itu, rumput hijau di depan mulut gua, dan anak tangga yang begitu bersih akan menjadi obat lelah.

Di Desa Liangkabori, tidak saja menyajikan satu gua berlukis. Melainkan ada sembilan gua berlukis dengan nama berbeda.

Masyarakat setempat mempercayai lukisan-lukisan ini merupakan buatan manusia purba. Yang dibuat pada 300 atau 400 tahun silam. Lukisan ini sengaja dibuat untuk menggambarkan kehidupan masa lalu.

Masyarakat yakin, manusia purba ingin menggambarkan kehidupan, namun karena dulu belum mengetahui huruf dan angka, maka manusia purba memilih melukis.

Salah satu juru kunci gua Liangkabori, La Ode Samada mengatakan, jumlah mereka ada sembilan orang. Juru kunci ini bekerja menjaga dan melestarikan lukisan dalam gua, biasa juga menjadi tour guide atau pengantar wisatawan.

Dikatakan La Ode Samada, penunjukan juru kunci dilakukan dengan dua cara, pertama ditunjuk pemerintah dan kedua keturunan dari juru kunci sebelumnya. “Jumlah kami ada sembilan, pertama saya sendiri, kemudian La ode kosasi, Darman, La Ode Sine, La Tamuru, La Mimo, La Ndoi, La Ode Rifai, dan La Samada. Terakhir itu memang mirip nama saya juga. Jadi kami itu kerja membersihkan, temani yang datang (wisatawan) dan terpenting menjaga lukisan,” kata La Ode Samada di kediamannya.

Menurut dia, sampai pada 2017 ini, ada sembilan gua yang mempunyai lukisan purba di Desa Liangkabori ini. Pertama Gua Liangkabori sendiri yang artinya gua berlukis. Kemudian Gua Metanduno yang artinya hewan bertanduk, Gua Damalanga artinya nenek turunan bangsawan, Gua Lakulumbu atau goa yang ditemukan oleh orang Kolombia. Lalu, Gua Waenserofa 1 dan 2 atau gua yang ukurannya kecil hanya satu meter atau satu depa, Gua Wabose atau gua karena ada lukisan perempuan yang sedang mendayung.

Gua Toko atau gua karena ada lukisan anak manusia yang dituakan. Gua Lasabo atau gua yang ditemukan oleh orang Lisabon ibu kota Portugal. Gua Latanggara atau lukisan arah tenggara. Gua Sugimpatani atau lukisan gelar manusia di dinding gua, dan terakhir Gua Pominsa 1 dan 2 atau dalam arti kakak.

Menurut La Ode Samada, nama-nama gua ini disampaikan oleh orang-orang tua dahulu di Muna. Penamaan gua juga sesuai dengan kejadiannya dan lukisannya sendiri. Semisal Gua Liangkabori dinamakan Liangkabori karena banyak lukisan. Tetapi di gua yang lain walaupun banyak lukisan namun dinamakan sesuai situasi dan keadaan lukisan dalam gua.

“Seperti Gua Metanduno ini dinamakan Metanduno karena ada lukisan hewan bertanduk. Seperti Rusa dan Sapi. Jadi memang namanya diambil sesuai keadaan nenek kita dulu,” katanya.

Lukisan di Gua Liangkabori

Lokasi penelitian

Gua ini katanya pertama kali diteliti oleh seorang sejarawan bernama Kosasih S.A. pada tahun 1977. Kemudian dikembangkan oleh La Hada pada tahun 1984. Seiring berjalannya waktu, gua-gua tersebut menjadi sumber belajar kepurbakalaan beberapa kampus di Indonesia salah satunya Universitas Halu Oleo di Kendari. Beberapa guru besar kampus ini melakukan penelitian soal lukisan-lukisan di dinding gua.

“Disimpulkan kalau umurnya itu 300 sampai 400 tahun. Peneliti dari Makassar juga sempat datang di sini. Mereka sampai marah kalau lukisannya dipegang-pegang atau disentuh. Karena katanya ini bisa merusak. Makanya begitu disayang,” katanya tersenyum.

La Ode Samada mengatakan, lukisan gua tersebut dibuat dari empat sumber racikan pertama tanah liat, darah hewan, lemak hewan dan terakhir getah pohon. Untuk lukisan pertama dengan umur yang cukup tua adalah lukisan telapak tangan di dinding gua Liangkabori.

Kemudian ada gambaran manusia sedang berburu hewan babi, setelah itu layang-layang dan terakhir gambaran manusia sedang bertani. “Orang tua kita mengajarkan kalau makna dari gua ini adalah manusia dulu mencari makan dengan berburu, kemudian bertani. Untuk mengobati rasa lelahnya manusia dulu juga menggunakan layang-layang. Makanya ada gambar layang-layang. Ini kami percaya dan kami akui,” katanya.

Diakuinya, lukisan-lukisan pada dinding gua sampai saat ini masih menyimpan misteri tentang kehidupan prasejarah masyarakat Muna, yang tergores pada sekitar 130 situs aneka goresan berwarna merah pada dinding gua bagian dalam. Lukisan-lukisan ini masih terjaga keasliannya sampai sekarang.

Dari berbagai aneka lukisan tersebut tergambar cara hidup masyarakat suku Muna pada masa lalu, mulai dari cara bercocok tanam, berternak, berburu, beradaptasi dengan lingkungan, dan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.

“Sekarang didapat lagi 15 gambar baru. Ini temuan dari Makassar yang datang melakukan penelitian di sini,” ujar La Ode Kosasi, salah seorang juru kunci lainnya.

Nampak di antara lukisan dalam gua ada gambar seseorang yang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda, serta gambar layang-layang, yang merupakan salah satu media ritual masyarakat Muna pada saat itu.

Selain dapat mempelajari dan menikmati lukisan dari gua, kita pun dapat melihat formasi geologi seperti stalaktit, dan stalakmit yang memiliki bentuk beragam, yang terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya