Kejanggalan Angka Empat pada Jam Gadang Masih Misteri

Jam Gadang di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andri Mardiansyah

VIVA.co.id - Siapa tak tahu Jam Gadang yang berada tepat di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Setiap wisatawan yang datang dari luar Sumatera Barat, sudah tentu akan mengunjungi kawasan Jam Gadang yang kini menjadi maskot Bukittinggi itu.

Isi Libur Lebaran, Yuk Jelajahi Sejarah Islam dengan Cara Seru dan Edukatif

Jam Gadang diperkirakan dibangun pada 1926. Dirancang oleh dua arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Jam itu hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) pada masanya.

Pemerintah Kota Bukittinggi telah membuat kebijakan untuk membolehkan siapa saja pengunjung yang ingin masuk dan menaiki Jam Gadang hingga ke puncak menara.

Rekomendasi Wisata Anti-Mainstream di 5 Tempat Kelahiran Pahlawan Nasional

Jam Gadang di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Jam Gadang diketahui didatangkan dari Rotterdam, Belanda, tetapi mesin jamnya buatan Jerman. Hal itu dapat dilihat pada label kertas yang tertempel di lemari pengaman komponen jam yang berbunyi, “Abs. B. Vortmann, Turmuhrenfabrik I.W. Germany”. Pada roda gigi jam terdapat enkripsi, “B. Vortmann, Recklinghousen -1926”. 

7 Tujuan Wisata untuk Mengenang Sejarah Indonesia, Wajib Dikunjungi

Jam Gadang, dalam bahasa Indonesia adalah jam besar, sebenarnya tidak terlalu besar; hanya berdiameter 80 sentimeter. Tetapi yang besar adalah bangunan penopangnya berupa menara beton berbentuk segi empat setinggi 36 meter dan puncaknya ditutup bangunan bergonjong.

Puncak bangunan sudah mengalami perubahan tiga kali. Kemuncak pertama berbentuk kubah (bulat kerucut), kemudian pada tahun 1942 (sewaktu pendudukan Jepang), kubah diganti dengan bangunan berbentuk segi empat yang mirip rumah Jepang. Setelah kemerdekaan, kubah buatan Jepang diganti dengan bangunan bergonjong sebagai ciri khas bangunan Minangkabau.

Mesin Jam Gadang dioperasikan manual, yaitu dengan memutar roda-roda gigi yang dihubungkan dengan dua pemberat di sisi kiri dan kanan. Pemberat ini terbuat dari besi padu berbentuk bulat panjang (45 sentimeter) dan dirangkaikan dengan dua kawat baja ke roda gigi jam.

Mesin jam juga diyakini hanya ada dua di dunia. Kembarannya kini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual itu dibuat Forman, seorang bangsawan terkenal, dan diberi nama Brixlion.

Jam Gadang di jantung kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Selain bentuk bangunan yang unik dan tampak indah, ternyata juga ada satu bagian yang paling unik dan dianggap tak lazim. Bagian itu terdapat pada angka empat Romawi yang tertera di Jam Gadang. Angkanya tak dibuat lazim IV tetapi IIII, sedangkan angka lain dibuat secara lazim.

Angka IIII pada Jam Gadang itu disebut memiliki banyak makna, di antaranya keseimbangan visual. Penulisan angka romawi IV kala itu dianggap tidak memiliki keseimbangan visual dengan angka VIII, sehingga kemudian dibuatlah dengan IIII khusus pada penulisan angka di jam.

Ada pula mitos yang menyebutkan angka empat dengan ditulis IIII diartikan sebagai angka jumlah korban yang menjadi tumbal pembangunan Jam Gadang. Mitos lain mengartikan empat orang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam itu selesai.

Walau demikian, angka empat pada Jam Gadang yang dinilai di luar patron angka Romawi itu hingga kini masih diliputi misteri.

Sejarawan pada Universitas Andalas, Anatona Gulo, menyebutkan bahwa belum diketahui pasti perihal perbedaan angka pada angka empat di Jam Gadang.

Anatona berpendapat, bisa saja pada masa dulu di Romawi ada perubahan dalam penulisan, terutama soal angka. Satu di antaranya yang berubah adalah angka empat yang semula ditulis dengan IIII, kemudian berubah menjadi IV.

Perubahan dalam penulisan terutama soal angka, kata Anatona, bisa saja terjadi di setiap perkembangan peradaban. Seperti di Hindia Belanda, penulisan huruf Belanda lama pada masa VOC juga kemudian mengalami perubahan ketika pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Apa pun alasan sesungguhnya, bentuk Jam Gadang beberapa kali mengalami perubahan, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda, puncak jam berbentuk bulat dan terdapat bentuk ayam jantan berkokok. Namun, pada masa pendudukan Jepang, bagian puncak diubah menjadi bentuk menyerupai Pagoda.

Nah, di masa Kemerdekaan RI, bentuk itu kemudian diubah kembali dengan mengambil bentuk ornamen rumah gadang, yakni bagonjong, ciri khas rumah gadang di Minangkabau.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya