Ketika Harga Telur Tak Terbendung

Pekerja menyortir telur di Gudang Bahan Pokok Pasar Induk Rau, di Cikepuh, Serang, Banten
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA – Kenaikan harga telur yang terus terjadi semakin menjadi sorotan masyarakat saat ini. Sebab, kenaikannya tidak berhenti meskipun Lebaran sudah satu bulan berlalu. 

Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Berkembang dan Bisa Bantu Banyak Orang

Dikutip VIVA, Selasa 17 Juli 2018 dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga telur selama satu pekan terakhir berdasarkan memang mengalami peningkatan. 

Harga rata-rata nasional tertinggi terjadi pada Jumat 13 Juli lalu yang seharga Rp27.250 per kilogram, naik dari awal pekan lalu pada 11 Juli 2018 seharga Rp26.850 per kg. Meski demikian pada pekan ini harga rata-rata nasional sudah mulai turun. Hingga Selasa 17 juli 2018, telur ayam segar dibanderol Rp26.900 per kg. 

PB KAMI Laporkan Dugaan Oknum Pejabat yang Terima Suap Pengusaha Oli dan Sparepart Palsu

Kenaikan harga telur ini tentu membuat sedih para ibu rumah tangga, sebab membuat pengeluaran mereka membengkak. Lutfi Dwi, misalnya. Ibu muda ini mengaku heran dengan naiknya harga telur yang terus terjadi, tanpa ada informasi yang jelas alasannya.

"Sedih, karena anak aku pencinta telur," ujar  Lutfi saat berbincang dengan VIVA, Selasa 17 Juli 2018. 

Kementerian Perdagangan dan Penegak Hukum Diminta Lebih Tegas Tangani Peredaran Oli Palsu

Saking misteriusnya menurut Uthe, dia pun mengutip kata tukang telur langganannya yang menyebutkan bahwa kenaikan harga telur mirip-mirip dengan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). 

"Kalau kata tukang telur, harga telur seperti BBM, terus naik diam-diam," tambahnya. 

Kenapa Naik

Sejumlah Pelaku Usaha yang terkait industri telur ayam mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan harga itu terjadi. Antara lain disebabkan turunnya produktivitas dari ayam yang ditandai tingginya tingkat kematian ayam. 

Ketua Pinsar Petelur Nasional Feri menjelaskan, hal tersebut disebabkan karena penyakit yang dipicu oleh penurunan penggunaan Antibiotic Growth Promoter atau AGP yang berfungsi sebagai vitamin. Cuaca esktrim pun yang terjadi di sejumlah wilayah.

Saat ini menurutnya jumlah ayam petelur turun 20 persen saat ini, dan 5-10 persennya karena penyakit.

"Selebihnya karena afkir yang normal jelang lebaran. Itu kami potong karena karakteristik ayam petelur yang dagingnya keras dan dicari untuk opor, pasti carinya ayam petelur atau ayam kampung," tegas Feri saat ditemui di Jakarta, Senin, 16 Juli 2018.

Senada, Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas , Krissantono mengatakan cuaca ekstrim dan pengurangan penggunaan antibiotik pada unggas memang menyebabkan penyakit bagi unggas. Namun demikian, faktor lain yang mendorong adalah lamanya libur Lebaran. 

Sebab, para pekerja yang biasanya mengurusi ayam-ayam tersebut ikut libur. Hal itu jelas memengaruhi produktivitas ayam-ayam petelur dalam melakukan produksi. 

"Yang terasa sekarang itu adalah bahwa H-7 sama H+7  (lebaran) itukan kandang praktis kosong, semua memang tidak berproduksi. Disatu pihak Lebaran bisa santai, enak, tapi dilain pihak ya akibatnya begini," paparnya.

Meski demikian, Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Heri Dermawan tidak memungkiri, tidak menutu kemungkinan adanya permainan harga di tingkat distributor. 

"Nah itu dibina lah. Satgas Pangan yang akan turun untuk teliti ini. Buktinya sudah ada, tinggal pendalaman," ungkapnya.

Gerak Cepat

Pemerintah merespons cepat kenaikan harga telor yang terjadi saat ini. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengumpukkan seluruh pemangku kepentingan seluruh Indonesia yang terkait komoditas tersebut untuk berdiskusi dan mencari solusi yang terbaik menyelesaikan masalah ini.  

Diskusi yang dilakukan di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin 16 juli 2018. Melibatkan antara lain para peternak dari Blitar, Solo, Klaten dan Sumatera Barat para pedagang ayam, asosiasi petelur, dan integrator. Kemudian ada pula, penjual pakan ternak, Kasatgas Pangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, hingga Kementerian Pertanian. 

Semua pihak klaim Enggartiasto sepakat untuk menjaga diri agar tidak mengambil keuntungan yang terlalu berlebihan. Sebab dari mata rantai untuk pasokan telur ke konsumen, dari produsen ke distribusi satu (D1) hingga lima (D5) diduga masih ada yang mengambil keuntungan tidak sesuai ketentuan.

"Dari mulai produsen maka secara berjenjang akan meminta D1 dan ke D2 untuk membatasi marginnya. Sampai D3, D5 nya itu nanti kita minta supply datanya. Bagi mereka yang enggak daftarkan, kami tindak," tegasnya.

Untuk itu Enggar berharap, dari upaya tersebut dalam waktu seminggu penurunan harga telur bisa terjadi secara kondusif atau berangsur-angsur. 

Dia pun menegaskan pemerintah bisa saja melakukan intervensi pasar jika memang komitmen pihak terkait tidak dilakukan dengan baik. Namun, hal tersebut ditegaskan merupakan langkah terakhir pemerintah untuk stabilisasi harga. 

"Ini bisa dilakukan (intervensi) dengan minta intergrator untuk mengeluarkan stoknya, dan akan kami lakukan  penjualan langsung di pasar kalau tidak turun dalam 1 minggu. Kalau dia kembali ke harga yang dianggap normal tentu kita tidak intervensi pasar," paparnya. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya