Awas Japanese Encephalitis, Virus Otak Mematikan

Ilustrasi nyamuk.
Sumber :
  • Pexels/icon0.com

VIVA – Baru-baru ini pemerintah Australia mengeluarkan travel warning terkait outbreak infeksi virus Japanese encephalitis (JE) bagi warga negaranya yang berkunjung ke Bali dan sejumlah spot wisata populer di Asia. Itu lantas membuat berbagai media asing Negeri Kanguru ramai memberitakan isu tersebut.

Kemenkes Bantah Adanya Penyakit Japanese Encephalitis di Bali

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia pun angkat bicara mengenai isu penyebaran virus JE. Pihak Kemenkes RI menyesalkan terjadinya kesalahan informasi tentang situasi penyakit JE di Indonesia, khususnya di Bali, sebagaimana diberitakan oleh beberapa media asing Australia.

"Tidak benar jika diberitakan terjadi lonjakan kasus atau bahkan outbreak JE di Bali. Sepanjang tahun 2018, hanya ditemukan 1 kasus JE pada bulan Januari tanpa kematian,” kata Direktur Surveilan dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI, Vensya Sitohang dalam pernyataan resminya, Senin, 12 November 2018.

C3 Aircross Dijual Murah, Citroen Tak Berminat Pasang Target Penjualan

Ia juga mengatakan bahwa pihaknya telah melaksanakan vaksinasi JE di Bali pada bulan April 2018 lalu. Pelaksanaan vaksinasi tesebut juga merupakan bagian dari ‘kampanye imunisasi JE’ khusus di Bali, karena merupakan daerah endemis JE. Cakupan proyek tersebut ia sebut mencapai 100 persen.

Imunisasi JE di Bali juga sudah masuk imunisasi rutin yang sasarannya adalah seluruh bayi usia 10 bulan di Provinsi Bali.

Momen Shin Tae-yong Hibur Korea Selatan U-23 Usai Kalah Penalti

Menteri Kesehatan RI, Nila F. Moeloek mengakui bahwa imunisasi JE tidak masuk dalam imunisasi dasar lengkap di Indonesia karena adanya keterbatasan, dan hanya dilakukan di dua tempat yang paling banyak terdapat hewan babi, seperti Bali dan Sulawesi Utara.

Ini karena menurut Nila, virus JE berkembang di tubuh babi dan ditularkan nyamuk yang memakan darah babi, kemudian memasukkannya ke tubuh manusia.

Meski begitu, Nila menegaskan bahwa saat ini pihaknya terus memantau dan memeriksa isu penyebaran virus JE di Indonesia.

"Lagi ditelaah. Tingkat kebenaran mesti dilihat. Kami minta litbang dan balai besar laboratorium kesehatan untuk cek benar atau tidak ada virus itu di Indonesia. Sulawesi Utara negatif. Bali belum ada jawaban," ujarnya.

Apa Itu Japanese Encephalitis?

Isu penyebaran virus JE juga cukup mengejutkan masyarakat Indonesia lantaran banyak di antara mereka yang belum mengetahui tentang penyakit otak mematikan ini. Termasuk tentang gejala, penanganan dan pencegahannya.

Perlu diketahui, JE adalah penyakit radang otak yang disebabkan virus JE yang juga termasuk famili Flavivirus, disebarkan oleh vektor nyamuk Culex Tritaeniorhynchus.

Dilansir dari Medical News Today, Senin, 12 November 2018, JE adalah infeksi virus nyamuk yang merupakan penyebab utama virus ensefalitis di banyak negara di Asia, dengan perkiraan 68.000 kasus klinis setiap tahunnya.

Ensefalitis sendiri merupakan inflamasi atau pembengkakan di otak yang bisa menyebabkan kebutaan, kelemahan, gangguan gerakan dan pada beberapa kasus, koma hingga kematian. Gejala infeksi otak ini termasuk demam, sakit kepala, leher kaku, diorentasi, tremor, kelumpuhan dan kejang, terutama pada anak-anak.

Kebanyakan orang yang terinfeksi (99 persen) tidak mengalami gejala. Gejalanya sendiri umumnya mulai terlihat 15 hari setelah digigit oleh nyamuk yang telah terinfeksi. Kurang dari 1 persen orang yang terinfeksi virus ini mengalami gejala khusus.

Menurut World Health Organization (WHO), tingkat fatalitas kasus di antara penderita ensefalitis bisa setinggi 30 persen. Neurela permanen atau sekuel kejiwaan dapat terjadi pada 30-50 persen penderita JE.

Masih menurut WHO, virus JE adalah flavivirus yang terkait dengan demam berdarah, demam kuning dan virus West Nile. Tingkat kematian penderita JE saat ini pada pasien dengan kasus berat adalah antara 20 hingga 30 persen. Dari mereka yang bertahan hidup, sekitar 30 persen yang tersisa mengidap gangguan neurologis jangka panjang. Para peneliti memperkirakan, jumlah korban jiwa dari JE adalah antara 13.600-20.400 per tahun.

Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia juga biasanya meningkat pada musim hujan.

Orang-orang berisiko tertinggi terinfeksi JE adalah mereka yang tinggal di daerah pedesaan, di mana virus JE umum ditemukan. Hal ini lebih mungkin memengaruhi anak-anak karena orang dewasa di daerah virus endemik umumnya menjadi kebal ketika mereka bertambah tua.

Umumnya, JE menular ke manusia lewat nyamuk, namun dapat juga dibawa oleh burung, kelelawar, sapi dan babi.

Belum Ada Obatnya

European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC) mengatakan, penyakit JE memang tengah menyebar luas di Asia, dengan kasus-kasus terekam dari India, Pakistan dan Jepang. ECDPC juga mengatakan, terdapat 30 sampai 50.000 kasus JE yang dilaporkan setiap tahun, tetapi telah menurun dalam beberapa tahun terakhir berkat vaksin yang tersebar luas dan perubahan dalam praktik pertanian.

24 Negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki transmisi JE endemik, yang mengekspos lebih dari 3 miliar orang terhadap risiko infeksi. Pada Bulan Oktober 2018, National Health Portal India bahkan mengirimkan peringatan tentang infeksi virus tersebut.

"JE adalah infeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk kepada manusia, menyebabkan inflamasi membran-membran yang ada di otak," demikian tertulis dalam peringatan tersebut, dikutip dari laman News.com.au.

Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Perawatan yang dilakukan difokuskan untuk menghilangkan gejala-gejala klinis yang parah dan membantu pasien mengatasi infeksi.

Vaksin yang aman dan efektif juga telah tersedia untuk mencegah JE. WHO merekomendasikan agar vaksinasi JE diintegrasikan ke dalam jadwal imunisasi nasional di semua area, di mana penyakit JE diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat.

JE sendiri terbilang kurang umum di Australia, namun pernah ada kasus yang terjadi sebelumnya di Negeri Kanguru itu. Pada tahun 2015, seorang pria asal Melbourne yang baru saja kembali dari liburan Tahun Baru di Bali didiagnosis menderita JE. Itu adalah pertama kalinya kasus JE terekam di Victoria.

Sementara itu, penyebaran penyakit tersebut di Australia pertama kali terjadi di Torres Strait pada tahun 1995. Dua dari tiga kasus yang ditemukan saat itu disebut sebagai kasus yang fatal.

Untuk menghindari infeksi, pemerintah Australia menyarankan warga negaranya bepergian ke wilayah lazim dengan penyebaran JE untuk menutupi seluruh bagian tubuh mereka saat berada di luar ruangan, mengaplikasikan obat nyamuk di kulit, tidur di dalam kamar ber-AC atau kamar yang memiliki kelambu, dan membuang atau membersihkan tempat serta benda yang berpotensi menjadi tempat nyamuk berkembang biak di sekitar mereka.

"Vaksin JE tersedia untuk mereka yang berusia 12 bulan ke atas dan direkomendasikan untuk wisatawan yang akan menghabiskan satu bulan atau lebih di area-area pedesaan di negara-negara yang berisiko tinggi terhadap penyebaran JE," begitu tertulis di situs resmi Kementerian Kesehatan Australia.

Kemenkes RI sendiri juga mengakui bahwa hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE.

"Pengobatan yang ada bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. Oleh karenanya, upaya menjaga kebersihan lingkungan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN Plus) bersama Masyarakat dan imunisasi adalah cara pencegahan paling efektif," demikian bunyi siaran pers Kemenkes RI.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya