Tak Ada Kata Damai untuk Penganiaya Audrey

#JusticeforAudrey
Sumber :
  • Twitter

VIVA – Dukungan untuk Audrey Balqis Zildvanka (14) terus mengalir. Siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat itu menjadi korban bullying dan penganiayaan oleh 12 siswi SMA. Audrey terbaring lemah di rumah sakit Promedika, Pontianak. Sekujurnya tubuhnya terluka, psikisnya juga terganggu.

Marak Kejadian Perundungan, Kemenkes Lakukan Skrining Kesehatan Jiwa Pada Calon Dokter Spesialis

Kondisi itu yang  mendorong Fachira Anindy menggalang petisi dengan tagar #JusticeForAudrey di laman Change.org pada Selasa, 9 April 2019. Baru sehari diunggah, petisi #JusticeForAudrey banjir dukungan.

Berdasarkan data yang diakses VIVA pada Rabu petang, 10 April 2019, pukul 18.00 WIB, sudah 2,926,998 orang atau hampir 3 juta orang yang menandatangani dan mendukung petisi tersebut. Tagar #JusticeforAudrey merupakan bentuk simpati warganet untuk Audrey serta kemarahan kepada para pelaku yang berjumlah 12 orang.  

Skandal Baru! Aktris Money Heist Korea Jeon Jong Seo Dituding Terlibat Bullying

Petisi daring itu pada intinya meminta aparat Kepolisian Polda Kalimantan Barat agar mengusut tuntas pelaku pengeroyokan dan segera diadili. Sehingga Audrey segera mendapatkan keadilan dan menjadi pelajaran agar kasus serupa tidak terjadi lagi. 
 
Kasus penganiayaan Audrey dipicu masalah saling sindir antara korban dengan pelaku di Whatsapp. Peristiwa terjadi pada 29 Maret 2019, sekitar pukul 14.30. Korban dijemput oleh salah satu pelaku bernama Da di rumah nenek korban. Tanpa menaruh rasa curiga, korban menuruti Da untuk dibawa ke suatu tempat.

Setibanya di Jalan Sulawesi, tiba-tiba korban didatangi pelaku-pelaku lainnya yang totalnya berjumlah 12 orang. Korban lalu dikeroyok dan dianiaya oleh tiga pelaku berinsial NE, TP, dan FZ  dengan cara membenturkan kepala korban ke aspal, kepala dan perut korban ditendang berkali-kali, pencekikan dan penyiraman dengan air secara bergantian. 

Buntut Dugaan Kasus Bullying, Agensi Jeon Jong Seo Ambil Tindakan Hukum

Dalam kondisi korban yang lemah, salah seorang pelaku berinisial TR, nyaris melakukan perusakan kemaluan korban sehingga menyebabkan rasa nyeri di area kewanitaan korban.
 
"Akibatnya, korban mengalami muntah kuning dan opname di salah satu rumah sakit di Kota Pontianak," kata Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kalbar, Tumbur Manalu saat jumpa pers, Selasa, 9 April 2019.

Parahnya lagi, dari 12 pelaku, 8 orang lainnya hanya menonton kejadian tersebut dan tidak ada inisiatif untuk melerai.  

Berdasarkan informasi yang diterima KPAAD Kalbar, kasus penganiayaan ini buntut dari kasus asmara kakak sepupu korban. Menurut Tumbur, korban Audrey sebenarnya bukanlah target utamanya, tapi kakak sepupu korban berinisial Po.

"Permasalahan awal karena masalah cowok. Menurut info, kakak sepupu korban merupakan mantan pacar dari pelaku penganiayaan ini," ujar Tumbur.

Karena sering berinteraksi atau chatting di WhatsApp, pelaku ditenggarai kesal dengan komentar-komentar korban, sehingga peristiwa ini terjadi. KPPAD Kalbar menyayangkan baik korban maupun kakak sepupu korban tidak berani melaporkan kasus ini ke orangtua dan pihak berwajib. 

Dari pengakuan korban, Ia merasa terintimidasi karena diancam pelaku bila melaporkan peristiwa itu ke orangtua. Pelaku mengancam akan berbuat lebih kejam lagi bila korban melapor. Tapi kakak sepupu korban mestinya segera melaporkan peristiwa itu.

"Padahal, (Po) sudah SMA tetapi tidak menceritakan kasus ini kepada orangtuanya. Tapi malah bercerita kepada kakaknya. Dan kakaknya lagi yang melaporkan kasus ini kepada orangtuanya, hingga terbongkar kasus ini," terang Tumbur.

Efek Jera

Kapolda Kalimantan Barat Irjen Pol Didi Haryono menegaskan proses hukum tiga pelaku penganiayaan terhadap Audrey. Namun, mengingat korban maupun pelaku masih masuk kategori di bawah umur, sehingga ada aturan khusus yang mengatur tentang pidana anak.

Didi menyebut para pelaku akan dijerat sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

"Ini yang akan jadi koridor kami. Jadi prosesnya pasti kita hukum, pasti kita proses, tentu dengan pendampingan dari lembaga perlindungan anak," ujar Irjen Didi saat berbincang di tvOne, Rabu, 10 April 2019. 

Menurut Kapolda, proses hukum kepada pelaku akan tetap dilakukan meskipun pelakunya masih anak-anak, tentu dalam prosesnya akan mempertimbangkan aspek psikologis pelaku yang masih anak-anak dan pendampingan.

"Tentu kita tetap melakukan penegakan hukum untuk menunjukkan detern effect (efek jera) bahwa ini adalah perlakuan tindak pidana, hanya pelakunya anak-anak," terang Kapolda.

Sementara itu, terhadap 9 teman pelaku yang ada di lokasi saat peristiwa terjadi, Kapolda menyatakan akan tetap dilakukan pengembangan berdasarkan hasil pemeriksaan. Tidak menutup kemungkinan mereka juga bisa dijerat pidana.

"Namanya pelaku, disebut sebagai pelaku karena melakukan perbuatan itu (pidana), atau ada orang yang tahu tapi membiarkan, itu bisa kita masukan kategori tidak memberikan pertolongan orang yang mestinya mendapat pertolongan. Nanti kita lihat," ungkapnya.

Kapolda berharap semua pihak mengawal kasus ini supaya memberikan efek jera dan edukasi kepada anak-anak lainnya agar peristiwa serupa tidak terjadi.

Terpisah, Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengatakan bahwa tidak ada kata damai dalam kasus penganiayaan di Pontianak terhadap Audrey oleh 12 anak hingga harus dirawat di rumah sakit.

Retno menjelaskan bahwa KPAI telah berkoordinasi dengan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD). Ia menjelaskan bahwa pada Jumat, 5 April 2019, telah dilakukan mediasi di Polsek Pontianak Selatan antara ibu korban dan pelaku yang didampingi oleh keluarga masing-masing. 

"Hasilnya, tidak ada kesepakatan untuk berdamai," ungkap Retno dalam siaran pers yang diterima VIVA, Selasa 9 April 2019.
 
Retno menuturkan bahwa pihak KPPAD Kalbar juga telah melakukan koordinasi dengan sekolah para pelaku. Menurut ketiga pihak sekolah, pelaku merupakan siswi yang tidak pernah memiliki masalah. Mereka juga aktif mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh sekolah masing-masing.

Selanjutnya juga akan dilakukan pendampingan terhadap korban, pelaku, dan saksi sepanjang masih kategori anak.

Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak memastikan pelaku dan korban adalah anak di bawah umur, sehingga akan diberikan perlindungan kepada korban dan pelaku.

"Sesuai UU Perlindungan Anak dan Sistem Perlindungan Anak, karena korban dan pelaku merupakan anak di bawah umur, maka keduanya akan kita lakukan pendampingan," kata Eka, Senin, 9 April 2019.

Untuk korban Audrey, KPPAD telah melakukan pendampingan dan Hypnoprana (metode pengobatan dengan menggabungkan antara hypnotis dan pranic healing) termasuk pelaku.

Kasus ini, lanjut Eka, sudah dilaporkan keluarga korban ke Polsek Pontianak Selatan. Namun, karena belum ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, sehingga kasusnya dialihkan ke Polresta Pontianak. KPPAD tetap memberikan pendampingan hukum kepada korban maupun pelaku.

Zero Tolerance

Presiden Joko Widodo mengaku prihatin dan sedih atas kasus dugaan persekusi yang menimpa siswa SMP di Pontianak bernama Audrey. Jokowi menyoroti perubahan interaksi sosial di masyarakat yang saat ini menggunakan media sosial (medsos).

"Tapi yang jelas ini pasti ada sesuatu masalah yang berkaitan dengan pola interaksi sosial antar masyarakat yang sudah berubah, lewat media sosial," kata Jokowi di Tennis Indoor Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 10 April 2019.

Ia pun meminta semua pihak untuk mewaspadai perubahan interaksi sosial saat ini. Kepada orang tua, mantan Gubernur DKI Jakarta ini meminta orang tua untuk mengawasi buah hatinya agar tak terjebak pada interaksi sosial yang berubah.

"Hati-hati dengan ini. Ini ada masa transisi yang semuanya kita harus hati-hati. Terutama awasi betul anak-anak kita, jangan sampai kejebak pada pola interaksi sosial yang sudah berubah tetapi kita belum siap," ujarnya.

Tak hanya kepada orang tua, Jokowi juga meminta para guru dan masyarakat sekitar bersama-sama merespons setiap perubahan interaksi sosial yang tidak baik agar menjadi baik.

"Ya tadi saya sampaikan, karena pola interaksi sosial yang sudah berubah, sehingga orang tua, guru, masyarakat itu juga bersama-sama merespons setiap perubahan-perubahan yang ada, meluruskan hal-hal yang tidak betul di lapangan, ini harus disikapi bersama-sama," katanya.

Atas kasus tersebut, Jokowi sudah memerintah Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, untuk tegas menangani kasus dugaan persekusi Audrey. Hukum yang berlaku harus ditegakkan dalam kasus ini.

"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri untuk tegas, untuk menangani ini sesuai dengan prosedur hukum, tegas," tegasnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menilai pelaku penganiayaan Audrey dengan alasan dan kondisi apapun, walau usia anak sekalipun, tidak pernah bisa dibenarkan. Prinsip zero tolerance bagi seluruh pelaku kekerasan pada anak harus ditegakkan.

Ia mengapresiasi pemerintah daerah dan khususnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi (PPPA) Provinsi Kalimantan Barat yang telah berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat dan Polresta Pontianak, dalam mengupayakan tindak lanjut dan pendampingan kasus ini. 

"Saya berharap kasus ini tetap dikawal sampai selesai dan menemukan jalan terbaik bagi semua pihak. Korban dan pelaku sama-sama berusia anak," kata Yohana dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, 10 April 2019. 

Untuk itu, Yohana berharap keduanya bisa diberikan pendampingan. Korban didampingi proses trauma healing-nya, sedangkan pelaku didampingi untuk pemulihan pola pikir atas tindakan yang telah dilakukan. 
 
"Paling penting, kita harus memastikan pemenuhan hak-hak mereka. Sebagai korban ataupun pelaku, mereka tetap anak-anak kita. Sudah seharusnya kita lindungi dan kita luruskan jika mereka berbuat salah," tuturnya. 

Yohana juga menekankan bahwa semua pihak tidak boleh gegabah dalam menangani kasus ini. Semua pihak harus benar-benar memahami penyebab anak pelaku melakukan tindak penganiayaan.

Hal ini dilakukan agar anak pelaku bisa mendapatkan penanganan yang tepat, tentunya yang mengacu pada Undang Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (hd) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya