Indonesia Waspada Ancaman Bioterorisme

Lebih dari 20.000 ayam dimusnahkan di Hong Kong
Sumber :
  • REUTERS/Tyrone Siu
VIVA.co.id - Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Surabaya, memperingatkan tentang potensi dan ancaman bioterorisme, atau teror dengan senjata biologi berupa kuman penyakit atau virus.
Gelar Operasi Antiteror, Polisi Kanada Lumpuhkan Tersangka

Rumah sakit terbesar dan paling memadai di Jawa Timur itu telah mengantisipasinya. Namun, pemerintah dan masyarakat diingatkan tetap harus waspada.
Bertemu Menteri Australia, Yasonna Bahas Soal Terorisme

Tak ada konteks, atau kejadian luar biasa yang menyertai peringatan rumah sakit rujukan utama untuk kawasan timur Indonesia itu.
UEA: Teroris Sebarkan Radikalisme Lewat Video Game

Memang, ada kasus wabah Middle East respiratory syndrome corona virus (MERS-CoV) di Arab Saudi, Korea Selatan, dan beberapa negara lain pada kurun waktu Mei-Juni 2015. Tetapi, itu tidak sampai ke Indonesia.

Ada juga kasus wabah ebola di Guinea tenggara awal tahun ini, dan kemudian menyebar ke Liberia, Sierra Leone, Nigeria dan Mali.

Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Norwegia, Prancis, Italia, Swiss, dan Inggris Raya, merawat pasien yang terkena virus itu di Afrika Barat. Namun, tak ada orang Indonesia yang terjangkit wabah itu.

Virus dan intelijen

Peringatan yang mula-mula disampaikan Wakil Direktur RSUD Dr. Soetomo, Kohar Hari Santoso, itu sesungguhnya tidak tegas dan tak lugas tentang ancaman bioterorisme. Tak disebut pula, dengan detail bioterorisme macam apa yang patut diwaspadai.

Kohar cuma memberitahukan bahwa RSUD Dr. Soetomo telah menyiapkan fasilitas khusus untuk menangkal ancaman bioterorisme. Artinya, rumah sakit itu siap kalau sewaktu-waktu ada kejadian luar biasa, yang kemudian dikenali, atau dicurigai sebagai bioterorisme.

Tetapi, ada pesan lain yang disampaikan Kohar bersamaan dengan peringatan itu. Dia bilang, potensi ancaman bioterorisme kian terbuka, seiring penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir 2015. Soalnya, dalam MEA, lalu lintas, atau mobilitas masuk-keluar orang dari dan ke Indonesia menjadi lebih intensif.

Pernyataan Kohar dapat diringkas begini: "Makin banyak orang yang keluar, atau masuk dari dan ke Indonesia kala MEA dimulai kelak. Tak ada yang menjamin orang asing masuk ke Indonesia, bebas virus mematikan. Begitu juga, tak ada orang Indonesia yang steril dari mikroorganisme berbahaya, setelah berpergian dari luar negeri."

Bisa dimengerti, kalau begitu maksudnya. Tak perlu menakut-nakuti orang dengan frasa bioterorisme yang terdengar menyeramkan itu wabah apa pun memang dapat menular. Tak perlu ada MEA pun, ratusan ribu warga Indonesia ke luar negeri, paling kurang ke Arab Saudi, tiap tahun pula, yaitu orang Islam yang pergi haji.

Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan, tak kurang-kurang memperingatkan kepada jemaah calon haji, agar mewaspadai macam-macam wabah penyakit di Arab. Misalnya, wabah MERS-CoV, yang memang telah membunuh lebih 38 warga Saudi. Tiap-tiap jemaah asal Indonesia pun sebelum berangkat wajib disuntik vaksin agar imun.

Pemberitahuan lain yang disampaikan Kohar ialah, unsur terkait yang wajib mewaspadai ancaman bioterorisme. Dia mengatakan bahwa selain rumah sakit, Dinas Kesehatan, lembaga karantina, maupun badan intelijen, serta masyarakat juga harus diberikan informasi yang lengkap dan memadai.

"Semua wajib terlibat mencegah dan tidak terjangkit virus menular.‎ Masyarakat yang berpergian ke luar negeri, harus memahami informasi kesehatan di negara itu agar tidak terjangkit," tuturnya.



Dia menyebut, peran badan intelijen meski tak spesifik yang dimaksud adalah Badan Intelijen Negara, atau dinas rahasia serupa yang dimiliki militer, atau polisi. Tetapi, apa urusan dengan intelijen?

Kohar mengaku bukan ahli tentang virus, atau mikroorganisme. Namun, dia memperingatkan bahwa memang ada virus jenis tertentu yang telah dimodifikasi, atau direkayasa, alias bukan virus yang berkembang alamiah. "Secara ilmiah, memang ada peluang virus-virus itu bisa dimodifikasi,” katanya.

Dia tak menjelaskan, alasan dan motif memodifikasi virus itu, kalau memang benar ada yang begitu. Tak diungkap juga, siapa yang kira-kira punya pekerjaan usil memodifikasi virus.

Sudah terjadi di Indonesia

Ihwal ancaman bioterorisme itu pernah juga diperingatkan seorang Guru Besar pada Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr. Chairul Anwar Nidom. Dia, bahkan mengaku menenggarai bioterorisme sudah terjadi di Indonesia. Namun, faktor, motif, dan dampaknya masih perlu diteliti.

Profesor Nidom adalah peneliti virus flu burung, MERS, ebola, dan vaksin. Dia juga Guru Besar bidang ilmu biokimia dan biomolekuler pada Universitas Airlangga.

"Sebagai peneliti, kalau memperhatikan struktur kuman penyakit hewan di Indonesia, ada sejumlah fakta yang aneh meski motif dan dampaknya belum jelas," katanya pada Sabtu lalu, 15 Januari 2015. Kala itu, sedang ramai kasus wabah ebola di sejumlah negara.

Dia juga menyatakan serupa peringatan Wakil Direktur RSUD Dr. Soetomo bahwa ancaman terorisme menjadi lebih terbuka dalam MEA. atau pasar tunggal negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

MEA sejatinya hasil kesepakatan para pemimpin negara-negara Asia Tenggara pada satu dekade lalu. MEA dibuat, agar daya saing ASEAN meningkat, serta bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di kawasan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.

Pembentukan pasar tunggal memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara, sehingga kompetisi akan semakin ketat. Artinya, perpindahan atau pergerakan orang antarnegera Asia Tenggara bakal lebih tinggi.

Itulah yang dicemaskan Profesor Nidom sebagai potensi bioterorisme. Bioterorisme memang berbeda dengan terorisme dalam bentuk bom. Teror bom sangat jelas dampaknya berupa ledakan dan korban.

“Sedangkan bioterorisme itu menggunakan bakteri, virus, dan kuman penyakit lain, yang dampaknya tidak langsung, tetapi bisa berlangsung lama, yakni perekonomian jatuh," katanya.

Profesor Nidom mengaku menemukan sejumlah fakta nonalami yang memperkuat dugaan terjadi bioterorisme di Indonesia, antara lain, kasus flu burung yang terjadi sejak 2003. Tapi hingga 2015, atau 12 tahun kemudian, tidak terselesaikan juga. Sama dengan kasus flu babi pada 2009, yang struktur virusnya tidak alami juga.

"Bahkan, virus flu burung yang menyerang bebek pada tahun 2012, ternyata tidak sama dengan virus flu burung sebelumnya, dan justru ada kemiripan dengan virus serupa di China. Itu aneh, kecuali ada impor bebek dari sana," katanya.

Dia juga mendeteksi jejak virus ebola pada hewan sejak 2012, yang ditemukan secara tidak sengaja, saat meneliti virus itu pada orangutan. "Anehnya, virus ebola itu ada kemiripan dengan yang terjadi Afrika, bukan Filipina. Itu aneh," ujarnya.

Temuan lain adalah seputar kasus penyakit anthrax di Blitar, Jawa Timur, beberapa waktu silam. Sepanjang pengetahuannya, didukung laporan Kementerian Kesehatan, wilayah Jawa Timur dikenal bebas anthrax. Tetapi, tiba-tiba muncul berita ditemukan kasus anthrax di Blitar.

Profesor Nidom berterus terang, tidak dapat melacak pasti muasal anthrax itu bercokol di Blitar. Dia baru sebatas menganalisis akibat yang ditimbulkan dari kasus itu, yakni Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengucurkan dana tak sedikit untuk urusan anthrax itu.

“…dan potensi menular pada hewan dan manusia juga sangat mungkin," katanya.



Sejarah bioterorisme

Bioterorisme sesungguhnya istilah untuk menjelaskan penggunaan sabotase, atau penyerangan dengan bahan-bahan biologis, atau racun biologis. Tujuannya serupa terorisme konvensional, meski media yang dipakai berbeda, yakni menimbulkan kerusakan pada perorangan, atau kelompok perorangan.

Bioterorisme juga sama dengan teror konvensional dalam hal bertujuan menciptakan kepanikan publik, atau ketidaknyamanan dalam masyarakat. Dalam kasus tertentu tak sampai mematikan, tetapi menyebabkan kecemasan massal, sehingga mengganggu ketertiban umum dan memengaruhi aktivitas perokonomian.

Dalam kajian tentang bioterorisme dikenal istilah agen biologis sebagai sarana, atau media untuk menebarkan teror. Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah mikroorganisme dan racun-racunnya, yang dapat digunakan untuk menimbulkan penyakit, atau kematian pada populasi penduduk, binatang, bahkan tanaman. Agen pencemaran dapat dilepaskan di udara, air, atau makanan.

Bioterorisme sebenarnya bukan hal baru dan bukan peristiwa di era modern saja, melainkan sejak sebelum masehi. Sejauh yang masuk dalam catatan sejarah dunia, peristiwa pertama yang dilaporkan adalah di abad VI sebelum masehi. Tentara Asiria meracuni sumur air untuk musuh mereka dengan ergot, suatu fungi yang memproduksi racun yang sering ditemukan pada sejenis gandum.

Jenderal Francisco Pizarro memimpin militer Spanyol, dalam operasi penaklukan Inca di Peru pada sekira tahun 1520. Dia memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang Inca.

Laporan serupa menuduh Inggris, kemungkinan juga menggunakan patogen untuk menghancurkan musuh mereka sewaktu proses penjajahan Amerika Utara. Negara itu dicurigai mendistribusikan selimut yang mengandung kuman cacar kepada orang Indian.

Bioterorisme di era yang lebih modern adalah dalam Perang Dunia II. Awalnya, Uni Soviet (Rusia sekarang) menggunakan kuman yang mengakibatkan penyakit tularemia pada tentara Jerman pada pertempuran Stalingrad tahun 1942. Kuman itu dapat menyebabkan sakit kepala, mual, dan demam tinggi, hingga kematian.

Banyak tentara Jerman tewas, karena penyakit itu dan Nazi menderita banyak kerugian karenanya. Namun, penyakit ini juga menular kepada penduduk sipil dan tentara Soviet.

Jerman juga mengembangkan senjata biologis. Namun, fungsinya terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Jerman tidak pernah serius mengembangkan patogen yang menyerang manusia, namun mengembangkan patogen untuk menghancurkan pertanian dan peternakan musuh-musuhnya.

Pemimpin Nazi, Adolf Hitler, menolak setiap usulan para perwiranya, agar mereka mengembangkan senjata biologis secara serius dan terencana. Hitler malah mengarahkan riset Jerman pada usaha defensif untuk menangkal serangan senjata biologis dari pihak Sekutu.

Namun, dalam skala yang terbatas, Nazi melakukan percobaan senjata biologis pada tahanan di kamp konsentrasi mereka di Aushwich, Polandia. Tahanan dipaparkan kuman Rickettsia prowazekii, Rickettsia mooseri, virus hepatitis A, dan Plasmodia spp.

Amerika Serikat juga tidak luput dari serangan bioterorisme. Pada 1984, Kota Oregon diserang kelompok radikal dengan zat racun makanan salmonella untuk mencemari bar-bar salada. Serangan itu untuk memengaruhi pemilihan umum setempat.

Kelompok teroris itu memilih zat untuk melumpuhkan, bukan untuk mematikan. Serangan mereka berhasil membuat sakit sebanyak 751 orang, tetapi tidak ada yang mati.

Dugaan, atau sangkaan paling serius —meski dalam skala terbatas— tentang serangan bioterorisme di Indonesia terjadi bersamaan kasus merebaknya wabah flu burung pada 2012, sebagaimana sempat dicurigai juga Profesor Nidom.

Teori konspirasi yang paling mendekati pada kecurigaan bioterorisme karena virus H5N1 (nama virus untuk flu burung) yang menyerang itik berbeda dengan H5N1 yang menyerang ayam.

Virus yang menyerang itik adalah H5N1 clade 2.3.2, sedangkan virus yang menyerang ayam adalah H5N1 clade 2.1. H5N1 clade 2.3.2 tak pernah ditemukan di Indonesia, melainkan di Tiongkok. Fakta tersebut, segera dikaitkan dengan impor ilegal itik dari Tiongkok kala itu. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya