Selamat Mencoblos di Pilkada Serentak

Pilkada Serentak
Sumber :
  • Mohammad Nadlir - VIVA.co.id

VIVA.co.id - Masyarakat Indonesia kembali menghadapi pesta demokrasi. Setelah sukses melewati Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, kini bangsa ini menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak untuk pertama kali pada Rabu, 9 Desember 2015.

Pilkada serentak ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang ini sebelumnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.

DPR dan pemerintah lalu melakukan revisi lagi dan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Berdasarkan undang-undang ini, pilkada serentak dibagi menjadi tiga periode yaitu Desember 2015 pesertanya adalah daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015 dan semester 1 (Januariā€“Juni) 2016.

Kedua, Februari 2017, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester II (Juli hingga Desember) 2016, dan yang berakhir 2017. Ketiga, Juni 2018, untuk kepala daerah yang masa tugasnya berakhir 2018 dan 2019.

Masing-masing periode ini akan kembali melaksanakan pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Pilkada serentak untuk seluruh Indonesia rencananya dilangsungkan pada 2027.

(Baca: ).

Mekanisme pilkada langsung sebenarnya sempat berubah menjadi lewat DPRD melalui rapat paripurna jelang akhir masa anggota DPR periode 2009-2014. Namun, melalui proses yang cukup berliku, DPR dan pemerintah yang baru akhirnya sepakat pilkada secara langsung.

Dalam kondisi normal, pilkada ini akan diikuti oleh sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota atau 269 daerah, baik itu untuk memilih gubernur atau bupati/wali kota dengan di tiga daerah yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ahok Tak Sudi Disebut Petugas Partai

Namun, kabar terakhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah wilayah misalnya Kalimantan Tengah dimungkinkan untuk ditunda karena ada persoalan hukum.



Apa yang harus dipersiapkan?

Anggota Komisi Pemilihan Umum Ferry Kurnia Rizkiyansyah memiliki saran tentang apa yang harus dipersiapkan bagi pemilih. Ferry mengimbau mereka untuk merenung tentang siapa calon yang akan dipilih sebelum benar-benar mengambil keputusan.

"Hari ini, hari kontemplasi terakhir untuk memilih siapa figur terakhir yang akan dipilih besok (hari ini)," kata Ferry kepada VIVA.co.id, Selasa, 8 Desember 2015.

Kedua, lanjut Ferry, menyiapkan surat pemberitahuan atau C6. Ketiga, datang lebih awal di Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena TPS akan dibuka sejak pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB.

"Terkait proses pemungutan di sana, kami harap tanpa ada tekanan, intimidasi, dan memilih sesuai keinginan masing-masing," ujarnya.

Ferry berharap pemilih bisa berpartisipasi secara aktif untuk menyalurkan hak pilihnya. Kemudian, proses pilkada ini tetap berjalan dalam suasana jurdil, kondusif, dan tetap mengedepankan kebersamaan.

"Kami harap masyarakat jangan sekali-kali ikut terlibat atau mendekati urusan money politics. Karena ini upaya untuk memilih pemimpin yang akan menyejahterakan daerahnya," kata Ferry.

Tak hanya kepada pemilih, Ferry juga meminta pasangan calon tim kampanye agar tidak sekali-kali mendekati masyarakat dengan iming-iming materi tertentu.

"Kami harap, upaya money politics kejahatan, dan yang melakukannya (ganjarannya) penjara," tegas Ferry.

Apabila terjadi sengketa, lanjut mantan ketua KPU Jawa Barat itu, pemilih bisa menginformasikan pada pengawas. Karena, di TPS terdapat para pengawas.

"Kalau ada dispute (perselisihan) di TPS-TPS untuk nanti diperbaiki di TPS-nya. Jadi, supaya tidak usah muncul sampai PPK," dia menyarankan.



Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Diah Pitaloka, memberikan pendapat mengenai apa saja yang harus disiapkan pemilih agar tak salah memilih. Pertama adalah informasi mengenai calon.

"Orang kampanye tapi nggak tahu siapa si A atau si B. Masyarakat harus bisa melihat track record kandidat calon kepala daerah, sehingga tidak salah memilih," kata Diah kepada VIVA.co.id.

Kedua, dari track record, masyarakat bisa melihat program yang dijanjikan para calon kepala daerah. Apakah program yang dijanjikan bisa menjawab kebutuhan daerah, dan sejauh mana calon kepala daerah memahami struktur anggaran daerah. Misalkan, seorang calon kepala daerah janjikan beasiswa dalam kampanye, tapi kenyataannya postur anggaran daerah dan kapasitas daerah tidak mencukupi.

"Ini bahaya. Dari situ calon kepala daerah juga jangan buat janji politik yang nggak pasti. Masyarakat harus melihat itu," ujar Diah.

Ketiga, Diah menambahkan, masyarakat harus tahu cara memilih secara teknis. Artinya, yang sah bagaimana, tidak sah bagaimana. Jangan sampai untuk persoalan ini mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

"Selain itu, pemilih harus berpartisipasi dalam penghitungan, jangan pulang habis nyoblos. Nanti suaranya hilang. TPS itu ruang sosial," tuturnya.

Diah menuturkan, apabila nantinya terjadi sengketa, si pelapor bisa memulai dari Panwas di tingkat bawah dan akan berjenjang naik hingga ke tingkat provinsi. Dari sana, naik lagi hingga ke tingkat MK.

"Nah, di sini masih ada perdebatan selisih di bawah dua persen atau lebih yang akan ditindaklanjuti oleh MK," ujar dia.

Diah menegaskan bahwa integritas Panwas, KPU, dan DKPP menjadi sangat penting untuk menyelesaikan semua masalah. Dia mengimbau jangan sampai terjadi "ada undang-undang tapi tidak dilaksanakan".

Seperti banyak yang terjadi, misalnya, pegawai negeri sipil (PNS) melakukan penggalangan dukungan. Sudah ada yang melaporkan tetapi pelaksana dan pengawas tidak tegas.

"Masyarakat bingung dan menjadi apriori karena kecurangan dibiarkan dan dianggap tidak terbukti," ujarnya.

Penguatan menurut Diah juga penting terutama pada DKPP. KPUD dan Panwas dibiayai dari APBD hingga APBN. Namun, kemungkinan masuknya unsur politik pada KPUD dan Panwas ada.

"Ini yang harus di awasi DKPP. DKPP harus tegas dan transparan menindak penyelenggara dan pengawas pemilu yang melakukan pelanggaran," katanya.

"Eksistensi DKPP, KPUD, Panwas harus jelas agar pelanggaran tidak terjadi dan bila terjadi bisa segera diselesaikan agar tidak menimbulkan konflik berkelanjutan."

KPUD DKI Akui Syarat Jalur Independen Sulit



Arahan Pemerintah

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan pentingnya pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2015, ini. Tjahjo memaknainya sebagai momen bagi rakyat untuk menentukan berjalannya Nawa Cita menuju Trisakti Bung Karno.

"Pilkada serentak ini sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menjadikan Indonesia lebih baik," kata Tjahjo kepada VIVA.co.id.

Tjahjo berharap, begitu hajat besar ini usai, maka terjaringlah kepala daerah yang mampu bersinergi dengan pemerintah pusat. Setelahnya, bekerja bersama mewujudkan janji-janji mereka pada rakyat.

"Pilihan Anda menentukan masa depan Negara Indonesia, selamat memilih, selamat menjadi bagian dari bangsa yang sedang berjuang bangkit untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ucap Tjahjo.

Menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menuturkan bahwa pemerintah telah menentapkan 9 Desember sebagai hari libur melalui keputusan presiden (keppres). Tujuannya memberi kesempatan masyarakat daerah yang menggelar pilkada berpartisipasi secara aktif untuk ikut memilih dan menetapkan pemimpin daerahnya.

"Harapan saya sebagai mendagri, masyarakat gunakan hak pilihnya dengan baik," kata dia.

Selain itu, Tjahjo mengimbau kepolisian, BIN, dan TNI, agar tetap melakukan deteksi dini. Kemudian, saling berkordinasi, seandainya ada sedikit riak harus ditutup.

"Sengketa kan nanti setelah hasil dan penetapan. Secara keseluruhan KPU menyatakan 99 persen siap, maka 1 persen Kalteng. Ini bukan masalah KPU, namun masalah hukum," tuturnya.

Jangan Manipulasi

Diah Pitaloka mewanti-wanti agar jangan sampai terjadi manipulasi suara rakyat. Menang katakan menang, demikian juga jika sebaliknya yang terjadi.

"Rakyat makin paham mekanisme demokrasi. Berkali kali lakukan pemilihan. Hari ini kecurangan sulit dilakukan. Semua mengawasi. Kita juga mengawasi. Bukan zamannya lagi lakukan manipulasi," katanya.

Diah mengungkapkan bahwa penyelenggara pilkada harus benar benar menjunjung asas jujur, adil, langsung, umum, dan bebas rahasia. Dia mengajak semua pihak untuk menjaga martabat pilkada.

"Ini penting karena pemerintah daerah yang menetukan otonomi daerah. Sangat signifikan untuk perubahan Indonesia terutama daerahnya," tuturnya.

Mengenai politik uang, Diah mengakui di belahan dunia manapun proses untuk memengaruhi pemilih selalu ada. Dari money politics hingga tekanan sosial. Semua untuk mengukur, masyarakat bisa dimobilisasi atau tidak.

"Melawan money politics butuh proses dan harus dilakukan banyak pihak. Meski hasil beberapa penelitian, efektivitas money politics hanya sekitar 5 persen. Jumlah ini sebenarnya tidak signifikan, tapi di antara masyarakat yang hopeless ini bisa berbeda," tuturnya.

Dia percaya masyarakat semakin cerdas, tidak mudah dikibulin. Misalnya, dia sering mendengar jargon, "ambil duitnya jangan pilih orangnya".

KPU Belum Putuskan Mekanisme Cuti Bagi Petahana

"Ini menandakan bukan hanya masyarakat yang bisa dikibulin. Yang pakai money politics juga bisa dikibulin. Risiko hari ini, risiko money politics sangat berat karena pengawasan juga ketat."

Sementara itu, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengajak masyarakat pemilih untuk menghukum siapa pun yang ingin bertindak curang. Salah satu kecurangan yang dilakukan adalah memengaruhi pilihan pemilih dengan cara menggunakan uang atau barang menjelang dan setelah pemungutan suara.

Dengan jumlah pasangan calon yang terbatas, potensi adanya politik uang sangat dimungkinkan dilakukan oleh seluruh pasangan calon yang ada. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pilkada yang bersih dan menghukum pelakunya, JPPR mengajak seluruh masyarakat pemilih, untuk menerima uang tersebut dan menjadikannya sebagai barang bukti untuk dilaporkan ke Panitia Pengawas Pemilihan.

"Saatnya kita menolak suap dan menghukum pelaku politik uang, bukan dengan menolaknya, tetapi menjadikannya sebagai barang bukti untuk menjebloskannya ke penjara," kata Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz dalam siaran persnya.

Masykuruddin mendasarkan seruannya itu pada pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang intinya mengatur siapa pun yang melakukan politik uang diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan dan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Hasto Datangi KPK

PDIP Masih Cari Momentum Baik untuk Umumkan Cagub DKI

Alasannya, saat ini masih sibuk bicarakan cagub daerah lain.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016