Dana Ketahanan Energi, 'Pungutan Liar' Ala Pemerintah?

SPBU
Sumber :
  • Rebecca Reifi Georgina / VIVA.co.id
VIVA.co.id
Menkeu Tegaskan Tak Ada Penghapusan Subsidi Solar
- Rencana pemerintah memungut dana ketahanan energi dari harga jual bahan bakar minyak hingga saat ini terus menuai polemik. Sebagian besar protes dengan rencana kebijakan baru Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Sudirman Said itu.

BBM Turun, Astra Yakin Penjualan Kendaraan Meningkat
Dana ketahanan energi diambil sebesar Rp200 dari harga premium per liter. Lalu Rp300 dari harga solar per liternya. Jika dijumlah dalam setahun yang diukur berdasarkan data penjualan Pertamina, diperkirakan pemerintah 'menangguk untung'  Rp15-16 triliun.

Sudirman: Harga BBM Tak Berubah hingga September 2016
Penarikan dana ketahanan energi dari premium dan solar ini rencananya mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016, bertepatan dengan penyesuaian harga baru BBM, setelah harga minyak dunia turun.

Harga premium dipatok menjadi Rp7.150 per liter dari sebelumnya Rp7.300 per liter. Sementara itu BBM bersubsidi jenis solar menjadi Rp5.950 per liter dari sebelumnya Rp6.700 per liter. 

Sudirman menjelaskan, berdasarkan harga keekonomian, harga BBM sebenarnya bisa lebih rendah. Namun, karena ditambah komponen dana ketahanan energi, ditetapkanlah harga itu. 

"Harga keekonomian premium yang semula Rp7.300 menjadi Rp6.950 per liter, kemudian kami memungut dana Rp200 per liter, dengan demikian premium itu Rp7.150, kami menyimpan dana untuk ketahanan energi. Keekonomian solar Rp6.700 harga menjadi Rp5.650 jadi Rp5.950 per liter," papar Sudirman.

Dana itu rencananya digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan dan membangun infrastruktur cadangan strategis. 

"Secara konsepsi dana ini dapat digunakan untuk mendorong explorasi agar depletion rate (angka penurunan) cadangan kita bisa ditekan. Dana ini juga bisa digunakan untuk membangun infrastrukur cadangan strategis. Pun dapat digunakan untuk membangun energi yang sustainable, yaitu energi baru dan terbarukan (EBT)," kata dia.

Sudirman mengatakan, di samping mengembangkan EBT, kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah dana stimulus untuk eksplorasi migas, panas bumi (geothermal), dan batubara. 

Tak hanya itu, Sudirman mengklaim dana itu sebagian akan digunakan untuk membayar utang subsidi. Sebagian lagi untuk membantu daerah yang belum menikmati listrik.

"Ini kan bagian dari apa, iuran gitu. Jangan lupa sebagian untuk bayar utang karena sudah murah selama ini dan sebagian bantu saudara kita di 2.517 desa yang belum kebagian listrik," kata Sudirman.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dana itu akan digunakan untuk membayar subsidi lagi kalau sewaktu-waktu harga naik. "Itu untuk menjaga supaya jangan ada turun naik terlalu jauh. Nanti kalau dia naik tentu ada bantalannya. Cadangan untuk subsidinya, kalau harga naik," jelas Jusuf Kalla.

Pungutan Liar

Sejumlah pihak terus mengutarakan kritik. Pakar hukum Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut pungutan itu melanggar aturan.

"Pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan Pasal 30 UU Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan BBM," kata Yusril.

Untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan, pasal tersebut menyebutkan dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan.

Menurutnya, penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD. 

Tidak ada norma apapun dalam Pasal 30 UU Energi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM. 

Dia menegaskan, setiap pungutan haruslah masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak yang lebih dulu harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

"Pasal 30 UU Energi memang menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan PP. Namun, hingga kini PP belum ada," ungkapnya.

Untuk itu, Sudirman dinilai tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan, dan pertanggungjawabannya.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Rieke Diah Pitaloka, bahkan menuding hal itu dikategorikan sebagai pungutan liar.

"Ini sebuah indikasi kuat praktik pungutan liar alias pungli Sudirman Said kepada rakyat," ujar Rieke.

Menurutnya, apabila Sudirman menilai penjualan BBM kepada rakyat merupakan sumber pendapatan negara, maka berarti ia sedang mengarahkan pemerintahan Jokowi keluarkan kebijakan cari untung dan ambil untung dari rakyatnya sendiri.

“Saya berharap di masa sidang bulan Januari 2016, atas nama kesetiaan anggota DPR pada UUD 1945, DPR RI menolak kebijakan pungutan tersebut. Saya pun memohon dukungan dari seluruh rakyat Indonesia tolak indikasi pungli Sudirman Said,” katanya.


Wakil Ketua DPR Agus Hermanto turut bersuara kontra atas kebijakan pemerintah itu. Menurutnya,  kebijakan tersebut ceroboh dan menyusahkan rakyat. Dewan, kata dia, akan meminta keterangan langsung dari Sudirman. 

"Pemerintah tidak bisa sembrono, tidak bisa mengambil jalan pintas seperti ini," kata Agus.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, dana itu belum memiliki payung hukum yang jelas, termasuk belum ada lembaga independen yang menaunginya.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan ketika pemerintah mengumumkan soal adanya dana tersebut, harus dipastikan mempunyai payung hukum yang sudah jelas. Jika tidak, maka dana tersebut dianggap sebagai pungutan liar.

Menurut Tulus, dalam hal ini seharusnya juga terlebih dahulu dibentuk kelembagaan independen. Ini dilakukan supaya dana tersebut bisa transparan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Dia menuturkan, jika dana tersebut tidak dikelola dengan benar, namun pemungutannya berkesinambungan, potensi penyalahgunaannya akan sangat besar. 

Karena, menurutnya, yang menggunakan energi di Indonesia tidak hanya satu hingga dua orang, melainkan seluruh rakyat Indonesia.

"Kalau itu terus dilakukan tanpa ada lembaga dan payung hukumnya, jumlahnya besar, potensi penyalahgunaan akan sangat besar. Karena yang butuh dan pakai energi itu seluruh Indonesia," katanya.

Selain itu, ia melanjutkan, jika masih dipungut pemerintah dan masuk ke dalam APBN, dana tersebut akan digunakan untuk kepentingan yang lain, bukan untuk ketahanan energi.

"Saya khawatir dana itu enggak dipakai buat ketahanan energi tapi untuk kepentingan lain yang mungkin enggak ada kaitannya dengan ketahanan energi bahkan untuk pengembangan lain," ujarnya.

Ditemui VIVA.co.id, Sekjen DPP Gerindra, Ahmad Muzani, mendesak Presiden Joko Widodo campur tangan. Muzani mengatakan, pungutan itu tidak ada landasan aturannya. "Artinya, pemerintah yang seharusnya mensubsidi rakyat, tapi kebijakan ini justru rakyat yang mensubsidi pemerintah. Ini sudah kebalik-balik," kata Muzani, di sela-sela acara penjaringan Bacagub DKI 2017, di GOR Senen, Jakarta.

Muzani menjelaskan, di banyak negara untuk meningkatkan daya beli, yang ada adalah pemerintah mensubsidi rakyatnya. Tapi sekarang menjadi aneh, karena rakyat yang justru subsidi pemerintah.

Respons Sudirman

Sudirman pun menjawab keraguan hingga tudingan berbagai pihak, terkait dana pungutan ketahanan energi, yang diambil dari pembelian premium dan solar.

Sudirman menilai kritikan-kritikan itu hingga kecaman muncul ke publik karena banyak yang tidak paham.

"Memang banyak orang yang belum paham jadi ragu-ragu, tanda tanya, curiga. Itu wajar," kata Sudirman, usai rapat kabinet terbatas terkait Blok Masela, di Kantor Presiden, kompleks Istana, Jakarta, Selasa 29 Desember 2015.

Dia mengatakan, kebijakan itu tetap memiliki landasan hukum. Yakni Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014. Sudirman mengatakan, yang sedang dikaji saat ini adalah formula pengelolaan dananya.

Itu juga ditekankan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Sudirman, Presiden ingin agar ini dikaji secara komprehensif baik dari sisi hukum hingga keuangan negara.

PP No.79, kata Sudirman, sudah mengamanatkan dana ketahanan energi bisa diambil dari berbagai pintu, seperti dari masyarakat, APBN maupun premi pengurasan fosil. Apalagi, lanjut Sudirman, ini sudah disepakati bersama dengan Komisi VII DPR.

"Bahkan disepakati waktu itu apabila harga minyak begitu rendah, seribu rupiah itu bisa dialihkan ke dana ini. Jadi sebetulnya bukan hal baru," katanya.

Jusuf Kalla juga menegaskan, tidak setuju disebut pemerintah justru disubsidi rakyat. Dia beralasan, dana itu nantinya juga untuk rakyat. "Pemerintah tidak pernah disubsidi bahwa itu ada kelebihan kemudian dicadangkan untuk masyarakat juga nanti,"  katanya. (umi)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya