Ketika Penjara Jadi Pusat Komando Teroris

Sumber :
  • REUTERS/Veri Sanovri

VIVA.co.id - Serangan teror yang mengguncang jantung Kota Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2015 lalu, semakin mengungkap tabir bagaimana jaringan terorisme itu bekerja di Tanah Air. Selain memiliki kader yang militan, jaringan terorisme ini juga diketahui tumbuh berkembang di lembaga pemasyarakatan.

Parahnya lagi, para terpidana kasus terorisme itu ditengarai menjadikan lapas sebagai pusat komando aksi teror di Tanah Air, layaknya gembong narkoba. Benarkah?

Pengamat terorisme Al Chaidar mengungkap temuan baru terkait aktivitas para terpidana kasus terorisme di dalam penjara. Menurut Chaidar, lapas adalah institusi negara yang berfungsi melakukan pembinaan terhadap narapidana, justru digunakan sebagai salah satu sentral komando.

Informasi itu setidaknya diklaim Chaidar, pernah dilakukan salah satu pelaku teror bom di kawasan MH Thamrin. Pelaku menemui narapidana kasus terorisme yang tengah menjalani masa hukuman, dan menjadikan penjara sebagai pusat komando, sama seperti yang dilakukan terpidana kasus narkoba.

"Pelaku bom di Thamrin Jakarta itu seperti Afif alias Sunakim beberapa kali ke Nusakambangan. Sudah 3 kali sebelum kejadian," kata Chaidar dalam perbincangan dengan tvOne, Senin, 18 Januari 2018.

Kondisi tersebut pernah terjadi di Lapas Cipinang, Nusakambangan, dan Lapas di Surabaya. Ironisnya lagi, aktivitas tersebut diproteksi dan dibiayai negara. Lebih dari itu, tamu yang menjenguk juga bisa menginap di penjara.

Chaidar menyebut Afif alias Sunakim beberapa kali ke Nusakambangan untuk menemui dan berkoordinasi dengan terpidana kasus terorisme Aman Abdurrahman. "Hubungan Afif Sunakim dengan Aman Abdurrahman sangat kuat," klaim Chaidar.

Oleh karena itu, Chaidar meragukan klaim bahwa otak bom Thamrin adalah Bahrun Naim. Chaidar lebih condong dalang pelaku teror adalah Aman Abdurrahman.

Dengan informasi tersebut, Chaidar berpendapat pemerintah harus segera membenahi manajemen lapas. Jika tidak, lapas akan memunculkan kejahatan-kejahatan baru lagi, tak hanya narkoba, tapi terorisme. "Apalagi ada kesadaran di kalangan narapidana terorisme. Jika dirinya sudah di dalam penjara, dia tidak bisa dihukum lagi, karena itu bisa melakukan kejahatan," ujar dia.

Usai Penangkapan Batam, Densus 88 Segera Lakukan Geledah

Deradikalisasi Gagal

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menyayangkan program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah dalam menangani kejahatan terorisme kurang berhasil, karena tak jarang terpidana teroris yang sudah sempat dipenjarakan malah semakin radikal setelah menyelesaikan masa hukuman.

Hasanuddin mengatakan nihilnya hasil program deradikalisasi tersebut dapat dijelaskan melalui target deradikalisasi yang tidak jelas, hingga tidak pernah ada evaluasi yang jelas sejauh mana tingkat keberhasilan program yang dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Teror.

Menurut dia, program deradikalisasi selama ini cenderung dijadikan proyek oleh pihak-pihak tertentu. Padahal anggaran untuk program tersebut tidak sedikit. Kemudian, masih kentalnya ego sektoral institusi menyebabkan koordinasi penegak hukum dan pemangku kepentingan tidak berjalan.

"Harap dicatat kalau ditotal anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Hasilnya memang belum terlihat untuk jangka panjang, tapi setidaknya teror yang dilakukan oleh radikalis seperti tetap tak berkurang bahkan bibit-bibitnya semakin tumbuh," kata TB Hasanuddin melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Senin 18 Januari 2016.

Selain itu, kegiatan pemerintah dalam penanggulangan terorisme juga sering tumpang tindih. Hal yang juga patut diperhatikan adalah kurang dilibatkannya tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat desa termasuk RT dan RW dalam mencegah potensi terorisme. "Mereka (pengurus RT dan RW) justru hanya dijadikan semacam pemadam kebakaran setelah teror terjadi," katanya.

Namun pemerintah tetap melanjutkan program deradikalisasi, sembari meningkatkan fungsi intelijen dalam rangka meredam aksi terorisme. Untuk itu, pemerintah akan melanjutkan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Revisi itu akan difokuskan pada formulasi dan desain undang-undang yang memberi ruang bagi Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) untuk menangkap pihak-pihak yang dinilai kuat terlibat terorisme dan akan melakukan aksi teror dalam waktu tertentu, sebagai upaya antisipasi pemerintah.

"Termasuk kewenangan penangkapan, penahanan sampai waktu tertentu bila diperlu keterangan-keterangan. Dengan demikian kita bisa lebih mencegah kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan," kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin, 18 Januari 2016.

Tak hanya UU Pemberantasan Terorisme, Luhut juga mendukung adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen. Revisi rencananya akan memuat  soal penambahan kewenangan lembaga intelijen agar bisa melakukan penangkapan dan penahanan.

"Kita juga lagi melihat, berapa lama ketentuan umum. Itu makanya akan kami pertimbangkan. Kan kita lihat ketentuan umumnya, bisa menahan 10 hari kemudian bisa dilepas, ya kenapa tidak," kata Luhut.

Sulit Diubah

Terlepas dari itu, munculnya modus baru pergerakan teroris dengan menggunakan lapas sebagai pusat komando sebagaimana diungkap Al Chaidar menjadi salah satu yang perlu diantisipasi Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.

Kasubdit Komunikasi Ditjen PAS Akbar Hadi mengakui Kemenkumham sudah melakukan pengetatan-pengetatan terhadap para narapidana. Jika apa yang disampaikan Chaidar itu benar, dia meminta untuk menyampaikan ke institusinya.

"Kalau itu pun benar, kenapa tidak kerja sama dengan kami sehingga bisa mencegah atau melakukan tindakan-tindakan," kata Akbar, Senin, 18 Januari 2016.

Akbar mengakui kondisi lapas saat ini jauh dari sempurna. Sebab, masih ada kekurangan di sejumlah hal. Misalnya saja, perbandingan antara jumlah petugas dengan narapidana yang tidak seimbang. Namun Kemenkumhan tetap berbenah melakukan perbaikan.

Selain itu, Akbar juga mengakui gagal membina Afif alias Sunakin selama di penjara. Afif merupakan salah satu pelaku teror bom Thamrin, residivis dan  pernah melakukan latihan aksi teror yang dilakukan pada tahun 2010 di Aceh.

Afif pernah menjalani hukuman selama tujuh tahun akibat kasus terorisme di Lapas Cipinang. Namun setelah menjalani masa hukuman, Afif ternyata kembali ke dunia hitamnya tersebut.

"Saya akui akhirnya seperti itu (Afif tidak berhasil dibina)," kata Akbar.

Akbar menuturkan, kunci keberhasilan pembinaan terhadap napi terorisme terletak pada komunikasi dengan dasar pemahaman dua arah. Jika tidak maka upaya deradikalisasi sulit dilakukan. "Ideologi memang sulit diubah. Mereka yang masuk kategori pejuang, kami dianggap thogut," ujarnya.

Meskipun demikian, tidak semua usaha yang dilakukan Kemenkumham tidak berhasil. Sebagian dari napi teroris juga akhirnya ada yang sukses disadarkan, dan  kembali ke jalan yang benar.

"Tidak bisa menafikkan banyak bahkan ratusan narapidana kasus terorisme dalam kategori follower sudah berhasil kembali," terangnya.

Akbar mencontohkan, salah satu tokoh teror Indonesia, Umar Patek, pada hari Kebangkitan Nasional mengibarkan bendera Merah Putih. Sedangkan yang lainnya saat keluar dari Lapas punya kemampuan beternak kelinci, kambing, dan lainnya.

Teroris Diisolasi

Anggota Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan perlawanan terhadap terorisme bukan hal mudah karena menyangkut ideologi dan paham radikalisme. Oleh karena itu para narapidana terorisme di penjara perlu dibatasi interaksinya dengan dunia luar.

"Mereka harus diisolasi, jangan sampai ada komunikasi dengan pihak lain," kata Sufmi di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.

Hal ini menurutnya salah satu cara efektif untuk meminimalisir berkembangnya paham radikalisme. Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra itu mengatakan, selama ini para teroris tak bisa dijamin bertobat setelah menjalani masa hukuman. Buktinya ditengarai masih ada keterkaitan antara sejumlah aksi terorisme dengan para narapidana terorisme.

"Doktrin dan ideologi susah diantisipasi walau dibina sedemikian rupa. Ideologi radikal agak susah," katanya.

Lebih dari itu, Anggota Komisi I DPR, Syaifullah Tamliha, mengusulkan agar pelaku terorisme dihukum seberat-beratnya. Hal ini penting untuk menimbulkan efek jera para pelaku. "Terorisme dihukum seumur hidup," kata Syaifullah dalam perbincangan dengan tvOne, Senin, 18 Januari 2016.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan apabila vonis hanya 7 bulan, atau 7 tahun, mereka masih mempunyai harapan hidup. Selain itu, mereka juga tetap bisa membangun jaringannya di dalam lapas, sekalipun dengan sistem pengamanan lapas yang baik.

"Jangan lupa, seorang mafia narkoba, dalam waktu 3 jam, bisa menyuruh membunuh 3 orang di Indonesia," kata Syaifullah memberikan contoh.

Al Chaidar justru berpendapat para pelaku teror, korupsi dan narkoba sebaiknya tidak perlu dipenjara. Sebab kata dia, mereka berpeluang mengulangi perbuatannya di masa mendatang. "Kejahatan narkoba, koruptor, teroris, gak perlu dipenjara. Sekali mereka bermain-main langsung dihukum mati saja," kata Chaidar.

Chaidar menilai  penjara bukan satu-satunya alat punishment yang paling penting dalam memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku kejahatan terutama terorisme. Penjara justru menjadi tempat mereka berlindung dan pusat dari komando mereka dalam menjalankan aksi.

"Mereka malah mendapat penghidupan oleh negara, dikasih makan, diproteksi negara, dan berada dipenjara berarti tidak bisa diserang oleh kelompok yang membenci terorisme," kata Chaidar lagi.

Dengan dihukum mati, maka negara tidak lagi dibebani. Negara tak perlu mengeluarkan uang rakyat untuk para penjahat. Akankah gagasan Chaidar itu benar-benar terwujud?

Aman Abdurrahman Segera Bebas, Pemerintah Bingung
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar

Densus Geledah Rumah Teroris di Batam, Sita Sejumlah Bukti

Mulai dari uang, komputer dan airsoft gun mirip senapan AK-47.

img_title
VIVA.co.id
9 Agustus 2016