Jessica Tolak Reka Ulang, Penyidikan Polisi Dipertanyakan

Jessica Kumala Wongso.
Sumber :
  • VIVA.co.id / Foe Peace
VIVA.co.id
Pengacara Jessica Duga Mirna Tewas Karena Sianida di Apel
- Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menggelar rekonstruksi kasus dugaan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. Rekonstruksi ini digelar di Kafe Olivier, West Mall, Grand Indonesia (GI), Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu 7 Februari 2016 lalu.

Pengacara Jessica Minta Jaksa Agung Turun Tangan
Pada rekonstruksi ini, tercipta dua versi rekonstruksi karena tersangka Jessica Kumala Wongso menolak melakukan reka ulang adegan, berdasarkan temuan penyidik.

Lambat Tuntaskan Kasus Mirna, Ini Alasan Krishna Murti
Alasannya, Jessica tidak diberikan kesempatan melihat rekaman Closed-circuit television (CCTV) yang dijadikan penyidik sebagai bahan untuk melakukan rekonstruksi. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Mohammad Iqbal, tidak semua alat bukti bisa diberikan pada tersangka.

"Semua alat bukti tidak wajib diberikan," jelasnya di Mapolda Metro Jaya, Selasa, 9 Februari 2016. 

Sementara itu, Yudi Wibowo Sutikno, kuasa hukum Jessica mengakui, kliennya menolak karena menganggap rekonstruksi versi penyidik tidak pernah ia lakukan. Hal ini yang mendorongnya meminta diperlihatkan rekaman CCTV.

"Ada yang ditolak karena enggak benar. Ya, saya wajar tapi polisi buat rekonstruksi tandingan. Enggak mau saya. Saya enggak tahu karena enggak lihat CCTV-nya. Jadi Jess enggak mau peragakan itu karena enggak lihat," ungkap Yudi, Senin, 8 Februari 2016.

Tim pengacara Jessica beralasan, jika kliennya mengikuti adegan demi adegan pada rekonstruksi versi penyidik, maka secara tak langsung mereka mengakui data dan fakta penyidik yang telah menetapkannya sebagai tersangka.

"Ya enggak dong, kan enggak pernah taruh mana memperagakan. Buat apa? Ya kita tolak. Kalau kita peragakan ya berarti kita ngaku," ujarnya.

Dua Perbedaan Adegan Rekonstruksi

Dalam rekonstruksi tersebut, penyidik melakukan dua peragaan yang berbeda, yakni rekonstruksi versi Jessica dan versi fakta yang didapat penyidik. Usai menggelar rekonstruksi Minggu, 7 Februari 2016 lalu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Krishna Murti menjelaskan, rekonstruksi versi Jessica memiliki adegan yang lebih sedikit, dibandingkan fakta hasil penyidikan polisi.

"Kalau ditanya apa yang berbeda, semua (dibuka) di pengadilan," kata Krishna.

Menurut Krishna, saat proses rekonstruksi, Jessica hanya mau melakukan adegan pertama yang menurutnya telah terjadi di Kafe Olivier. Jessica menolak melakukan adegan kedua, yang merupakan temuan fakta penyidik, setelah disinkronisasi dengan keterangan para saksi.

"Jadi yang adegan pertama itu 56 tapi bercabang-cabang. Ada potongan-potongan, ada bagian-bagian. Dari hasil adegan kedua yang dari saksi, ada 65 adegan dengan bagian masih ada potongan," tutur Krishna.

Meski Jessica menolak, penyidik tetap melakukan rekonstruksi adegan kedua, dimana posisi tersangka Jessica digantikan dengan seorang model, yang memperagakan gerakan sesuai fakta yang ditemukan penyidik.

Perbedaan versi mengenai rangkaian peristiwa dalam sebuah rekonstruksi perkara wajar terjadi. Hal ini karena setiap tersangka memiliki hak ingkar, dimana mereka diperbolehkan untuk menyangkal perbuatannya.

"Tersangka J berbeda itu wajar dan sah, tersangka J tak ingin ikut rekonstruksi versi penyidik, rekonstruksi versi kami tentunya berdasarkan fakta bukan pandangan dan asumsi. Penyidik tak ada masalah dan sah-sah saja tersangka J menolak," kata Iqbal di Mapolda Metro Jaya, Selasa 9 Februari 2016.

Namun, sesuai aturan, jika Jessica menolak melakukan rekonstruksi, maka dia diharuskan menandatangani berita acara penolakan. "Walaupun menolak tidak masalah tapi ada SOP-nya, kami minta penandatanganan berita acara penolakan," jelas Iqbal.

Iqbal juga menegaskan, dalam mengusut perkara, penyidik tidak pernah mengejar pengakuan tersangka. Mereka bekerja berdasarkan fatka-fakta yang mereka temukan di lapangan. "Kami bekerja berdasarkan bukti dan kuatkan pembuktian, keterangan tersangka tidak menjadi sangat penting buat kami," ujar Iqbal.

Rekonstruksi Bukan Bukti Utama

Menanggapi hal ini, pakar di bidang kriminologi dan kepolisian, Adrianus Meliala menjelaskan, rekonstruksi adalah bagian dari proses mencocokan keterangan tersangka dan para saksi, mengenai rangkaian peristiwa yang terjadi. Rekonstruksi bukan menjadi bukti utama di pengadilan, dalam mengungkap kasus pembunuhan ini.

Dalam proses tersebut, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini menilai, wajar jika tersangka enggan mengakui perbuatannya karena bagian dari upaya pembelaan diri. Di sisi lain, penyidik juga teguh pada fakta yang mereka temui dalam proses penyidikan.

"Ada bagian-bagian Jessica tidak mengakui, atau tidak setuju, bukan kontroversi. Si Jessica ingkar tidak mau membuat posisinya lebih berat. Kalau mengakui, polisi juga tidak bisa menambah berat sangkaannya," jelas Adrianus pada VIVA.co.id, Selasa 9 Februari 2016.

Menurut Adrianus, rekonstruksi tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti utama, karena isinya hanya untuk mengungkap cara seorang tersangka melakukan perbuatan pidananya. Hal ini lebih bersifat teknis seperti percakapan, gerakan dan tindakan yang dilakukan.

"Ini lebih pada pencocokan, kalau mempelajari ada hal yang mesti ditanyakan seperti perbincangan-perbincangan," katanya.

Sementara pembuktian dan pengungkapan motif tindak pidana, ada pada proses pemeriksaan alat bukti, dan wawancara, interogasi serta konfrontasi saksi. Saat itulah akan terungkap kebenaran dari kasus ini.

"Kalau menurut saya tidak ada kontroversi, nanti dikonfrontir keterangan saksi di persidangan," ucap Adrianus.

Meskipun saat ini berkembang dua versi rekonstruksi yang dilakukan, penyidik tidak akan memilih-milih dan membawa keduanya ke pengadilan. Polisi akan membiarkan persidangan memutuskan versi mana yang lebih benar, dengan didukung alat bukti lainnya. "Dua-duanya (rekonstruksi) kami bawa," ungap Iqbal. (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya