Meruntuhkan Dominasi Thailand di Sektor Otomotif

Suasana perakitan mobil.
Sumber :
  • VIVAnews/Herdi Muhardi

VIVA.co.id – Industri otomotif nasional seakan tidak berhenti menerima cobaan. Setelah penjualan menurun akibat melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS tahun lalu, kini beberapa perusahaan penyedia kendaraan memutuskan untuk hengkang dari Tanah Air.

3 Kendaraan Hino Dapat Sertifikat TKDN

Tahun lalu, PT General Motors Indonesia memilih untuk menutup pabrik perakitan Chevrolet Spin mereka di Pondok Ungu, Bekasi. Namun, semua kegiatan diler tetap berjalan. Hanya, unit yang dijual kini diimpor dari luar negeri.

Awal 2016, PT Ford Motor Indonesia mengumumkan, semua kegiatan mereka akan disetop. Penghentian kegiatan operasional ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun juga Jepang.

Mobil SUV Edisi Terbatas Ini Dijual Seharga Fortuner

Terakhir, PT Mabua Harley-Davidson, agen pemegang merek motor gede Harley-Davidson, tidak lagi memperpanjang kontrak keagenan mereka.

Hal ini, tentu membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah iklim investasi sektor otomotif di Indonesia sudah sedemikian parah? Apakah keterpurukan ini akan berakhir, atau bakal muncul ‘korban-korban’ lain?

Mobil Rp104 Jutaan Ini Bensinnya 25 Km per Liter

Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) 2015, jumlah unit kendaraan yang diproduksi mencapai 1.098.780 unit. Angka ini turun jauh dibanding tahun sebelumnya (2014), yang berhasil mengukir angka produksi 1.298.523 unit.

Selanjutnya….kompetisi dengan Thailand

Menurut Direktur Jenderal Industri Logam Mesin dan Eletronik (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan (Putu), saat ini ada tiga negara di ASEAN yang sektor otomotifnya berkembang, yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, jumlah produksi kendaraan di Thailand jauh lebih banyak. Pada 2014, produksi kendaraan di Thailand mencapai 1.880.007 unit. Dari jumlah tersebut, yang dilepas ke pasar dalam negeri negara tersebut tidak sampai 900 ribu unit.

Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia, di mana dari angka nyaris 1,3 juta unit yang diproduksi pada 2014, sekitar 1,2 juta unit dikonsumsi oleh warganya sendiri.

Ini membuktikan, Indonesia masih menjadi basis untuk pemasaran produk, sementara Thailand cenderung sebagai produsen.

Padahal, beberapa tahun lalu, Thailand tidak masuk dalam daftar negara-negara yang potensi industri otomotifnya diperhitungkan dunia.

“Thailand pada 2010-2012, menjadi pusat Detroit-nya ASEAN. Mereka sudah punya pondasi yang kuat dari segi kebijakan, implementasi, termasuk infrastrukturnya. Beberapa pelaku otomotif dunia membuat pabriknya di Thiland, termasuk mengajak pemasoknya berinvestasi di Thailand,” ujar Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, I Made Dana Tangkas.

Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah Thailand adalah mengizinkan investor beraktivitas, tanpa perlu bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Kemudian, pajak penghasilan perusahaan diturunkan, dari 30 persen menjadi 20 persen. Sementara itu, pemerintah Indonesia masih mematok angka 25 persen untuk pajak tersebut. Hal ini, tentu membuat investor tertarik berbisnis di Negeri Gajah Putih tersebut.

Namun, menurut tradingeconomics.com, kejayaan Thailand dalam sektor otomotif tampaknya tidak akan lama. Hal ini, karena negara tersebut memiliki keterbatasan dalam hal pekerja dan lahan.

Dua faktor tersebut, sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, karena lahan masih terbuka luas dan jumlah penduduk jauh lebih banyak.

Sayangnya, jumlah masalah yang dihadapi oleh investor untuk berbisnis di Tanah Air tidak sedikit jumlahnya.

"Banyak tantangan yang kita hadapi. Termasuk, dari sisi tenaga kerja seperti demo buruh. Kondisi ekonomi Indonesia maupun global juga menjadi tantangan industri otomotif. Seperti dari sisi nilai tukar mata uang, ekonomi global, dan harga energi," kata Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan.

Selanjutnya….jalinan kerja sama yang lebih erat

Untuk bisa menggeser Thailand, para pelaku industri otomotif dan pemerintah Indonesia perlu menjalin kerja sama yang lebih erat. Salah satunya, menurut Putu, adalah meningkatkan produksi komponen lokal.

“Sekarang yang tinggi adalah Thailand. Kita harus bisa mengalahkan mereka dengan menggenjot industri komponen lokal,” ujar Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan.

Mengingat kondisi saat ini dikhawatirkan akan semakin berdampak negatif, karena itu, dia mengusulkan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkaji penutupan investasi asing untuk industri komponen otomotif.

“Ini untuk merangsang industri nasional berkembang,” katanya.

Selain itu, kerja sama antarnegara juga bisa dilakukan, guna menggenjot ekspor produk otomotif, baik dalam bentuk utuh maupun komponen.

Bahkan, menurut berita yang dilansir dari Paultan, kejayaan Thailand bisa saja berubah dengan adanya kerja sama Trans Pacific Partnership (TPP). Saat ini, Indonesia maupun Thailand belum termasuk dalam negara-negara yang setuju bergabung ke dalam kerja sama tersebut.

Menurut Chief Executive Officer (CEO) Honda Automobile Thailand, Pitak Pruittisarikorn, semua bentuk kerja sama perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional, akan sangat menguntungkan.

"Saat ini, Thailand masih unggul dari Brunei, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Namun, apabila negara-negara tersebut mulai memproduksi mobil, atau Indonesia memutuskan untuk bergabung ke TPP, maka dampaknya akan sangat besar pada Thailand," ujar Pitak.

Selanjutnya….rencana Gaikindo

Hari ini, Selasa 23 Februari 2016, Gaikindo baru saja melakukan pemilihan ketua umum periode 2016-2019. Berdasarkan hasil rapat, terpilih Presiden Direktur PT Isuzu Astra Motor Indonesia, Yohannes Nangoi.

Menurut Yohannes, pihak agen pemegang merek (APM) diharapkan dapat bekerja sama dengan para principal, sehingga penjualan ekspor untuk kendaraan bermotor akan semakin meningkat.

"Untuk ekspor itu, para pabrikan di Indonesia harus bekerja sama dengan prinsipalnya di negara masing-masing. Mereka harus bekerja sama, karena pasar ekspor itu hanya bisa dibuka dengan prinsipalnya," kata Yohannes.

Sementara itu, menurut Ketua Umum Gaikindo periode sebelumnya, Sudirman MR, ada beberapa pekerjaan rumah Gaikindo yang harus segera diselesaikan pengurus yang baru.

Salah satunya adalah meneruskan kebijakan pemerintah mengenai peraturan Menteri Perindustrian dan Direktur Jenderal ILMATE, tentang pelaksanaan Low Carbon Emission Program (LCEP), berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 41 tahun 2013.

Sebelumnya, program kendaraan murah ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) yang dibuat pemerintah bisa dianggap sebagai batu pijakan untuk langkah ekspor.

Beberapa mobil yang masuk kategori LCGC, seperti Toyota Agya, Daihatsu Ayla dan Suzuki Karimun Wagon R, berhasil diekspor ke Filipina dan Pakistan.

Kemudian, Gaikindo juga akan berdiskusi dengan pemerintah untuk membahas mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk jasa perdagangan, yang salah satunya mengatur mengenai distribusi kendaraan bermotor.

Selain itu, organisasi yang juga mulai menyelenggarakan pameran berskala internasional sejak tahun lalu itu akan duduk bersama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, terkait proses Penerbitan SUT (sertifikat uji tipe) dan SRUT (Sertifikat Registrasi Uji Tipe).

(asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya