Belajar dari Mobil Nasional Proton

Pabrik Proton di Malaysia.
Sumber :
  • www.corporate.proton.com

VIVA.co.id – Hingga saat ini, istilah mobil nasional, atau biasa disingkat mobnas, masih belum memiliki definisi yang pasti. Ada yang mengatakan, semua mobil yang dibuat di dalam negeri masuk dalam kategori mobnas.

Tanggapan Proton Dapat Kucuran Dana Rp5 Triliun

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) dari Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, saat ini yang terpenting adalah kendaraan yang dirakit dengan komponen lokal, bukan hanya sebuah mobil dengan nama lokal, yang akhirnya tidak diminati.

“Mobil itu adalah barang konsumsi, yang penting komponennya di sini. Buat apa mobil nasional kalau komponen impor? Mobil yang ada di jalan itu buatan anak negeri, meskipun menggunakan merek luar,” kata Suryawirawan saat diwawancara beberapa waktu lalu.

Mahathir Lengser, Pinjaman Dana Proton Cair

Namun, ada pula yang berpendapat, mobil nasional adalah mobil yang tidak hanya dibuat, namun juga dirancang, di dalam negeri.

“Dirancang beda dengan dirakit. Dirancang mulai dari awal, dari tidak ada menjadi ada. Kalau dirakit, diambil komponen yang sudah ada. Jadi, ini kan berbeda persepsinya,” ujar Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi Asosiasi Industri Automotive Nusantara (ASIANUSA) Dewa Yuniardi.

Otomotif Tidak Bisa Dihubungkan dengan Nasionalisme

Berbeda dengan di Indonesia, dimana istilah mobil nasional masih menjadi perdebatan, negara tetangga Malaysia sudah lama memiliki mobil nasional, yakni Proton.

Berawal dari pembelian mobil merek Mitsubishi yang diganti mereknya menjadi Proton, kini perusahaan tersebut sudah mampu merancang dan memproduksi mobil sendiri.

Namun, mereka akhirnya mengetahui, bahwa membuat mobil dengan merek sendiri tidak semudah yang dibayangkan. Sebagai contoh, Toyota dan Honda perlu waktu lebih dari 30 tahun untuk bisa sebuah perusahaan otomotif besar seperti saat ini.

Jika dibandingkan, sebenarnya Indonesia lebih dulu memiliki mobil yang dirancang dan diproduksi secara lokal, yakni Toyota Kijang, pada era akhir 1970-an. Namun, mobil tersebut masih memakai merek asal Jepang, sehingga banyak yang menganggap Kijang adalah produk luar negeri.

Sementara Proton baru berdiri pada 1983. Namun, karena memakai merek baru dan status perusahaannya adalah Badan Usaha Milik Negara BUMN) Malaysia, maka banyak yang mengenal Proton sebagai mobil nasional negara tersebut.

Berkat usaha Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, yang juga pendiri Proton, perusahaan akhirnya bisa bekerjasama dengan Mitsubishi. Mobil Mitsubishi Lancer generasi kedua dirakit di Malaysia dan diubah namanya (rebranding) menjadi Proton Saga.

Dengan harga jual yang masuk akal, Proton tidak perlu waktu lama untuk menjadi populer. Bahkan pada era 1990-an, mereka sudah mulai meluncurkan mobil dengan desain bodi rancangan sendiri.

Tidak hanya itu, dilansir dari laman resmi Proton, Rabu 30 Maret 2016, mereka juga memiliki uang yang cukup untuk membeli 80 persen saham Lotus, perusahaan pembuat mobil sport asal Inggris, Lotus.

Proton juga membangun pabrik baru senilai 1,8 miliar Ringgit, atau setara dengan Rp6 triliun, di wilayah Perak, Malaysia. Namun, akibat krisis ekonomi yang melanda Asia pada 1997, proyek pembangunannya harus ditunda, dan baru dimulai empat tahun kemudian.

Hampir semua model baru yang diluncurkan Proton laris di pasaran. Bahkan, multi purpose vehicle (MPV) Proton Exora bisa bersaing dengan kompetitor asal Jepang. Tidak hanya merancang bodi, Proton juga berhasil mengembangkan mesin, yang diberi nama Cam-pro.

Selain untuk konsumsi warga Malaysia, Proton juga mengekspor unit ke beberapa negara yang ada di Asia, Eropa dan Australia, seperti Inggris, Selandia Baru, Singapura, dan Indonesia.

Namun, hanya negara yang menganut aturan setir kanan saja yang bisa dimasuki, karena Proton tidak membuat mobil dengan kemudi di sisi kiri.

Kesuksesan Proton ternyata tidak berlangsung lama. Setelah Mahathir lengser dari jabatannya sebagai perdana menteri pada 2003, Proton masih tetap berjaya.

Sayangnya, ketika Najib Razak terpilih sebagai Perdana Menteri Malaysia pada 2009, penjualan Proton mulai menurun.

Menurut wawancara Paultan dengan Mahathir beberapa waktu lalu, penyebab utama merosotnya penjualan Proton hingga 40 persen adalah kebijakan Razak yang memberi jalan investor otomotif asing berbisnis di negara tersebut.

Mahathir mengatakan, saat ini pemerintah Malaysia memberi kebebasan pada negara-negara lain untuk mengekspor produk otomotif ke Malaysia. "Sayangnya, negara-negara tersebut tidak mau menerima produk buatan Proton," ujarnya.

Dengan masuknya berbagai jenis kendaraan buatan Korea, Jepang, dan China, ia khawatir, hal ini akan membuat konsumen Malaysia melupakan merek Proton. Apalagi, saat ini beredar sentimen negatif mengenai kualitas Proton yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan merek-merek impor.

Bahkan, pemerintah Malaysia menjual sebagian besar saham Proton pada DRB-HICOM. Perusahaan milik salah satu konglomerat Malaysia itu sudah bergerak dalam bidang perakitan mobil berbagai merek, mulai dari VW, Mercedes-Benz hingga Honda.

Sayangnya, di bawah kendali DRB-HICOM, Proton justru makin terpuruk. Mobil yang mereka buat banyak dikeluhkan konsumen.

Bahkan, Proton harus melakukan beberapa penarikan secara besar-besaran, akibat proses perancangan yang terburu-buru dan tidak menjalankan prosedur kontrol kualitas dengan baik dan benar.

Akibatnya, selama empat tahun belakangan ini, Proton harus menanggung kerugian sebesar 2,5 miliar Ringgit (kurang lebih Rp8,1 triliun). Dan menurut salah satu analis keuangan, kerugian Proton tiap bulannya mencapai Rp83,9 miliar.

Dilansir dari The Strait Times Singapore, Rabu 30 Maret 2016, langkah Mahathir untuk mendapat pinjaman dana dari pemerintah Malaysia sebesar 1,5 miliar Ringgit, atau setara dengan Rp4,8 triliun, juga kandas.

Perseteruan antara Mahathir dan Razak disebut-sebut sebagai penyebab Proton gagal mendapat pinjaman utang. Bahkan, Mahathir kini juga sudah tidak lagi menjabat sebagai penasihat senior Petronas.

Namun, pemerintah Malaysia tidak bisa menggeser posisi Mahathir di Proton, karena saham terbesar ada di tangan DRB-HICOM.

Menurut pengakuan Mahathir pada Paultan beberapa waktu lalu, kini Proton harus melakukan reformasi organisasi.

"Agar dapat bersaing, Proton akan mengubah strategi, terutama dalam hal pengembangan produk. Harga akan menjadi lebih mahal, namun ini konsekuensi yang harus diambil," ujarnya.

Tidak hanya itu saja, Proton juga berusaha mengambil hati konsumen dengan memberikan pelayanan yang maksimal, mulai dari potongan harga menggiurkan hingga kemudahan dalam melakukan perawatan kendaraan.

“Kami sadar, tidak mudah mengubah pandangan orang terhadap Proton. Meski kualitas sudah diperbaiki, namun pandangan negatif masih mengendap di benak konsumen,” jelas Mahathir.

Satu hal yang bisa diambil hikmahnya dari usaha Proton untuk menghadirkan mobil nasional, yaitu perlu adanya pemahaman dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan produsen.

Hal ini dikarenakan, pemerintah yang membuat regulasi mengenai kendaraan yang dijual di dalam negeri, termasuk kebijakan memberikan keringanan pajak dan lainnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya