Suap Reklamasi, Uang Siluman di Pusaran Bisnis Properti

Mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Sumber :
  • Taufik Rahadian

VIVA.co.id - Penahanan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, Ariesman Widjaja, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan publik. Ariesman dituding menyuap anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.

Jaksa KPK: Suap Reklamasi Tak Terkait Pencalonan Pilkada

Suap ini terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Tak main-main, KPK menyebut kasus ini sebagai ‘megakorupsi’, bagaimana sebuah korporasi yang notabene swasta mampu mempengaruhi kebijakan publik.

Selain Ariesman, penyidik KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni karyawan Agung Podomoro, Triananda Prihantoro, dan Mohamad Sanusi, yang juga ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta.

Eks Presdir Agung Podomoro Akui Beri Rp2 M kepada Sanusi

Pasca penahanan pucuk pimpinan, saham Agung Podomoro pun merosot 10 persen atau 30 poin ke level Rp270 dari posisi penutupan pada perdagangan akhir pekan kemarin di posisi Rp300 per saham.

Tak ingin dampaknya semakin buruk, perseroan segera mengeluarkan pernyataan siap bekerja sama mematuhi seluruh proses hukum terkait kasus suap ini. "Ariesman Widjaja sudah hadir di KPK untuk mengikuti semua proses hukum yang diperlukan," kata Corporate Secretary Agung Podomoro, Land F Justini Omas, lewat siaran persnya, Senin, 4 April 2016.
Dua Petinggi Agung Sedayu Tak Hadir di Pengadilan Tipikor
 
Saat ini, direksi perseroan dan tim kuasa hukum tengah mempelajari secara mendalam mengenai kasus suap terkait reklamasi pesisir pantai Jakarta. "Bila telah ada perkembangan lebih lanjut mengenai kasus ini, akan kami informasikan kemudian," katanya.
 
Reklamasi pantai utara Jakarta merupakan program pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Integrated Coastal Development), yang disahkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
 
Proyek reklamasi Pantura adalah proyek penimbunan laut di depan garis pantai Jakarta untuk menghasilkan lahan baru seluas 2.700 hektare. Di samping itu, akan dilakukan pula revitalisasi di atas pantai Jakarta yang lama pada areal seluas 2.500 hektare.
 
Reklamasi pun digadang-gadang hanya akan menguntungkan pengembang properti. Karena, di atas daratan 17 pulau buatan tersebut akan dibangun apartemen dan bangunan mewah. Di kawasan itu akan dibangun perumahan dan apartemen mewah, dan perkantoran.
 
Lantas, siapa saja pengembang yang terlibat pada megaproyek itu? Tercatat ada 10 pengembang yang mendapat bagian dalam pembangunan 17 pulau buatan, yang diberi nama A sampai Q itu. 
 
Yakni, PT Intiland Development, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah (anak usaha Agung Sedayu), PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah, PT Muara Wisesa Samudera (anak usaha Agung Podomoro), PT Kawasan Berikat Nusantara, dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
 
Dari sembilan pengembang, baru dua yang mendapat izin pelaksanaan.Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama sudah mengeluarkan izin pengembangan reklamasi Pulau G atau Pluit City kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Grup Agung Podomoro, pada 2014.
 
Sebelumnya, PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group, sudah mengantongi izin untuk reklamasi Pulau C, D, dan E pada 2012 di era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo. Mereka akan menggarap lima pulau buatan.
 
Merosotnya Saham Properti

Terkait polemik kasus suap reklamasi tersebut, harga saham PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan PT Intiland Development Tbk ikut anjlok.

Pada penutupan sesi pertama perdagangan Senin kemarin, saham Pembangunan Jaya Ancol merosot 2,07 persen, atau 40 poin ke level Rp1.890 per saham. Sementara itu, saham Intiland melemah 10 poin, atau 1,96 persen ke posisi Rp500 per saham.
 
Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo mengatakan, pelemahan saham kedua emiten tersebut juga terdorong sentimen negatif dari bursa regional, sehingga faktor adanya dugaaan korupsi dalam proyek pulau reklamasi hanya bagian dari sentimen negatif yang berhembus.
 
"Ya, ada terkena imbas juga dengan ditetapkannya Dirut Agung Podomoro sebagai tersangka oleh KPK," ujarnya, di Jakarta.
 
Tak hanya itu, Bos Agung Sedayu Grup Sugiyanto Kusuma alias Aguan juga ikut dicegah bepergian ke luar negeri. Hal tersebut setelah pihak KPK mengirimkan surat permintaan pencegahan ke Direktorat Jenderal lmigrasi di Kementerian Hukum dan HAM.
 
Pencegahan tersebut terkait penyidikan kasus dugaan suap pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKl Jakarta terkait Reklamasi Teluk Jakarta.
 
Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, membenarkan mengenai pencegahan tersebut. "Permohonan dikirimkan Jumat lalu," kata Yuyuk, dalam pesan singkat saat dikonfirmasi.
 
Pencegahan terhadap Aguan akan berlaku hingga enam bulan ke depan. Yuyuk tidak menampik jika pencegahan dilakukan lantaran penyidik membutuhkan keterangan Aguan dalam kasus dugaan suap Raperda Reklamasi. Aguan dinilai mengetahui mengenai kasus itu, yang telah menjerat Ariesman.
 
Dilema pengusaha
 
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Trangandha mengatakan, kasus dugaan suap reklamasi pantai yang merebak saat ini, dinilai tidak terlepas dari oknum yang sengaja memperkeruh dalam tarik menarik kepentingan.
 
"DPRD yang seharusnya menjadi partner (mitra) dalam membangun negara untuk lebih baik, menjadikan pengembang sebagai sapi perahan oleh politisi busuk untuk mencoba peluang sebagai proyek basah dana bancakan," ujar Ali, Senin, 4 April 2016.
 
Menurutnya, para pelaku bisnis menjadi dilema, saat dihadapkan pada kenyataan bahwa berbisnis di Indonesia tidak terlepas dari uang-uang siluman dan suap. 
 
Ali menjelaskan, kasus tersebut menjadi menarik, mengingat reklamasi pantai di Jakarta telah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Bahkan, belum ada ketentuan mengenai hal tersebut ketika dibangunnya Pantai Mutiara di sana.
 
Namun, ungkapnya, ketika para pengembang beramai-ramai ingin membangun reklamasi, mulailah dibuat ketentuan yang lebih mengikat untuk menghindari masalah lingkungan dan tata ruang ke depan. 
 
"Pasal yang dijadikan ajang korupsi sebenarnya tidak hanya pasal mengenai kewajiban pengembang semula 15 persen menjadi lima persen, namun juga terkait zonasi peruntukan yang harus disiapkan dalam tata ruang," paparnya.
 
Ali menilai, di luar ada tidaknya praktik korupsi, reklamasi pantai merupakan sebuah alternatif di tengah lahan yang terbatas di DKI Jakarta. "Reklamasi tidak harus menjadikan sebuah ketakutan, melainkan sebuah alternatif peluang seperti yang terjadi di Singapura, Hongkong, dan negara lain yang dapat meningkatkan nilai sebuah kota," tuturnya. 
 
Dia menambahkan, sangat naif bila menilai pembangunan reklamasi nantinya akan merusak, karena tentunya akan banyak hal perencanaan sebelum reklamasi dilakukan terkait kekuatan tanah, perencanaan saluran air laur, pembaruan ekosistem, dan lainnya.
 
Ali menduga, pembahasan yang dilakukan DPRD diperkirakan tidak terlalu bersifat teknis dan dilakukan tanpa disertai riset dan naskah ilmiah yang mendukung mengenai bagaimana dampak yang akan terjadi dalam sebuah reklamasi. 
 
Dia memaparkan, diskusi yang terjadi tidak menggambarkan hal-hal tersebut atau darimana angka 15 persen diusulkan menjadi lima persen, karena tidak ada hal yang mendasarinya. 
 
"Kedua belah pihak, tidak ada niatan untuk bagaimana mengatur tata ruang dengan baik, melainkan bagaimana mengatur tata uang lebih banyak," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya