Menunggu G20 Sikapi Panama Papers

Skandal Panama Papers
Sumber :
  • www.commondreams.org

VIVA.co.id – Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro dijadwalkan akan memimpin delegasi Indonesia untuk menghadiri rangkaian pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia (IMF-World Bank Spring Meetings) di Washington DC, Amerika  (AS) pada 12 sampai 18 April 2016.

Antara Presidensi Indonesia, Perang Rusia-Ukraina dan Geopolitik G20

Kehadiran Menkeu Bambang sebagai chair development committe (CDC) sendiri merupakan kali pertama dalam sejarah posisi tersebut dijabat oleh warga negara Indonesia, yang dipilih berdasarkan kapasitas individual secara selektif, dari banyak calon kandidat dari negara-negara anggota.
 
Selain memimpin pertemuan DC, Menkeu juga dijadwalkan menghadiri pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20. Pertemuan G-20 sendiri menjadi momentum penting pembahasan berbagai isu perekonomian global, khusus perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
 
Agenda pertemuan G-20 yang juga sangat penting, adalah mengenai pembahasan kerja sama memerangi kejahatan perpajakan antarnegara. Dalam hal ini, pada menteri akan membahas kemajuan implementasi base erosion and profit shifting (BEPS), serta pertukaran informasi pajak antar negara secara otomatis atau automatic exchange of tax information (AEOI).
 
Kedua inisiatif G-20 tersebut sangat penting dalam memerangi upaya penggelapan dan penghindaran pajak oleh banyak perusahaan multinasional dan individual yang memanfaatkan tax haven (negara suaka pajak) dan celah hukum di instrumen keuangan oleh pusat keuangan global.

Tax haven menjadi isu utama dunia sejak terbongkarnya skandal Panama Papers yang mengungkapkan data klien firma hukum Mossack Fonseca asal Panama, yang membantu pendirian perusahaan perekayasa bebas pajak (offshore). Dokumen itu membeberkan nama-nama perusahaan, tokoh politik dan masyarakat dunia yang terlibat dalam penggelapan pajak di tax haven.  

Urgensi Membangun Wadah Literasi di Era Digital

Bambang mengatakan, dalam pertemuan dengan para menteri keuangan, gubernur bank sentral, serta perwakilan negara G-20 tersebut akan membahas berbagai isu perekonomian. Salah satunya adalah terdaftarnya beberapa nama perusahaan dalam Panama Papers. Selain itu juga akan dibahas terkait kerja sama dalam memerangi kejahatan perpajakan antarnegara (cross-border tax crimes).
 
Indonesia sendiri memiliki kepentingan sangat besar dalam kerja sama perpajakan global, mengingat program pemerintah saat ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Ada inisiatif negara-negara perwakilan G-20 untuk memerangi upaya penggelapan pajak di tax haven.
 
"Inisiatif G-20 tersebut sangat penting dalam memerangi upaya penggelapan dan penghindaran  pajak oleh perusahaan multinasional dan individual memanfaatkan tax haven. Panama Papers akan berpengaruh juga di pembahasan," kata Bambang di Jakarta, Senin 11 April 2016.

Belajar dari Negeri Paman Sam

KTT G20 Sukses: Indonesia di Puncak Dunia?

Dalam kesempatan spring meetings tersebut, Menkeu juga akan melakukan sejumlah pertemuan bilateral, termasuk pertemuan dengan menteri keuangan AS. Pertemuan dengan Menkeu AS akan membicarakan kelanjutan dukungan dan kerja sama program peningkatan tata kelola dan administrasi perpajakan di Indonesia, khususnya kesempatan mempelajari sistem administrasi perpajakan di AS.

Indonesia akan menjalin kerja sama dengan lembaga perpajakan AS, Internal Revenue Service (IRS). Kerja sama meliputi program tata kelola dan administrasi perpajakan di Indonesia. Misalnya, mempelajari sistem administrasi perpajakan di AS

"Intinya kita belajar. Pertama kita pelajari bagaimana otoritas yang mereka miliki. Kita harus tahu otoritas yang mereka miliki. Lalu bagaimana menangani penghindaran pajak warga negara di negara lain," ucapnya.

Sementara Prancis akan mendorong G-20 memasukkan negara-negara tax haven dalam daftar hitam terkait dengan bocornya Panama Papers.

"Negara dalam daftar hitam harus tunduk untuk penanggulangan dikoordinasi oleh negara-negara yang berbeda," kata Menteri Keuangan Prancis, Michael Sapin, dilansir dari Reuters, Selasa 12 April 2016.  

Sebanyak 96 negara telah berkomitmen untuk AEOI dengan pemerintahan negara-negara lain dalam dua tahun ke depan. Beberapa perusahaan offshore, seperti British Virgin Islands, yang merupakan tax haven, akan mulai mengadopsi AEOI pada awal tahun depan.

Panama merupakan negara satu-satunya yang tidak berkomitmen melakukan AEOI dengan negara-negara lain. Prancis juga akan mendesak Uni Eropa memberikan sanksi kepada orang-orang yang membantu memfasilitasi penghindaran pajak.  

Aliran uang haram

Program Manager International NGO for Indonesia Development (INFID), Khoirun Nikmah mengatakan, Panama Papers telah menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global.

“Sistem ekonomi harus segera dilakukan penataan ulang. Indonesia perlu mempelopori perubahan tata kelola keuangan global terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan," katanya.

Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo dikatakan dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut. Selain itu, Jokowi dapat mengusulkan pembentukan badan perpajakan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Merujuk Global Financial Integrity (GFI) 2015, dilaporkan jika setiap tahun negara berkembang kehilangan sebanyak US$1 triliun akibat korupsi, penggelapan pajak dan pencucian uang. Potensi pajak yang menguap dari Indonesia, karena praktik pelarian uang haram itu, diprediksi oleh GFI jumlahnya hampir Rp200 triliun tiap tahun .

“Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayaan keuangan keuangan yang rumit. Selain itu, rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” ujar Sekretaris Jendral Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko.

Koalisi Publish What You Pay (PWYP) menyebutkan, Indonesia berada pada posisi ketujuh negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang tahun 2003-2012 Indonesia tercacat mengalirkan dana sebesar US$187.844 juta atau setara Rp1.699 triliun atau rata-rata per tahun mencapai US$18,78 miliar atau setara Rp167 triliun.

"Dengan metode perhitungan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran uang haram di Indonesia di tahun 2014 sebesar Rp2.277 triliun atau setara dengan 11,7 persen dari total APBN-P Tahun 2014. Khusus di sektor pertambangan nilai aliran uang haram diperkirakan mencapai Rp23,89 triliun, di mana Rp21,33 triliun berasal dari transaksi perdagangan ilegal dan Rp2,56 triliun berasal dari aliran uang panas," ungkap Aryanto Nugroho, Program Manager PWYP Indonesia.

Kata dia, rendahnya rasio pajak sektor pertambangan yang hanya mencapai 9,4 persen mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor pertambangan.

Perluasan sanksi

Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, mengatakan dalam pertemuan G-20 Pemerintah Indonesia harus menekankan pembahasan AEOI dan perluasan sanksi bagi negara-negara yang tidak patuh pada standar yang ditetapkan. Ke depannya para wajib pajak ketika melakukan transaksi dalam skema bisnis melalui tax haven, seharusnya diungkap dan harus ada kewajiban transparansi transaksi.  

"Mereka (G-20) harus bisa bentuk sanksi apa yang harus dilakukan agar perbankan bisa patuh," katanya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 12 April 2016.

Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Erwan Agus Purwanto mengungkapkan, bocornya dokumen keterlibatan orang-orang Indonesia dalam penggelapan pajak yang diungkap oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menjadi tamparan keras bagi pemerintah.

Menurut dia, kaburnya dana asing para pengusaha maupun perusahaan di dalam negeri ke negara-negara suaka pajak menjadi salah satu indikasi bahwa sistem perpajakan Indonesia masih belum mumpuni.

“Ini adalah wake up call (alarm) bagi pemerintah agar bisa membuat kebijakan yang lebih cerdas,” ujar Erwan.

Dia menjelaskan, seharusnya dana yang selama ini terparkir di negara tax haven mampu dioptimalisasi untuk kegiatan produktif yang memiliki implikasi jangka panjang dalam upaya mendorong perekonomian nasional secara merata.

“Jika perpajakan nasional bisa dikelola dengan baik, akan memberikan dampak distributif dan jaminan sosial bagi masyarakat.” katanya.

Apalagi sampai saat ini, sistem perpajakan dalam negeri masih kalah bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Karena itu, perlu langkah konkrit pemerintah untuk memperbaiki hal ini.

“Ini era kompetisi. Kita harus bersaing dengan negara lain, yang sudah menerapkan aturan perpajakan dengan baik,” ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya