12 Jam Untuk Ahok

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Taufik Rahadian

VIVA.co.id – Ratusan orang yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan Jakarta menggelar unjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, 12 April 2016.  Mereka menuntut Komisi Antirasuah untuk mengusut tuntas sejumlah kasus, di antaranya perkara Rumah Sakit (RS) Sumber Waras.

Diragukan, Politikus Demokrat Sebut Alasan Percaya ke KPK

Pada saat bersamaan, KPK tengah memeriksa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di dalam gedung.  Ahok, sapaan Basuki, diperiksa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras itu.

Dalam pemeriksaan, tim penyelidik mengonfrontasi keterangan DKI-1, sebutan untuk gubernur Jakarta, dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait pembelian lahan RS Sumber Waras. "Penyelidikan dilakukan untuk mendalaminya (hasil audit investigasi)," ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 12 April 2016.

Ketua BPK Yakini Ada Korupsi di Pembelian Lahan Sumber Waras

KPK mendalami semua aspek dalam perkara ini, termasuk soal nilai jual objek pajak (NJOP), dugaan terjadi kesalahan fatal hingga kerugian negara. “Itu semua yang sedang kami dalami,” ujar Agus.

Pemeriksaan Ahok berlangsung sejak pukul 09.30 WIB hingga 21.30 WIB. Selama sekitar 12 jam itu, dia dihujani 50 pertanyaan beragam. Usai diperiksa, Ahok  memastikan proses pembelian lahan RS Sumber Waras dilakukan dengan mekanisme yang benar dan transparan. Lahan Yayasan Sumber Waras yang dibeli pun bukan lahan sengketa.

Bahas Kasus Sumber Waras, Pimpinan KPK Akan ke BPK

Dalam hasil audit BPK, Pemprov DKI diminta membatalkan transaksi pembelian dengan cara menjual kembali lahan. Namun, Ahok mengungkapkan, penjualan kembali tidak mungkin dilakukan. Yayasan Sumber Waras dinilainya tidak akan mau membeli balik berdasarkan NJOP yang berlaku pada 2016.

Jika berkenan melakukan pembelian ulang pun, yayasan dipastikan lebih memilih untuk membeli dengan NJOP tahun 2014, ketika Pemprov DKI membeli lahan itu. "Kalau pakai harga lama, akan ada kerugian negara," ujar Ahok.

Atas dasar itu, Ahok menuduh BPK telah berlaku tendensius dalam hasil audit investigasi. Sebab, BPK menyarankan Pemprov DKI membatalkan transaksi pembelian lahan yang jelas tidak bisa dilakukan. “Dia (BPK) suruh kita batalkan transaksi pembelian (sebagian lahan) rumah sakit. Mana bisa?" ujar Ahok.

Audit yang dilakukan BPK, menurut Ahok, tak sesuai yang seharusnya. Dia pun sempat menuding BPK ngaco.

Tuduhan Ahok ditanggapi Ketua BPK Harry Azhar Aziz. Dia menantang balik Ahok untuk membuktikan semua ucapannya di meja hijau. "Ngomong di pengadilan, ajukan bukti-bukti bahwa BPK itu ngaco. Jadi jangan kita bertempur di koran dong," kata Harry.

Selanjutnya…Kerugian Negara…

Adalah BPK yang pertama menemukan kasus dugaan penyimpangan itu. Mereka menemukan hal tersebut setelah mengaudit laporan keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun 2014. Hasil audit itu dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. 

Mereka mendapati dugaan penyimpangan dalam pembelian 3,64 hektare lahan rumah sakit itu oleh Pemprov DKI Jakarta. Pembelian lahan tersebut memakai anggaran senilai Rp755,6 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) DKI tahun 2014.

Perhitungan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah yang digunakan pemerintah daerah, yakni Rp20,7 juta per meter persegi, dianggap tidak tepat. BPK pun menyatakan keuangan daerah dirugikan Rp191,3 miliar atas hal tersebut.

Temuan itu lantas ditindaklanjuti DPRD DKI Jakarta. Mereka membentuk panitia khusus (Pansus) yang bertugas melakukan penyelidikan secara independen. Hasilnya, Dewan menyatakan Pemprov DKI bersalah. Pansus lalu menyerahkan hasil penyelidikan ke KPK.

Pengaduan serupa dilayangkan seorang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Budget Metropolitan Watch (BMW) bernama Amir Hamzah. Pada 20 Agustus 2015, dia melaporkan kasus dugaan korupsi Ahok terkait pembelian lahan tersebut ke KPK.

KPK menindaklanjuti laporan dengan meminta BPK melakukan audit investigasi. BPK lantas memanggil sejumlah pejabat Pemprov DKI, termasuk Ahok, untuk dimintai keterangan. Mantan anggota DPR itu pun diperiksa pada 23 November 2015.

Berdasarkan audit investigasi itu,  BPK menemukan ada dugaan penyimpangan dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras. "Terdapat enam penyimpangan, (antara lain) perencanaan, penganggaran, pembentukan tim pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, pembentukan harga dan penyerahan hasil," kata anggota III BPK RI, Eddy Mulyadi Supardi, 7 Desember 2015.

KPK menjadikan temuan tersebut sebagai salah satu bahan untuk menyelidiki kasus ini. Namun, hasil audit itu saja tak cukup. Komisi Antikorupsi masih harus mengonfirmasi temuan tersebut kepada sejumlah pihak. Untuk itu, KPK pun memeriksa lebih dari 30 orang terkait kasus ini. Mereka yang diperiksa tak hanya dari pihak Pemprov DKI tapi juga pihak swasta.

Meski telah memeriksa sejumlah orang, KPK belum menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Sebab, untuk ke tahap penyidikan masih perlu proses lanjutan. Di antaranya adalah menelisik apakah ada niat jahat di dalamnya. “Bukan semata-mata pelanggaran prosedur, kalau tidak ada niat untuk melakukan tindakan jahat akan susah juga," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 29 Maret 2016.

Selanjutnya...Praperadilan KPK…

*Dalam menangani perkara RS Sumber Waras, KPK sempat dibawa ke meja hijau.  Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan praperadilan melawan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan praperadilan dilayangkan lantaran KPK dinilai tidak segera memproses kasus itu.

Namun, permohonan praperadilan itu ditolak. Dalam pertimbangannya, hakim tunggal Tursina Aftanti berpendapat bahwa permohonan pemohon harus ditolak. Hal itu karena  KPK masih melakukan proses penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan lahan RS Sumber Waras. Penyelidikan sesuai dengan Surat Perintah Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 28 September 2015.

"Menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Tursina saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 30 Maret 2016.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya