Ambisi Alibaba di Asia Tenggara

Alibaba.
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id – Jagat e-commerce Indonesia awal pekan ini dikejutkan dengan kabar akuisisi Lazada oleh Alibaba, perusahaan e-commerce asal China. Perusahaan teknologi Negeri Tirai Bambu itu mengakuisisi Lazada, raksasa e-commerce di pasar Asia Tenggara dengan nilai US$1 miliar atau lebih dari Rp13 triliun.

Gudang Penyimpanan Paket di Cengkareng Kebakaran, Lazada Klaim Pengiriman Tak Terganggu

Dalam pengumumannya, kesepakatan akuisisi itu meliputi Alibaba menjadi pemegang saham mayoritas Lazada dengan membeli sekitar US$500 juta saham Lazada yang baru dikeluarkan. Selain itu, raksasa online asal China tersebut akan membeli beberapa saham dari pemegang saham Lazada yang sudah ada saat ini.

Alibaba melihat posisi Lazada sangat seksi dan menggiurkan. Dari sisi cakupan pasar saja, Lazada yang didirikan oleh perusahaan asal Jerman, Rocket Internet itu sudah menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Jika ditotal pasar enam negara tersebut punya jumlah populasi 560 juta penduduk dan diperkirakan pengguna internetnya mencapai 200 juta penduduk.

'Live Shopping' Tetap Jadi Primadona

Menurut perkiraan perusahaan konsultan Forst & Sullivan, pasar Lazada di Asia Tenggara telah hadir di Singapura, Malaysia, Vietnam, Indonesia, dan Thailand dengan valuasi mencapai US$1,5 miliar pada 2015.

Menyambut tercapainya aksi korporasi itu, Alibaba memandang investasi perusahaan ke Lazada akan membuka jalan perusahaan China itu untuk bisa merajai bisnis penjualan online di kawasan Asia Tenggara.

Lazada PHK Karyawan, Pihak Perusahaan Buka Suara

Dengan memegang mayoritas saham Lazada, maka Alibaba bisa dengan leluasa masuk ke pasar Asia Tenggara. Menurut data dari Seekingalpha.com, selama ini, Alibaba hanya bisa menembus dua pasar saja yaitu di Singapura dan Malaysia, melalui produknya Taobao dan AliExpress.

Pada empat negara lain, kehadiran Alibaba bisa dibilang tak berarti. Pelanggan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam lebih suka untuk belanja online pada platform Amazon, eBay dibanding platform Alibaba.

"Globalisasi adalah strategi penting bagi pertumbuhan Alibaba Group hari ini dan menuju masa depan," kata Michael Evans, Presiden Alibaba dikutip dari Business Wire, Selasa 12 April 2016.

Evans mengatakan, investasi ini akan mendukung rencana ekspansi Alibaba di pasar Asia Tenggara. "Dengan investasi di Lazada, Alibaba akan mengumpulkan akses ke platform besar dan menumbuhkan basis pelanggan di luar China," tuturnya.

Langkah akuisisi itu dikatakan sebagai pembuktian perusahaan untuk memberikan fondasi bagi pertumbuhan e-commerce di kawasan yang nantinya akan mendongkrak secara global di masa depan.

Sementara itu, bagi Lazada, menyambut akuisisi itu dengan sangat positif. Chief Executive Officer (CEO) Lazada, Max Bittner mengatakan, kesepakatan kedua belah pihak, terutama untuk meningkatkan bisnis di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Bittner, Asia Tenggara merupakan pasar pelanggan mobile yang cukup beragam dengan sejumlah tantangan dalam pengembangan e-commerce di baliknya.

"Kami sangat gembira bergabung dengan Alibaba. Dengan akuisisi ini akan mempermudah kami dalam mencapai tujuan, yaitu dengan menjangkau 560 juta konsumen dengan tawaran berbagai produk. Dengan Alibaba, memungkinkan kami untuk cepat meningkatkan layanan dan memberikan pengalaman belanja online yang lebih mudah lagi," ujarnya dalam pernyataan di laman Business Wire.

Sambutan senada juga disampaikan oleh perusahaan yang melahirkan Lazada, Rocket Internet. Perusahaan pendiri yang berbasis di Jerman itu menyambut baik aksi korporasi yang melibatkan Alibaba. Chief Executive Officer (CEO) Rocket Internet, Oliver Samwer, mengatakan, transaksi senilai US$1 miliar itu menjadi penting bagi kedua perusahaan.

"Transaksi ini menjadi kunci tonggak penting Lazada, sebab transaksi ini mempertegas posisi Lazada sebagai platform online terkemuka di Asia Tenggara," kata Samwer.

Dalam komentarnya, bos Rocket Internet itu memandang posisi Alibaba yang menjadi pemegang saham utama baru Lazada bakal makin menguatkan perusahaan asal China itu di Asia Tenggara. "Ini akan menguatkan posisi dan memberikan basis signifikan pertumbuhan masa depan oleh posisi kuat Alibaba di kawasan ini," ujarnya.

Menyusul kesepakatan akuisisi itu, Rocket Internet akan menjual sahamnya 9,1 persen di Lazada senilai US$137 juta, dan nantinya tinggal memiliki saham 8,8 persen.

Pemegang saham Lazada yang lain, yaitu operator supermarket besar Inggris, Tesco Inc yang akan menjual sahamnya 8,6 persen dengan nilai US$129 juta, dan menjadikan saham Tesco tinggal 8,3 persen di Lazada. Selain itu, Rocket and Investment AB Kinnevik akan menjual sahamnya sebesar 3,8 persen dengan nilai US$57 juta.  

Kelas menengah Asia Tenggara

Bicara soal potensi Lazada, untuk pasar Asia Tenggara terlihat pertumbuhan yang menggiurkan. Faktanya, Lazada mengumumkan Gross Merchandise Value (GMV), atau total transaksi di situsnya mencapai US$1,3 miliar untuk per tahunnya.

Total transaksi tersebut tersebar di enam cabangnya di Indonesia, di antaranya Medan, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Kemudian, juga menyebar di Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Kontribusi mobile terhadap GMV Lazada mencapai 60 persen pada akhir 2015, seiring dengan banyaknya konsumen yang berbelanja lewat smartphone. Lazada mengaku aplikasinya juga telah diunduh hingga 30 juta kali pada periode yang sama.

Jika dilihat dari enam bulan pertama pada tahun lalu saja, menurut laporan Rocket Internet yang dikutip Tech In Asia, sudah terlihat bagaimana pertumbuhan Lazada. Tercatat pada semester pertama itu, pembeli telah menghabiskan US$433 juta. Angka tersebut empat kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, dikutip dari Tech Crunch, pada sembilan bulan pertama 2015, data menunjukkan Lazada telah mencetak nilai penjualan senilai US$191 juta. Saat ini, Lazada memiliki 5,7 pengguna aktif. Angka pengguna itu juga empat kali lipat dari 1,4 juta pengguna aktif pada pertengahan 2014.
 
Tak cukup di situ saja. Di masa depan, pasar Asia Tenggara juga potensial bagi bisnis online. Memang, saat ini kelas menengah di kawasan ini masih terbilang kecil. Tapi, menurut data Nielsen, diperkirakan ada 190 juta orang kelas menengah di kawasan tersebut.

Angka kelas menengah di Asia Tenggara kemungkinan akan tumbuh lagi pada 2020, yang diproyeksikan tumbuh menjadi 400 juta orang.

Alibaba penyelamat Lazada

Meski pertumbuhan dan nilai penjualan Lazada menunjukkan perkembangan, Tech Crunch menuliskan, di sisi lain perusahaan yang dikenal sebagai Amazon-nya Asia Tenggara itu didera kerugian operasi mencapai US$233 juta pada periode sembilan bulan pertama 2015.

Kerugian itu lantaran biaya habis untuk program akuisisi pengguna, insentif yang dibayarkan kepada para merchant (pedagang) dan biaya pemasaran umum. Kondisi itu mengakibatkan pada penghujung tahun lalu dilaporkan Lazada telah mengalami problem krisis finansial perusahaan.

Laman Tech Crunch mengatakan, berdasarkan informasi dari mantan dan juga karyawan Rocket Internet di Asia Tenggara, Lazada sebenarnya sudah mendapatkan suntikan dana US$700 juta dari investor.

Tapi uang tunai tersebut habis untuk dikelola guna pengembangan pasar di enam negara di kawasan tersebut. Namun, siasat itu akhirnya tak sesuai dengan harapan pada akhir 2015 bisa menutup kerugian.

Sumber yang dikutip Tech Crunch mengatakan, penghujung 2015, eksekutif Lazada panik karena perusahaan telah kehabisan uang, dan keuangan perusahaan tak sehat.

Melihat kondisi yang kian genting tersebut, Rocket Internet pun langsung bergerak menyelamatkan perusahaan. Bersama dengan Kinnevick, investor Lazada asal Swedia, Rocket Internet mencari peluang menyelamatkan Lazada.

Pencarian itu akhirnya berlabuh pada Alibaba. Pada akhir 2015, perusahaan Tiongkok itu menyatakan minat serius dan menandatangani tahapan akuisisi pada Januari 2016.

Saat itu, ada dua opsi yang dilakukan untuk akuisisi, yaitu akuisisi penuh (full out) atau investasi mayoritas strategis. Alibaba akhirnya memilih opsi terakhir setelah melalui proses beberapa bulan. Alibaba memilih opsi kedua, meskipun sebenarnya perusahaan yang didirikan Jack Ma itu ingin punya ambisi jangka panjang dengan Lazada.

Dampak bagi Indonesia

Aksi korporasi yang dilakukan Alibaba dan Lazada itu mengundang perhatian dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Ketua Mastel, Kristiono mengatakan, pembelian saham Lazada oleh Alibaba akan memengaruhi secara signifikan terhadap industri e-commerce, termasuk di Indonesia.

Latar belakang Alibaba sebagai raja e-commerce, terbukti telah menguasai pasar Tiongkok. Dengan mengakuisisi Lazada, maka akan memperkuat kekuasaan Alibaba di luar Tiongkok.

"Efeknya pasti besar sekali, karena kita tahu Alibaba itu e-commerce besar di dunia. Akuisisi Lazada sebagai pemimpin marketplace di Asia Tenggara akan memberikan impact. Bagi Alibaba, ini akan jadi footprint di market Asia Tenggara, di mana mereka telah menguasai Tiongkok," ujar Kristiono kepada VIVA.co.id ditemui di Gedung WTC, Jakarta, Rabu, 13 April 2016.

Dengan menguasai kepemilikan Lazada, Alibaba akan dengan mudahnya melakukan pemasaran atau pengiriman barangnya di kawasan ASEAN, termasuk di Tanah Air.

Mantan dirut PT Telekomunikasi Indonesia Tbk itu menilai, pembelian Lazada oleh Alibaba, karena Asia Tenggara tak dipungkiri sudah menjadi primadona bagi berbagai perusahaan global. Sebab, cakupan pasar kawasan ini begitu besar dan peluang untuk tumbuhnya sangat berpotensi terealisasi.

"Saya rasa ASEAN salah satu market besar, jumlah penduduknya lebih dari 500 juta orang dan netizen-nya sekitar 200-300 juta orang, itu market besar. Meski transaksi online masih kecil dibandingkan di Tiongkok dan Amerika Serikat. Tapi, diperkirakan lima tahun mendatang jumlah transaksinya tidak akan beda jauh. Makanya, ada yang mengakuisisi perusahaan regional, karena market-nya besar," tutur Kristiono.

Namun di sisi lain, kekuatan Alibaba akan sulit ditandingi seperti pemain lokal dari Indonesia. Dikatakan Kristiono, itu akan menjadi tantangan terbesar Indonesia untuk terus menumbuhkan industri e-commerce beserta pemain asli lokalnya untuk tetap bersaing dengan pemain e-commerce global.

"E-Commerce itu berkaitan dengan Small Medium Enterprise (SME). Jadi, persoalan kita adanya pemerintah memperhatikan SME, karena mereka masih bermasalah soal manajemen, produk, keuangan, akses market, dan lainnya. Kalau tidak, e-commerce tumbuh dengan investasi asing, barang asing, itu tidak akan memberikan apa-apa untuk Indonesia. Indonesia akan dijadikan pasar dan kita sebagai pembelinya," ucapnya.

Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Indotelko Forum, Doni Darwin meminta pemerintah mencermati dampak dari akuisisi tersebut.

Pemerintah Indonesia pun diminta berhati-hati dan harus mulai berpikir ulang terkait wacana Daftar Negatif Investasi (DNI) sebesar 100 persen bagi e-commerce. Dia mengatakan, munculnya akuisisi itu mencerminkan e-commerce di Indonesia tak punya isu terkait pendanaan. Akuisisi itu, menurutnya, membuktikan pemain asing malah berlomba untuk masuk ke Indonesia.

"Lazada dibeli, pasti karena faktor eksistensinya di Indonesia. Data pernah menyebutkan, 76 persen pendapatan Lazada secara global, berasal dari pasar Indonesia. Indonesia adalah pasar masa depan, jadi kalau DNI dibuka 100 persen, negara ini akan dapat apa?" ujar Doni, kepada VIVA.co.id, Rabu 13 April 2016.

Doni mengatakan, hal tersebut berdasarkan akuisisi serupa yang pernah dilakukan e-commerce lain. Sebut saja, ketika Tokobagus diakuisisi OLX. Karena itu, jika DNI dibuka semua, Indonesia tanpa sadar akan menjadi jajahan digital. Indonesia, ditegaskan Doni, tidak butuh dana karena hal itu akan datang dengan sendiri.

"Yang susah itu adalah do business di Indonesia, makanya pemain kayak Alibaba itu beli Lazada. Karena mereka tidak perlu membangun ekosistem lagi untuk masuk ke Indonesia. Pemerintah harus permudah do business, bukan buka keran sampai go naked di bisnis digital," kata dia.

Mempermudah proses berbisnis, dijelaskan Doni, di antaranya seperti mempermudah urusan perpajakan, pendirian usaha, dan lainnya. "Ingat, esensi DNI itu soal keberpihakan dan perlindungan investor lokal, bukan masalah dana saja," katanya.

Selain itu, kata dia, sudah saatnya pemerintah membuat aturan merger akuisisi di e-commerce. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi konsumen dan merchant (pedagang), termasuk melindungi data privasi.

"Waktu Berniaga dan Tokobagus akuisisi, mereka gabung database pengguna," tuturnya.

Akuisisi Lazada oleh Alibaba juga patut diwaspadai, sebab aksi korporasi seperti itu bisa juga melanda entitas lokal, misalnya PT Pos, TIKI atau JNE. Sebab, menurut Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Daniel Tumiwa, jika sudah bicara akuisisi tidak pandang bulu entitas perusahaannya.

"Aksi korporasi itu kan bagaimana pemilik perusahaan. Apakah nanti beli PT Pos, TIKI, atau JNE itu gimana mereka yang mau beli, kita tidak bisa tahan," ucap Daniel yang juga menjabat CEO OLX Indonesia.

Usai mengakuisisi Lazada yang merupakan pemain besar di pasar Indonesia, tak lantas membuatnya bisa mulus. Sebab, kehadiran Alibaba melalui Lazada itu harus bersaing kuat dengan pemain e-commere lokal, yaitu Tokopedia dan MatahariMall.

Tokopedia belum lama ini telah mendapatkan suntikan dana segar US$147 juta. Sebelumnya pada November 2014, Tokopedia telah mendapat suntikan dana US$100 juta dari Softbank Internet and Media dan Sequoia Capital. Sementara itu, MatahariMall juga patut diwaspadai karena disokong oleh kelompok orang kaya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya