Menanti Gelontoran Investasi dari Eropa

Presiden Joko Widodo disambut Dubes RI untuk Jerman, Fauzi Bowo, saat tiba di Berlin pada Minggu malam 17 April 2016.
Sumber :
  • Biro Pers Istana

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo telah memulai lawatan kenegaraan ke beberapa negara di Eropa, yakni Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda pada 17-23 April 2016. 

Jokowi Diarak Mobil Hias di Palembang

Kunjungan Presiden kali ini bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi dari benua Eropa. Jokowi mengawali kunjungannya di Berlin, Jerman, Senin, 18 April 2016.

Agenda pertama Jokowi dan rombongan adalah pertemuan business to business dengan pemuka bisnis Jerman. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, juga menyampaikan peluang investasi di hadapan 200 pengusaha Jerman.
  
Dia menghadiri panel bersama Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani, chief executive officer (CEO) Astra International, dan chairman Merck. 

Jokowi: Reformasi Tak Boleh Berhenti

“Terbagi dalam dua sesi, sesi pertama dengan tiga perusahaan di sektor industri galangan kapal, logam, pertanian. Kemudian di sesi kedua dengan sektor perbankan, otomotif, dan telekomunikasi,” katanya dikutip dari keterangan tertulis.

Franky menjelaskan, industri transportasi masih mendominasi investasi dari Jerman dengan menyumbang 56 persen dari total investasi yang masuk ke Indonesia dalam periode 2010-2015.

Data Berbeda-beda, Jokowi Bingung Bikin Kebijakan

“Selain industri transportasi, pemerintah membidik enam sektor investasi dari Jerman, yakni industri otomotif dan komponennya, sektor energi dan energi terbarukan, industri kimia, industri logistik dan transportasi serta industri logam,” ujar Franky.

Berdasarkan data BKPM, komitmen investasi dari negara-negara Eropa pada Januari 2016 mencapai Rp6,53 triliun, naik hampir 10 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp670 miliar. 

Kenaikan komitmen investasi Eropa tersebut melanjutkan tren positif pada 2015. Komitmen investasi Eropa sepanjang 2015 naik 16 persen menjadi Rp37,3 triliun, dibandingkan 2014 sebesar Rp32,2 triliun.  
 
Adapun, realisasi investasi perusahaan Jerman di Indonesia, untuk periode tahun 2010-2015 tercatat 547 proyek investasi dari US$552 juta (setara dengan Rp6,9 triliun dengan kurs Rp12.500), dan menyerap kurang lebih 38.382 tenaga kerja Indonesia.

Unggul di bidang teknologi

Sementara itu, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menjelaskan ajakan kepada investor Jerman untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menjadi sebuah keharusan. 

Apalagi, beberapa industri di negara kawasan Eropa Barat tersebut  sangat unggul di bidang teknologi. 

Indonesia, kata dia, sangat membutuhkan kontribusi dari sektor teknologi guna menopang perkembangan industri dalam negeri yang sampai saat ini masih belum memiliki fasilitas teknologi yang mumpuni, terutama di sektor manufaktur.

“Saya kira jika bisa diimplementasikan, bisa jauh mendorong lagi industri manufaktur dan industri obat-obatan yang saat ini memang masih berkembang,” ujar Josua, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Senin, 18 April 2016.

Di tengah kondisi perekonomian dunia yang masih penuh dengan ketidakpastian, Indonesia berpotensi terpengaruh berbagai sentimen negatif dari ekonomi global. 

Karena itu, masuknya aliran modal investasi ke dalam negeri diharapkan mampu mengompensasi hal itu.

“Jadi bagaimana kesempatan kerja sama ini bisa dimanfaatkan untuk melengkapi kekurangan yang kita miliki, guna memperkuat daya saing,” katanya.

Langkah pemerintah yang merevisi daftar negatif investasi (DNI) beberapa waktu lalu pun dianggap mampu menarik minat investor menanamkan modalnya di dalam negeri. 

“Artinya investor sudah akan tahu sektor mana saja yang mereka bisa masuki. Arahan pun menjadi sangat jelas,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, sebelumnya telah membuka kesempatan kepada investor Jerman untuk menanamkan modalnya di bidang usaha farmasi, salah satunya adalah sektor obat-obatan.

Tawaran ini usai Darmin menerima kunjungan dari Menteri Pangan dan Pertanian Jerman, Christian Schmidt, beberapa waktu yang lalu.

“Kami sudah membuka 100 persen investasi untuk asing. Jadi ini peluang kita memperkuat industri obat-obatan Tanah Air,” kata Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman.

Peluang ini, akan dibicarakan kepada Kanselir Jerman dan para investor Jerman yang bergerak di sektor farmasi. Meski belum ada kepastian berapa nilai investasi yang siap digelontorkan, nilai perdagangan antara Indonesia dan Jerman pun selama ini berada di kisaran US$6-7 miliar.

Angka tersebut disumbang dari beberapa merek terkenal di negara tersebut yang memang sudah menghiasi pasar Tanah Air. 

Artinya, Jerman bukanlah kali pertama mencoba untuk menjajakan produknya di Indonesia. Potensi besar pun sangat dimungkinkan jika Jerman tertarik menanamkan modalnya di dalam negeri.

MoU di depan Jokowi

Sementara itu, Kadin pun menargetkan terealisasinya sejumlah penandatanganan nota kesepahaman antara perusahaan-perusahaan Eropa dan Indonesia.

Rosan mengatakan, penandatanganan memorandum of understanding (MoU) akan dilakukan di hadapan Presiden merupakan langkah nyata dalam meningkatkan ekonomi Indonesia. Dan terus berupaya meningkatkan kerja sama dengan investor asing.

"Ini merupakan kontribusi riil bagi perkembangan perekonomian nasional," ujar Rosan, Senin, 18 April 2016.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani, menjelaskan, dalam kunjungan tersebut, Kadin mengajak sejumlah delegasi bisnis dari berbagai sektor, baik energi, industri, agrobisnis, telekomunikasi, maritim, dan berbagai sektor lainnya. 

Dengan harapan, dapat bertemu pengusaha-pengusaha lokal di negara yang dikunjungi, dan melakukan kerja sama bisnis. 

"Ini merupakan ajang yang sangat penting dalam memperbesar atau pun membuka potensi investasi baru di Indonesia, sekaligus mempercepat tercapainya kerja sama dagang di bawah kerangka CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) dengan Uni Eropa, yang ditargetkan rampung dalam dua tahun ke depan," ujar Shinta.

Berdasarkan data Kadin pada hari pertama kunjungan di Berlin-Jerman, ditargetkan akan ada penandatanganan nota kesepahaman business to business antara pelaku usaha Indonesia dan Jerman dengan total nilai investasi US$875 juta. 

Dari nilai tersebut US$800 juta merupakan penandatanganan nota kesepahaman antara Ferrostaal Cronimet dan Antam, US$40 juta, kerja sama antara Myer Werft-Pelni. Kemudian, April dan Inava sebesar US$35 juta. 

Perpajakan global

Kunjungan Presiden ke Benua Biru juga dinilai dilakukan berdekatan dengan terbongkarnya dugaan skandal Panama Papers yang melibatkan ribuan orang mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha, dan korporasi berbagai negara di dunia.
  
"Panama Papers menjadi momentum bagi publik global untuk mendesak negara-negara tax haven untuk mengakhiri rezim kerahasiaan," kata Ah Maftuchan, direktur eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Senin, 18 April 2016.

Menurut dia, kunjungan tersebut merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk membahas kembali kerja sama perpajakan internasional dalam skema G20. 

Presiden juga dapat menggunakan agenda kunjungan ini untuk melakukan pertemuan pendahuluan sebelum pertemuan puncak G20 pada September mendatang.
 
“Presiden Jokowi perlu mendesak negara-negara G20 untuk menyepakati mekanisme sanksi, baik sanksi ekonomi maupun politik, bagi negara-negara yang menjadi surga pajak. Ini untuk memastikan pertukaran informasi melalui AEoI (automatic exchange of information) dapat dilakukan secara efektif,” kata Maftuchan.
 
Selain itu, Maftuchan menambahkan, kunjungan ini dapat digunakan untuk kembali mendorong pembentukan Badan Perpajakan Internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Pembentukan Badan Perpajakan Internasional ini penting untuk memastikan pelibatan negara-negara miskin dan berkembang yang selama ini terpinggirkan agar dapat turut menentukan sistem perpajakan global.
 
Usulan pembentukan Badan Perpajakan Internasional harus dapat menjawab rasa ketidakadilan negara berkembang yang selama ini menjadi korban negara maju dalam hal perpajakan. 
 
Presiden Jokowi diharapkan dapat menggunakan momentum lawatan ke Eropa kali ini untuk mewakili suara negara sedang berkembang dan membahas pentingnya transparansi Beneficial Ownership (BO) di forum internasional. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya